WS Rendra (3): Mengucap Syahadat

in Mualaf

Last updated on October 21st, 2017 08:44 am

Ada beberapa versi mengenai kapan persisnya WS Rendra memeluk agama Islam. Pertama, yaitu mengucapkan syahadat ketika hari perkawinannya dengan Sitoresmi, 12 Agustus 1970.[1] Kedua, surat kabar Angkatan Baru (24 November 1968) telah memberitakan bahwa “WS Rendra dan istri keluar dari agama Katolik.”[2] Ketiga, sebagaimana diungkapkan oleh Rendra sendiri dalam sebuah wawancara, bahwa beliau mengucap syahadat atas keinginannya sendiri tidak lama setelah Bengkel Teater mementaskan Barzanji pada tanggal 23-24 Juni 1970 di Teater Terbuka Pusat Kesenian Jakarta. Tidak disebutkan dengan jelas pada tanggal berapa pastinya beliau mengucapkan syahadat, beliau hanya menyebutkan sepulang dari pementasan Barzanji, beliau pergi ke pantai Parang Tritis dan mengucap syahadat di sana.[3]

Keluarga besar Bengkel Teater Rendra (Dok. Clara Sinta. Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2015/01/05/13134511/Berkaca.pada.Puisi.Rendra)

Pada versi pertama menurut surat kabar Angkatan Baru tanggal 24 November 1968 Rendra dan istrinya keluar dari Katolik, namun menurut kesaksian Ajip Rosidi, beliau sudah keluar dari Katolik semenjak berada di Amerika Serikat. Rendra berangkat untuk sekolah ke Amerika Serikat pada tahun 1964. “Selama di Amerika untuk menenteramkan kegelisahan itu dia mempelajari agama Budha dan agama-agama Asia yang banyak dipelajari anak-anak muda Amerika… seperti agama Krisyna dan semacamnya. Tapi belakangan minatnya tertarik kepada Islam,” kata Ajip Rosidi.[4] Ketertarikan Rendra terhadap Islam semenjak di Amerika juga diungkapkan oleh Rendra dalam sebuah wawancara, “saya mulai tertarik dengan Islam sejak saya belajar drama di Amerika Serikat. Saya mengenal agama Islam pada awalnya dari leaflet yang dibagi-bagikan oleh orang-orang Muslim kulit hitam. Saat itu saya baca surah Al-Ikhlas yang menggetarkan hati saya. Iman saya terguncang saat membaca surah tersebut…. Saya masih sempat memeluk agama lainnya di luar agama Islam dan Kristen Katolik. Saya pernah memeluk agama Hindu dan Buddha, tetapi batin saya tetap resah, tidak terpuaskan.” ungkap Rendra.[5]

Pada versi kedua, masih menurut kesaksian Ajip Rosidi, secara resmi Rendra memeluk Islam bukan pada saat melamar Sitoresmi, tapi di rumah Taufik Ismail. Pada saat itu Rendra merasa hatinya sudah mantap untuk menjadi Muslim. Secara resmi dia mengucapkan sahadat di depan KH Ghafar Ismail, Taufik Ismail, dan Ajip Rosidi, di rumah Taufiq di lingkungan Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Setelah itu, Taufiq membuat pernyataan tertulis yang dia tandatangani bersama Ajip. Ghafar, kakak Taufiq, mengajari Rendra salat. Setelah menjadi Muslim, nama awal (WS) yang tadinya Willibrordus Surendra menjadi Wahyu Sulaiman.[6] Tidak jelas disebutkan kapan peristiwa tersebut terjadi, namun menurut Ajip itu terjadi setelah pementasan teater Barzanji pada tanggal 23-24 Juni 1970.

Pada versi ketiga, mari kita simak secara lengkap penuturan Rendra dalam sebuah wawancara dengan Majalah Ummat, No. 01, 1994:

“Ketika itu Syu’bah Asa tinggal serumah dengan saya. Saya sering meledeknya: ‘Mana itu seniman Islam? Islam ‘kan tak punya Beethoven, tak punya Mozart, Picasso?’. Syu’bah lebih sering diam saja. Kadang saya malah penasaran. Gambaran tentang orang Islam dalam benak saya memang buruk sekali: mereka tak ramah, tak cukup kreatif, dan sebagainya.

