Mozaik Peradaban Islam

Tradisi Pesantren di Tengah Hiruk Pikuk Era Digital

in Islam Nusantara


Pesantren boleh dikatakan model pendidikan Islam tertua di Indonesia. Lembaga inilah yang memelihara kesinambungan tradisi Islam warisan ulama dari masa ke masa. Kehadiran pesantren hingga saat ini setidaknya mencerminkan kemampuannya untuk bertahan, bahkan di tengah riuh rendah kedatangan era industri 4.0.

Suasana belajar santriwati di Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta. Foto: Darunnajah

Tak ada data pasti kapan pesantren pertama kali dirintis. Namun sebagian catatan sejarah mengungkapkan, Syekh Maulana Malik Ibrahim atau yang dikenal dengan Sunan Gersik merupakan pelopornya.[1] Ini berarti jejak pesantren di Nusantara setidaknya telah terlacak sejak abad lima belas masehi.

Menurut cendekiawan Muslim Nurchalis Madjid, perjalanan sejarah panjang inilah yang membuat pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tapi juga makna keaslian Indonesia (indigenous).[2] Lembaga pendidikan ini muncul dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya, bahkan memiliki keterkaitan erat dengan komunitas sekitarnya.[3]

Hubungan inilah yang juga membuat pesantren dapat bertahan dalam segala perubahan zaman. Tak hanya itu, jumlah persantren juga mengalami pertumbuhan dan berkembang menjadi lembaga pendidikan urban. Pesantren kini dapat ditemukan di wilayah pedalaman hingga kawasan megapolitan seperti Jakarta.

 “Pesantren yang berada di tengah kota godaanya banyak” kata salah satu pengasuh Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta, Hadiyanto Arief.[4]

Darunnajah merupakan satu di antara puluhan pesantren yang eksis di tengah ibukota Jakarta. Pesantren yang kini berusia hampir setengah abad itu berdiri di bilangan Pesanggrahan, Jakarta Selatan.[5] Tempatnya hanya berjarak lima kilometer dari Komplek Glora Bung Karno, Senayan.

Agar tidak kehilangan khitah di tengah godaan megapolitan, Darunnajah memodernisasi struktur kelembagaanya. Pondok ini meninggalkan pola pesantren salafiyah (tradisional) yang menempatkan kiai di puncak hierarki pesantren.

Manajemen pesantren juga memisahkan antara harta pribadi kiai dari harta wakaf milik pesantren. Sedemikian sehingga ketika sang kiai wafat, pesantren tidak ikut mati.

Darunnjah lalu membuat Dewan Nazir[6] yang beranggotan sejumlah tokoh sepuh terpercaya. Merekalah yang mengawal perjalanan pesantren agar tidak melenceng dari khitahnya. Berkat terobosan inilah, Darunnajah merasa tidak kehilangan arah setiap menghadapi godaan megapolitan.

Walau melakukan berbagai perubahan, Darunnajah tetap mempertahankan tradisi kepesantrenan. Salah satunya ialah metode pendidikan yang menitikberatkan pada nilai-nilai akhak luhur.

Karena itu, Darunnajah enggan membiarkan santrinya tenggelam begitu saja dalam arus digitalisasi seperti era saat ini. Di lingkungan pondok, santri tetap dilarang menggunakan telepon seluler walau gawai ini sudah menjadi bagian intim dari kehidupan sehari-hari warga Jakarta.[7]  

Suasana ujian di Darunnajah. Foto: Darunnajah

Hanya saja, seperti pesantren pada umumnya, Darunnajah tetap menyediakan fasilitas seperti komputer dan internet pada jam-jam ekstra kurikuler. Wadah ini sebagai bagian dari perhatian pesantren pada perkembangan zaman.

“Ibaratnya seperti santri yang sedang berada di pinggir laut. Tentunya laut itu sangat luas. Kami (pengasuh) tidak mungkin melarang mereka untuk berenang di laut. Yang kami lakukan adalah mengajarkan mereka bagaimana berenang dengan baik agar tidak terbawa arus,” ujar Hadiyanto[8]. Bagi pria jebolan Pondok Pesantren Modern Gontor ini, ilmu agama dan akhak tetap menjadi bekal pokok bagi santri dalam mengarungi ragam tantangan zaman. [YS]

[Artikel ini terbit pertama kali di harian nasional Kompas pada 22 Mei 2019 hasil kerja sama dengan Ganaislamika.com]


[1] HM Amin Haedari dkk, Masa Depan Pesantren, (Jakarta: IRD PRESS, 2006), hal. 6.

[2] Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta: Dian Rakyat, 1997), hal. 17.

[3] Kenyataan ini, menurut Azyumardi Azra, bisa dilihat tidak hanya dari latar belakang pendirian pesantren pada suatu lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, shadaqah, hibah, dan sebagainya. Sebaliknya, pesantren pada umumnya “membalas jasa” komunitas lingkungannya dengan bermacam cara; tidak hanya dalam bentuk memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi bahkan juga bimbingan sosial, kultural, dan ekonomi bagi masyarakat lingkungannya. Lihat: Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta: Dian Rakyat, 1997), hal. 15.

[4] Wawancara dengan Hadiyanto Arief pada 19 Mei 2019 di Jakarta.

[5] Profil Pondok Pesantren Darunnajah, (https://darunnajah.com/profil-pondok-pesantren-darunnajah-jakarta/, diakses pada 27 Juni 2019)

[6] Dewan Nazir terdiri 11 orang. Mereka yang dipercaya oleh pendiri sebagai pembina dalam organisasi. Dewan ini dipimpin oleh KH. Djamhari Abdul Jalal, Lc. Lihat; Organisasi Pondok Pesantren Darunnajah (https://darunnajah.com/organisasi/, diakses pada 27 Juni 2019)

[7] Hadiyanto Arief. Loc.cit.

[8] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*