“Ketika Ferdinand de Lesseps mengujukan tawaran untuk membuat Terusan Suez, Said Pasha langsung menerima. Dia mungkin tidak mengira, proyek sebesar itu menuntut pengorbanan yang tidak kecil, dan bahwa potensi besar Terusan Suez, akan menarik semua kekuatan dunia untuk ikut menguasainya.”
—Ο—
Meski Napoleon Bonaparte undur diri dan memutuskan untuk menghentikan rencana pembangunan Terusan Suez, rencana tersebut ternyata menjadi perhatian dari banyak ilmuwan Eropa. Pada tahun 1833, sekelompok ilmuwan Perancis yang menamakan diri mereka Saint-Simoniens tiba di Kairo, untuk meninjau kembali laporan para arsitek Napoleon. Ketika itu Mesir sedang diperintah oleh Muhammad Ali Pasha, yang tidak terlalu berminat dengan gagasan membangun terusan di Suez. Hanya dua tahu mereka di Mesir, pada tahun 1835, Saint-Simoniens terkena wabah epidemic mematikan. Akhirnya beberapa orang di antara mereka yang berhasil selamat, terpaksa kembali ke Perancis. Tapi pekerjaan mereka di Mesir sudah menginsipirasi cukup banyak orang terkemuka, salah satunya adalah Diplomat Perancis yang sedang mengemban tugas di Mesir pada waktu itu bernama Ferdinand de Lesseps.[1]
Nama lengkapnya, Vicomte Ferdinand Marie de Lesseps, atau lebih dikenal dengan nama Ferdinand de Lesseps. Ia dilahirkan pada 19 November 1805 di dalam keluarga diplomat Perancis, dan dibesarkan dengan tradisi yang sama, yaitu menjadi diplomat. Karir pertamanya sebagai diplomat dimulai di Tunisia, dan kemudian di Mesir pada tahun 1830. Di sinilah ia mendapatkan satu visi raksasa yang akan mengubah hidupnya. Ia bukan seorang arsitek, bukan pula mengusaha. Tapi gagasan untuk membangun Terusan Suez terus menghantui pikirannya.
Menurut Eamonn Gaeron, terdapat setidaknya dua momentum dalam hidup de Lesseps, yang membuatnya demikian optimis terhadap proyek tersebut. Peristiwa pertama terjadi bahkan sebelum dia menginjakkan kakinya di Mesir. Ketika kapal yang ia tumpangi mendekati Alexandria, penumpang dan kru harus menghabiskan waktu di karantina. Selama waktu itu ia membaca laporan tentang petualangan militer Napoleon di Mesir. Dalam buku ini, dia pertama kali belajar tentang gagasan sebuah terusan yang membelah benua Asia dan Afrika, namun menyatukan dua lautan besar, Samudera Hindia dengan Laut Mediterania. Gagasan ini menghantam kesadarannya dengan kuat dan terus menetap dalam pikirannya.[2]
Momentum kedua adalah persahabatan de Lesseps selanjutnya dengan pemimpin Mesir, Muhammad Ali Pasha, dan dengan putra keempat Muhammad Ali, bernama Said Pasha. Ketika itu, Said sedang dipaksa menurunkan berat badannya dengan sejumlah latihan berat dan diet ketat. Melihat tekanan yang dihadapi oleh Said, De Lesseps merasa kasihan, dan secara diam-diam memberinya makanan. Dari perkenalan yang aneh ini, secara tidak sengaja hubungan keduanya terus dekat, dan menjadi sahabat.[3]
Pada tahun 1846 di Paris, beberapa sisa anggota Saint-Simoniens yang kembali dari Mesir membentuk sebuah asosiasi untuk mempelajari kemungkinan dibangunnya kembali Terusan Suez. Pada 1847, mereka mengumumkan hasil temuan mereka yang menegaskan bahwa tidak ada perbedaan nyata dalam level ketinggian antara Laut Mediterania dan Laut Merah. Sayangnya, tidak ada yang menyambut ide itu. Bakan Inggris yang merupakan pengguna terbesar jalur tersebut tidak bergeming, demikian juga dengan penguasa Mesir, Muhammad Ali Pasha yang ketika itu sedang sakit keras.
