Banyak kalangan menilai bahwa masuknya WS Rendra dari Katolik ke Islam adalah karena persoalan poligami. Pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertamanya pada diri Sunarti Suwandi. Dia kemudian menikahinya pada 31 Maret 1959 itu, dari pernikahan tersebut Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta.[1]
Di Bengkel Teater Yogyakarta, satu di antara sekian banyak muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra dari Sunarti.[2]
Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.[3] Dari pernikahannya dengan Sitoresmi, Rendra dikaruniai empat anak yaitu Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati.
Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi penjelasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama.[4] “Selama di Amerika untuk menenteramkan kegelisahan itu dia mempelajari agama Budha dan agama-agama Asia yang banyak dipelajari anak-anak muda Amerika… seperti agama Krisyna dan semacamnya. Tapi belakangan minatnya tertarik kepada Islam,” kata Ajip Rosidi dalam otobiografinya, Hidup Tanpa Ijazah.[5]
Dalam sebuah wawancara, Rendra menceritakan bagaimana awalnya beliau tertarik dengan Islam:
“Saya mulai tertarik dengan Islam sejak saya belajar drama di Amerika Serikat. Saya mengenal agama Islam pada awalnya dari leaflet yang dibagi-bagikan oleh orang-orang Muslim kulit hitam. Saat itu saya baca surah Al-Ikhlas yang menggetarkan hati saya. Iman saya terguncang saat membaca surah tersebut.
Kegelisahan saya memuncak apalagi setelah saya membaca surah lainnya seperti surah Al-Ma’un. Ya, surah ini sungguh luar biasa, tidak hanya mengungkap soal hubungan manusia dengan Tuhannya yang diekspresikan dalam ibadah shalat, tetapi juga berbicara soal pentingnya memerhatikan anak-anak yatim dan orang miskin. Orang yang shalat pun akan celaka bukan hanya karena ia lalai dengan shalatnya, tetapi juga karena ia menghardik anak yatim dan melupakan orang-orang miskin.
Dalam konteks yang demikian itu manusia tidak hanya membangun hubungan dirinya dengan Tuhannya, tetapi juga dengan sesama manusia.
Dengan adanya keyakinan bahwa Allah SWT itu Esa, sebagaimana yang diungkap dalam surah Al-Ikhlas, seketika itu saya meragukan agama yang saya anut dan memang sejak kanak-kanak saya sudah meragukan agama yang saya anut (Katolik—pen).
Jadi, dengan keraguan semacam itu sesungguhnya saya tidak beragama, namun demikian saya tetap yakin akan adanya Tuhan yang maha kuasa. Itulah yang saya maksud dengan tidak beragama itu, sebelum saya memeluk Islam, meski getarnya sudah mengguncang hati saya. Dalam keadaan kekosongan spiritual itulah saya masih sempat memeluk agama lainnya di luar agama Islam dan Kristen Katolik. Saya pernah memeluk agama Hindu dan Buddha, tetapi batin saya tetap resah, tidak terpuaskan.
Begitu saya mantap dengan Islam, Alhamdulillah jiwa saya semakin tenang. Dalam konteks inilah saya menemukan kepuasaan baik secara intelektual maupun secara spiritual.
Surah lainnya yang menggetarkan saya ketika di Amerika, Surah Al-’Asr, surah ke-103. Dalam surah tersebut kita dihadapkan pada soal pengelolaan waktu. Orang-orang yang merugi adalah orang yang tidak bisa mengelola waktu dalam hidupnya di jalan kebaikan. Jalan kebaikan saja tidak cukup. Ia ternyata harus beriman, beramal saleh, mengerjakan kebajikan, serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.
