WS Rendra (1): Sang Penyair

in Mualaf

Last updated on October 20th, 2017 04:51 pm

Foto: repro buku “Rendra, Ia Tak Pernah Pergi.” (Sumber: http://historia.id/persona/kisah-si-burung-merak-masuk-islam/2#detail-article)

Kesadaran Adalah Matahari

Kesabaran adalah Bumi

Keberanian menjadi Cakrawala

dan Perjuangan adalah Pelaksanaan Kata-Kata

(WS Rendra. Depok, 22 April 1984)

Itulah kutipan dari puisi WS Rendra yang begitu melegenda. Puisi tersebut begitu melekat bagi para aktivis pergerakan di zaman orde baru berkuasa. Seringkali puisi tersebut dikutip dalam mimbar-mimbar orasi pergerakan, atau dalam sebuah tulisan yang bernuansa perlawanan terhadap kezaliman.

Siapa yang tidak kenal dengan Willibrordus Surendra Broto Rendra, seorang penyair besar Indonesia, atau beliau lebih populer dengan nama WS Rendra. WS Rendra dilahirkan di Solo, 7 November 1935.[1] Rendra lahir dari keluarga Katolik taat, ayahnya bernama R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan ibunya bernama Raden Ayu Catharina Ismadillah. Kedua orang tuanya adalah pelaku seni. Ayahnya adalah seorang pendrama, dan juga guru bahasa Jawa dan bahasa Indonesia di sekolah Katolik di Solo, ibunya adalah seorang penari Serimpi yang sering manggung untuk keraton Solo.[2]

WS Rendra kecil tinggal dan bersekolah di Solo hingga tamat SMA di St.Yosef. Lulus SMA Rendra pindah ke Jakarta demi meniti karirnya, untuk bersekolah di Akademi Luar Negeri, namun sesampainya di Jakarta ternyata sekolah tersebut sudah tutup. Akhirnya Rendra putar haluan, beliau menuju Yogyakarta dan diterima di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (tidak tamat). Di UGM inilah Rendra menunjukkan bakat seninya. Kemudian Rendra mendapatkan beasiswa dari American Academy of Dramatical Art untuk mempelajari lebih jauh tentang dunia seni tari dan drama. Jadilah pada 1964 WS Rendra berangkat ke Amerika.[3]

Sekembalinya dari Amerika, beliau mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta dan sekaligus menjadi pemimpinnya. Tahun 1971 dan 1979 dia membacakan sajak-sajaknya di Festival Penyair International di Rotterdam. Pada tahun 1985 beliau mengikuti Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman, Kumpulan puisinya: Ballada Orang-orang Tercinta, (1956), 4 Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam puisi (1980), Disebabkan Oleh Angin (1993), Orang Rangkasbitung (1993), dan Perjalanan Aminah (1997).[4]

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek, dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat. Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.[5]

Majalah Siasat. (Sumber: http://www.biografi.id/2014/07/biografi-ws-rendra-penyair-dan.html)

“Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya.[6]

Menyinggung soal sastra, dalam hal ini kesusastraan, Rendra mengatakan bahwa kesusastraan adalah ekspresi yang mengungkapkan rahasia liku-liku pikiran, batin, dan naluri manusia. Sejak Solon berkuasa di Athena, beberapa abad sebelum Tarikh Masehi, orang Yunani purba menganggap bahwa menguasai pemahaman kesusastraan berarti memiliki keunggulan pemahaman manusia di dalam percaturan kepentingan dengan bangsa-bangsa lain.[7]