Ketertarikan saya pada Islam bermula pada syair-syair Syaraful ‘Anam dan Al-Barzanji yang diterjemahkan Syu’bah. Syair-syair ini adalah kasidah puji-pujian terhadap Nabi Muhammad. Di situ, Nabi Muhammad digambarkan menambal gamisnya sendiri; jika berjalan dengan sahabat-sahabatnya beliau berjalan paling belakang; beliau juga amat menyukai anak-anak. Dan, jika tangan seorang sahabat berbau wangi, orang akan berkata, ‘Tangan ini pasti baru disentuh Nabi.’ Bukankah ini berarti Nabi suka bergaul? Saya amat terharu membaca syair-syair itu, dan saya berpikir, ‘Boleh, kan, bila saya ikut terharu? Dan ikut numpang kagum pada Muhammad?’

Saya memutuskan, Bengkel Teater akan mementaskan Barzanji. Kemudian saya pergi ke masjid-masjid, tiduran di masjid. Saya perhatikan orang-orang yang shalat, dan seorang teman menjelaskan artinya. Jadi saya mendapatkan obyek pengamatan yang menarik. Inilah yang kemudian saya ekspresikan dalam teater, yang dipentaskan di Teater Terbuka Pusat Kesenian Jakarta, 23-24 Juni 1970.

Tetapi, bahkan ketika itu saya masih belum tertarik untuk masuk Islam: saya takut jika daya cipta saya lalu mati! Gambaran buruk bahwa orang-orang Islam itu tidak ramah memang terbukti. Pementasan Kasidah Barzanji itu sukses. Tapi, seusai pementasan, seorang anggota keamanan memanggil saya dan menunjukkan tumpukan batu-bata yang disembunyikan di bawah panggung. ‘Mas, lihat itu! Batu-batu itu disiapkan untuk melempari Anda, kalau penonton tidak puas,’ katanya, ‘Wah … tak mungkin saya masuk Islam. Tak mungkin,’ saya langsung protes dalam hati.

Saya bahkan berbicara, syukurlah kita bukan orang Islam. Sepulang dari pementasan itu, saya ceritakan soal batu-batu yang disiapkan untuk melempari saya kepada Syu’bah, dan ledekan saya kembali meluncur.

‘Bagaimana orang Islam itu?’ Syu’bah menjawab, ‘Sudahlah. Mas, saya sibuk. Besok ujian.’

Beberapa waktu kemudian saya mengajak Syu’bah, ‘Yuk, ke pantai, melihat senja.’ Syu’bah tak mau, karena dia sedang belajar untuk ujian. Kebetulan ada teman yang datang bawa mobil. Dengan beberapa teman, saya meluncur ke pantai Parangtritis. Menikmati senja.

Beberapa saat setelah menatap laut luas pada senja itu, sekonyong-konyong saya merasakan badan saya diterpa kenikmatan yang luar biasa; kenikmatan badan bersama hembusan angin. Seluruh anggota tubuh terangsang –hingga ke bulu-bulu mata, sampai masuk telinga. Luar biasa! Kenikmatan ini melebihi orgasme. Ini adalah nikmat badan, nikmat syaraf, sampai ke ujung-ujung. Saya seperti terkapar, tanpa tahu persis sebabnya. Ini sesuatu yang gaib.

Kenikmatan ini berlangsung beberapa saat. Dan tiba-tiba, tanpa sepenuhnya saya sadari, tangan kiri telah terlipat di dada; tangan kanan terangkat tegak lurus, telunjuk mengacung ke langit, dan ‘Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadarasulullah’ terlontar dari mulut saya!

Beberapa saat kemudian saya kebingungan sendiri. ‘Lho … aku tadi kok … boleh dikatakan aku ini Islam.’ Tapi kemudian saya tukas sendiri. ‘Tidak, bukan ‘boleh dikatakan’, tapi aku ini Islam!’ Tidak usah diislam-islamkan, saya Islamkan diri saya sendiri. Lalu intelek saya mengambil alih, ‘Ha, untuk menjadi Kristen saja saya harus dibaptis, bahkan untuk komuni saja harus melalui pastur. Tapi sekarang saya mengislamkan diri sendiri. Aku, Islam!’ Begitu saja.

