Mozaik Peradaban Islam

Yavuz Sultan Selim (5): Warisan Selim

in Tokoh

“Dengan tumbangnya Mamluk, dan Ustmaniyah menguasai seluruh tanah Arab dan Afrika, di mana mayoritas penduduknya Muslim. Maka secara resmi Ustmaniyah menerima tongkat kekhalifahan dari Abbasiyah, dan Selim menjadi khalifah.”

–O–

Penaklukan Selim terhadap wilayah Mamluk menggeser pusat gravitasi Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman) ke arah timur, baik secara kebudayaan maupun geografis. Dia sekarang telah menjadi penguasa atas tanah Arab, tempat di mana Islam dilahirkan. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah Ottoman, penduduk wilayah kesultanannya kini mayoritasnya adalah Muslim. Semenjak saat itu Selim dipandang sebagai penguasa Islam paling sukses pada masanya. Dia telah memenangkan tahtanya dalam peperangan melawan Kekaisaran Safawi Persia yang bermadzhab Syiah, dan dengan demikian memperkuat identitas Ottoman, baik secara politik dan ideologis, dengan ortodoksi Islam Sunni.[1]

Selain itu, kemenangan atas Mamluk juga membuatnya menjadi memiliki hak sebagai penjaga tempat-tempat suci dalam Islam, yaitu Mekah dan Madinah, yang sebelumnya dikuasai oleh Mamluk. Selim juga menjadi penjamin keamanan rute ziarah Haji umat Islam, sebuah tradisi Islam yang sudah bertahan selama lebih dari 800 tahun dan sudah dilakukan dari sejak masa Nabi Muhammad SAW masih hidup. Dengan kepemilikkan terhadap situs-situs suci dalam Islam ini, maka legitimasi kepemimpinan Kesultanan Ottoman terhadap dunia Muslim menjadi lebih besar dan semakin diakui.[2]

Lukisan dari abad ke-16, Selim ketika berperang dengan Mamluk di Mesir. Pelukis tidak diketahui. Photo: Osmanlı98/Wikimedia

 

Khalifah Baru

Hingga dihancurkan oleh orang-orang Mongol pada tahun 1258, dan Khalifah al-Musta’in dibunuh, Baghdad telah menjadi pusat kekhalifahan Islam yang dikuasai oleh Dinasti Abbasiyyah selama lima abad lebih.  Pada tahun 1260 Jenderal Mamluk Baibars telah mengamankan keturunan Abbasiyah yang selamat ke Kairo, namun status kekhalifahan dan otoritas keagamaan yang mereka nikmati saat itu telah lama pudar. Para khalifah keturunan Abbasiyah di Kairo tidak lagi memiliki kekuatan, dan hanya mempertahankan sedikit pengaruhnya. Mamluk mengeksploitasi mereka sebagai bagian dari formalitas, dan gelar mereka dimanfaatkan  hanya sebagai instrumen untuk membangun legitimasi kekuasaan mereka. Meskipun masih menyematkan gelar khalifah, namun penguasa sesungguhnya adalah orang-orang Mamluk.[3]

Terkait gelar kekhalifahan Selim, para sejarawan berbeda pendapat. Versi pertama mengatakan untuk nilai simbolis dan propaganda, kerugian terbesar Mamluk terjadi ketika Amir Mekah menyerahkan dua kota suci – Mekah dan Madinah – ke Ottoman. Namun ketimbang sekedar penguasaan wilayah semata, Ottoman yang telah sejak lama mengincar dan mengidam-idamkan gelar khalifah, dengan menguasai dunia Muslim dan dua kota sucinya, mendapatkan legitimasi yang tidak terbantahkan sebagai khalifah di dunia Muslim. Maka mulai sejak itu, Selim telah menjadi khalifah pertama dari Ottoman, sekaligus menjadi jalan pembuka bagi gelar-gelar khalifah bagi penerus Ottoman selanjutnya.[4]