“Kesadaran pendidikan bangsa seperti itu diadopsi oleh orang-orang Romawi dan seterusnya oleh orang-orang Eropa di zaman awal pembentukan kerajaan-kerajaan di Eropa. Bahkan, sampai saat ini dalam sistem pendidikan Liberal Arts di dunia Anglo Saxon, kesusastraan menjadi inti mata pelajaran,” jelas penulis lakon “Panembahan Reso,” sebuah lakon drama yang berbicara tentang suksesi kekuasaan. Lakon ini pada zaman Orde Baru nyaris tidak mendapat izin untuk dipentaskan, karena dinilai  menyinggung kekuasaan Presiden Soeharto.[8] Bahkan dia sempat dijebloskan ke penjara pada tahun 1978, dan kemudian mendapat represi pelarangan untuk tampil di berbagai tempat.[9]

Di Tiongkok, kata Rendra lebih lanjut, sejak zaman dinasti Han di abad kedua sebelum Tarikh Masehi, kesusastraan menjadi sumber pengetahuan bangsa yang utama. Rekruitmen untuk birokrasi kerajaan diselenggarakan melewati ujian pengetahuan para calon dalam bidang kesusastraan. Kemudian tradisi ini diadopsi oleh Jepang dan Korea sejak zaman purba.[10]

“Nah, bangsa-bangsa yang mengalami pendidikan kesusasteraan di dalam pendidikan formal dan elementer, ternyata selalu unggul di dalam percaturan kepentingan di dunia. Bangsa kita memang sudah mampu melahirkan karya sastra tulis yang unggul sejak abad ke-10 Masehi. Berarti lebih dulu dari beberapa bangsa di Eropa. Sayangnya, pendekatan  pemahaman ilmiah-analitis terhadap karya-karya kesusastraan terlambat dikenal oleh bangsa kita. Sedangkan transfer budaya pemahaman karya sastra secara modern itu terbata-bata, karena sistem penjajahan. Bangsa kita dijajah oleh pemerintah Hindia Belanda yang tidak peduli mendirikan pendidikan tinggi untuk ilmu sastra. Apa sebab? Karena mereka takut bangsa yang tengah dijajahnya itu menjadi bangsa yang pintar dalam berbagai bidang kehidupan,” papar Rendra.[11]

WS Rendra dianggap sebagai penyair terbesar setelah Chairil Anwar. Sajak-sajaknya dikenal tajam mengkritik keadaan sosial yang disebutnya “pamflet.” Padahal, di awal kepenyairannya, Si Burung Merak—panggilan Rendra—banyak menulis sajak tentang agama dan Tuhan sesuai dengan keyakinannya sebagai Katolik, seperti terangkum dalam Balada Orang-orang Tercinta (1957).[12] Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya yang berjudul Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern, Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan tersendiri.[13] (PH)

Bersambung ke:

WS Rendra (2): Mengenal Islam

Catatan kaki:

[1] Biografi W.S Rendra, https://www.sastrawan.web.id/biografi-w-s-rendra/, diakses 9 Oktober 2017.

[2] Biografi W.S. Rendra — Penyair dan Sastrawan Indonesia, http://www.biografi.id/2014/07/biografi-ws-rendra-penyair-dan.html, diakses 9 Oktober 2017.

[3] Ibid.

[4] Biografi W.S Rendra, Loc. Cit.

[5] Biografi W.S. Rendra — Penyair dan Sastrawan Indonesia, Loc. Cit.

[6] Ibid.

[7] WS Rendra Memeluk Islam Karena Baca Al-Ikhlas…Mengetarkan, “http://pribuminews.co.id/2016/12/29/ws-rendra-memeluk-islam-karena-baca-al-ikhlas-mengetarkan/”, diakses 9 Oktober 2017.

[8] Ibid.

[9] Rendra Tertarik dengan Alquran, “http://www.republika.co.id/berita/shortlink/67740”, dikases 9 Oktober 2017.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Kisah Si Burung Merak Masuk Islam, “http://historia.id/persona/kisah-si-burung-merak-masuk-islam”, diakses 9 Oktober 2017.

[13] Willibrordus Surendra Broto Rendra, https://profil.merdeka.com/indonesia/w/willibrordus-surendra-broto-rendra/”, diakses 9 Oktober 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*