Jadi, lewat surah-surah yang saya sebutkan tadi, sekali lagi saya tegaskan bahwa Islam datang kepada saya lewat pemahaman intelektual dan spiritual.”[6]
Awal Mula Panggilan Si Burung Merak
Ada kisah menarik mengenai julukan Rendra, Si Burung Merak, ternyata julukan tersebut terkait dengan poligami yang dilakukan oleh beliau. Pada suatu waktu, Rendra menemani seorang temannya dari Australia untuk berjalan-jalan ke Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Di kebun binatang tersebut, temannya melihat seekor burung merak jantan berjalan ditemani kedua betinanya. Sambil tertawa terbahak-bahak, temannya itu berteriak “Itu Rendra! Itu Rendra!” Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini.[7] Selain itu, menurut Edi Haryono, sahabat dekat Rendra yang juga menemaninya saat ke Gembiraloka, “Dia orangnya suka pamer. Seperti burung merak jantan yang suka memamerkan bulu-bulu indahnya.”[8]
Mengenai cibiran orang-orang terhadap Rendra terkait masuknya beliau ke Islam hanya untuk berpoligami dan mencari popularitas, Rendra tidak terlalu ambil pusing. Menurut Ajip, sebagai Muslim Rendra tentu saja boleh bermadu (poligami). Karena itu ada orang yang mengatakan bahwa Rendra masuk Islam hanya karena mau bermadu. “Tetapi suara demikian selalu aku bantah karena aku boleh dikatakan mengikuti proses kegelisahan Rendra sejak awal. Aku yakin Rendra masuk Islam karena keyakinan dan karena hidayah dari Allah. Bahwa dia kemudian memanfaatkan kemuslimannya untuk bermadu, aku anggap soal lain,” kata Ajip.[9]
Rendra hidup serumah dengan dua istrinya, Sunarti dan Sitoresmi dan kerukunan keduanya menjadi berita media massa yang tak berkesudahan. “Namun ketika dia bermaksud hendak menambah istri lagi, kedua istrinya memberontak meminta cerai. Maka sukses sebagai suami yang dapat merukunkan dua istri dalam satu rumah, tak dapat dicapainya ketika dia hendak merukunkan tiga orang istri dalam satu rumah,” kata Ajip. Rendra bercerai dengan Sunarti dan Sitoresmi, kemudian menikahi Ken Zuraida.[10] Dari Ken Zuraida, Rendra dikaruniai dua orang anak yaitu Isaias Sadewa dan Maryam Supraba.[11] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Biografi W.S. Rendra — Penyair dan Sastrawan Indonesia, http://www.biografi.id/2014/07/biografi-ws-rendra-penyair-dan.html, diakses 9 Oktober 2017.
[2] Ibid.
[3] Ibid. Keterangan: Ada beberapa versi mengenai kapan sebenarnya Rendra masuk Islam. Mengenai hal tersebut akan dibahas dalam artikel terpisah.
[4] Ibid.
[5] Hendri F. Isnaeni, “Kisah Si Burung Merak Masuk Islam”, dari laman: http://historia.id/persona/kisah-si-burung-merak-masuk-islam, diakses 9 Oktober 2017.
[6] “Rendra: Agama Islamlah yang dengan tegas mengatakan bahwa Allah SWT itu Maha Esa”, dari laman: http://oasemuslim.com/rendra-agama-islamlah-yang-dengan-tegas-mengatakan-bahwa-allah-swt-itu-maha-esa/, diakses 9 Oktober 2017.
[7] “Biografi W.S Rendra – Penyair Indonesia”, dari laman: http://www.biografiku.com/2009/11/biografi-ws-rendra.html, diakses 9 Oktober 2017.
[8] “Cerita Julukan \’Si Burung Merak\’ untuk WS Rendra”, dari laman: https://news.detik.com/berita/1179073/cerita-julukan-si-burung-merak-untuk-ws-rendra, diakses 9 Oktober 2017.
[9] Hendri F. Isnaeni, Loc. Cit.
[10] Ibid.
[11] Biografi W.S. Rendra — Penyair dan Sastrawan Indonesia, Loc. Cit.