Saya lalu pulang, dan bilang kepada Syu’bah. ‘Bah, aku Islam.’

‘Ya … ya …’ Syu’bah menjawab tak acuh.

‘Sekarang ajari aku shalat,’

‘Ampun, Mas. Aku lagi mau ujian. Lain kali saja kalau mau bergurau.’

‘Lho, kok bergurau? Aku bener-bener, nih.’ Tapi dia belum mau percaya.

Hari berikutnya saya pergi ke Jakarta. Di sepanjang jalan, di kereta api, saya menikmati suasana karena pengalaman luar biasa saya sebelumnya –kendati saya tak tahu proses mendapatkan pengalaman di Parangtritis itu.

Kebetulan, saya sampai di Jakarta hari Jum’at. Ketika itulah saya bertemu Taufiq Ismail. Saya bilang: ‘Saya ingin shalat Jum’at, nih.’

‘Ya. Itu bagus,’ katanya.

‘Tapi aku belum hapal at-Tahiyatnya. Yang hapal cuma al-Fatihah dan Qulhu (surat Al-Ikhlas, red.) Bagaimana ini?

Akhirnya Taufiq menulis bacaan at-Tahiyat di atas selembar kertas Padalarang – yang saya jadikan sajadah agar sambil shalat saya bisa membaca bacaannya.”[7]

Sebagaimana dikisahkan oleh Rendra sendiri mengenai bagaimana pengaruh teater Barzanji terhadap keislamannya, Ajip menjelaskan, “Saya kira tidak kecil pengaruh pengalamannya mementaskan Barzanji itu sehingga dia sampai pada keputusan untuk memeluk agama Islam.”[8]

Syu’bah Asa ketika memerankan tokoh DN Aidit pada film Pengkhianatan G30S/PKI. (Sumber: https://merahputih.com/post/read/lebih-jauh-dengan-syubah-asa-pemeran-tokoh-kawan-ketua-dn-aidit)

Dari kisah beberapa versi di atas, apabila coba kita runut jalan ceritanya maka jalannya akan seperti ini: Rendra sudah keluar dari Katolik ketika beliau berada di Amerika Serikat, dan sempat memeluk agama lain selain Katolik dan Islam, yaitu di antara kurun waktu tahun 1964-1967. Kemudian di Indonesia, tidak lama setelah pementasan teater Barzanji, 23-24 Juni 1970, secara personal dia melakukan syahadat sendiri di pantai parang tritis. Setelah itu, beliau masuk Islam secara formal dengan disaksikan beberapa sahabatnya di kediaman Taufik Ismail di Jakarta, barulah setelah itu beliau melamar Sitoresmi. (PH)

Bersambung ke:

WS Rendra (4): Penghayatan terhadap Islam

Sebelumnya:

WS Rendra (2): Mengenal Islam

Catatan kaki:

[1] Biografi W.S. Rendra — Penyair dan Sastrawan Indonesia, http://www.biografi.id/2014/07/biografi-ws-rendra-penyair-dan.html, diakses 9 Oktober 2017.

[2] Hendri F. Isnaeni, “Kisah Si Burung Merak Masuk Islam”, dari laman: http://historia.id/persona/kisah-si-burung-merak-masuk-islam, diakses 9 Oktober 2017.

[3] “Rendra: Shalat pertama saya”, dari laman http://oasemuslim.com/rendra-shalat-pertama-saya/, diakses 9 Oktober 2017.

[4] Hendri F. Isnaeni, Loc. Cit.

[5] “Rendra: Agama Islamlah yang dengan tegas mengatakan bahwa Allah SWT itu Maha Esa”, dari laman: http://oasemuslim.com/rendra-agama-islamlah-yang-dengan-tegas-mengatakan-bahwa-allah-swt-itu-maha-esa/, diakses 9 Oktober 2017.

[6] Hendri F. Isnaeni, Loc. Cit.

[7] “Rendra: Shalat pertama saya”, Loc. Cit.

[8] Hendri F. Isnaeni, Loc. Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*