Sementara itu, versi kedua mengatakan bahwa gelar khalifah oleh Ottoman sebenarnya telah dipakai dari sejak masa Sultan Murad II (berkuasa 1446-1451), buyut Selim. Namun gelar tersebut ketimbang teraplikasikan secara nyata sebagai bentuk penguasaan atas kedaulatan Muslim, itu lebih merupakan sekedar retorika belaka. Pada waktu Selim memperoleh penguasaan atas hampir seluruh dunia Muslim, dia tidak serta merta mengklaim bahwa dirinya adalah seorang khalifah. Sementara itu, khalifah terakhir Abbasiyah Kairo, al-Mutawakkil, oleh Selim diasingkan ke Istanbul. Dia tinggal di sana sampai masa pemerintahan Suleiman, putra Selim.[5]

Seiring berjalannya waktu, urusan gelar kekhalifahan ini mulai menyentil benak para intelektualis Ottoman. Kisah-kisah tentang serah terima gelar kekhalifahan secara resmi dari khalifah Abbasiyah terakhir kepada Selim baru beredar di abad ke-18, yaitu ketika Rusia mengklaim hendak melindungi orang-orang Kristen di wilayah Ottoman, dan sebaliknya Ottoman mengklaim bahwa orang-orang Muslim di Rusia berada dalam perlindungan mereka, karena Ottoman adalah khalifah bagi seluruh Muslim.[6]

 

Peninggalan Selim

Selim hanya memiliki satu anak laki-laki, tetapi memiliki banyak anak perempuan, yang hampir semuanya menikah. Secara fisik dia bertubuh tinggi, dan bertentangan dengan kebiasaan para pendahulunya, janggutnya dicukur, tetapi dia memelihara kumis hitam yang panjang. Alis hitamnya tebal, memberikannya kesan kejam, membuat siapapun yang melihatnya menjadi terpana. Kulitnya merah, matanya besar dan pandangannya tajam. Selim tidak mengenakan sorban silindris seperti pendahulunya, dia mengenakan sorban bulat yang disebut Selimie, seperti yang dikatakannya, meniru mahkota Raja Persia Hozroy.[7] Beberapa referensi lain mengatakan dia mengenakan anting di telinganya.[8]

Pada tahun 1520, setelah delapan tahun berkuasa, Selim mengumumkan niatnya untuk membawa pasukan raksasanya untuk menyerang ke barat, ke Eropa. Menurut Selim, saat itu adalah saat yang tepat karena Hungaria sedang berada dalam kondisi lemah. Tapi tiba-tiba, pada usia 55 tahun, Selim meninggal. Menurut penulis sejarah kontemporer, kematiannya adalah karena bisul yang terinfeksi. Berdasarkan gejala-gejala yang digambarkan, Selim kemungkinan terserang penyakit semacam anthrax, yang kemungkinan besar tertular dari seekor kuda. Hungaria telah diselamatkan — setidaknya untuk sementara — oleh kuda, atau mungkin karena bisul.[9]

Dengan temperamen keras dan visi yang luar biasa, Yavuz Sultan Selim telah mengubah Kesultanan Ottoman dari yang tadinya hanya memiliki wilayah kecil di Anatolia dan Balkan, menjadi kekaisaran yang begitu besar, meliputi wilayah-wilayah baru di Afrika dan tanah Arab. Namun lebih dari itu semua – terlepas dari perbedaan pendapat dari para sejarawan mengenai kapan Selim dinobatkan – dia telah mendapatkan gelar agung khalifah, pengganti Nabi. Meskipun dia bukan orang Arab dan bukan berasal dari suku Quraish, dia menjadi pewaris dari dinasti-dinasti besar sebelum era Ottoman, yaitu Umayyah dan Abbasiyah.[10] (PH)

Seri Yavuz Sultan Selim selesai.

Sebelumnya:

Yavuz Sultan Selim (4): Penaklukan Mamluk di Suriah dan Mesir

Catatan Kaki:

[1] Caroline Finkel, Osman’s Dream: The Story of the Ottoman Empire 1300-1923 (Basic Books: 2006), hlm 65.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 206, dan Alexander W. Hidden, The Ottoman Dynasty (Nicholas W. Hidden: 1895), hlm 104.

[5] Caroline Finkel, Loc.Cit.

[6] Ibid.

[7] Alexander W. Hidden, Ibid., hlm 105.

[8] “Selim I”, dari laman http://www.theottomans.org/english/family/selim1.asp, diakses 15 September 2018.

[9] Eamon Gearon, Ibid., hlm 206-207.

[10] Ibid., hlm 207.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*