Adapun Ferdinand de Lesseps, setelah dari Mesir ia beberapa kali dipindah-tugaskan, pertama ke Spanyol, lalu ke Italia, dan pada tahun 1849, dia pensiun setelah terjadi perselisihan dengan pemerintah Perancis. Selama kurun waktu tersebut, ia masih terus memperhatikan progress penelitian tentang Terusan Suez.[4]
Di Mesir, pada tahun yang sama, 2 Agustus 1849, Muhammad Ali Pasha meninggal dunia. Setelah kematiannya, satu persatu urutan pewaris tahta Mesir berganti demikian cepat. Hingga akhirnya, pada tahun 1854, Said Pasha yang merupakan anak keempat Muhammad Ali Pasha kebagian giliran memegang kendali penuh pemerintahan Mesir.
Mendengar berita bahwa sahabatnya sekarang menjabat sebagai pemimpin tertinggi di Mesir, de Lesseps tidak menyia-nyikan kesempatan ini. Ia langsung datang berkunjung dan disambut baik di sana. Ferdinand de Lesseps dengan penuh keyakinan menjelaskan visinya pada Said Pasha, untuk membangun Terusan yang akan menghubungkan Laut Merah dengan Laut Mediterania. Dan rencana ini langsung disetujui oleh Said.
Pada tahun-tahun ini, Mesir sendiri sebenarnya sedang mengalami kerapuhan di dalam negerinya. Memang benar, bahwa Muhammad Ali Pasha sudah berhasil membawa Mesir sekali lagi melesat menjadi bintang peradaban Islam. Tapi yang dicatat oleh sejarah, keberhasilan itu lebih bersifat pribadi ketimbang demi kemaslahatan seluruh rakyat Mesir.[5]
Di dunia, masa ini adalah masa dimana merkantilisme menjadi prinsip yang dianut oleh hampir semua Negara di dunia. Bahwa ekspor harus lebih besar dari impor, itu adalah kuncinya, dan ini juga yang dikejar oleh Mesir. Khusus pada bidang ekonomi, semua berada di tangan Muhammad Ali. Semua tanah dikuasi oleh Negara dan infrastruktur pertanian dibangun. Ia mengatur apa yang harus ditanam dan apa yang tidak. Ia menentukan fokus produksi masyarakat mulai dari hulu hingga hilir.[6] Kondisi ini membuat masyarakat gerah, dan secara diam-diam menyiapkan sebuah pemberontakan.
Bagi Said Pasha, yang ketika itu harus menanggung semua hasil kerja ayahnya, apa yang ditawarkan oleh de Lesseps, merupakan sebuah kesempatan untuk membalik keadaan, daripada hanya sekedar memenuhi permintaan seorang teman lama. Terusan Suez akan menjadi asset tak ternilai yang membuat Mesir bisa mencapai kejayaan sekali lagi. Hanya saja, dia mungkin tidak mengira, proyek sebesar itu menuntut pengorbanan yang tidak kecil, dan bahwa potensi besar Terusan Suez, akan menarik semua kekuatan dunia untuk ikut menguasainya. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, https://www.suezcanal.gov.eg/English/About/SuezCanal/Pages/CanalHistory.aspx, diakses 5 April 2018
[2] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hal. 268
[3] Ibid
[4] Lihat, http://www.bbc.co.uk/history/historic_figures/de_lesseps_ferdinand.shtml, diakses 5 Mei 2018
[5] Lihat, Eamonn Gearon, Op Cit, Hal. 246
[6] Sebagai contoh, sekitar awal abad 19, merupakan masa perang saudara di Amerika Serikat yang merupakan pusat produksi kapas dunia. Akibat perang ini, produksi kapas dari AS tersendat ke berbagai negara. Melihat ini, Muhammad Ali serta merta memerintahkan kepada petani untuk menanam kapas. Dan benar saja, kapas Mesir menjadi terkenal dan dipesan dimana-mana. Lihat, https://www.britannica.com/biography/Muhammad-Ali-pasha-and-viceroy-of-Egypt, diakses 14 November 2017.