“Sejak pertama kali berdiri, Yerusalem sudah menjadi kota yang damai. Para Nabi dan manusia-manusia suci berjalan di dalam kota ini dan menebar kemuliaan akhlaq. Namun semua berubah menjadi tragedi ketika intoleransi dan fundamentalisme mulai ditunjukkan oleh salah satu agama atau golongan.”
—Ο—
Yerusalem, kota tiga agama samawi. Dan demikianlah adanya. Religiusitas adalah kesan yang paling mencolok untuk menggambarkan suasana kota ini. Nama Yerusalem sendiri dalam bahasa Ibrani berarti “kota yang damai”. Namun menurut Eric H. Cline’s, “kota yang damai ini ternyata pernah mengalami penghancuran sebanyak dua kali, dikepung 23 kali, diserang sebanyak 52 kali, serta direbut dan diperebutkan kembali sebanyak 44 kali.”[1]
Bila bagi ummat Yahudi, kota Yerusalem mengandung khazanah religius yang fundamental bagi agama mereka, dan bagi umat Kritistiani tempat ini tak kalah pentingnya. Di tepat inilah drama penyaliban Yesus Kristus berlangsung. Via Dolorosa atau Jalan Penderitaan adalah saksi ketika Yesus Kristus berjalan sambil membawa salib hingga ke bukit Golgota.[2]
Umat Kristiani percaya, di atas bukit inilah kemudian Yesus disalibkan hingga wafat dan kemudian dibangkitkan. Sekarang, di bukit ini didirikan Gereja Makam Kudus ( Sanctum Sepulchrum atau Church of the Holy Sepulchre) yang telaknya masih berada di dalam Kota Lama Yerusalem. Gereja ini menjadi tujuan peziarahan Kristen sejak abad ke-4, dan menjadi salah satu monumen religius yang paling penting dalam agama Kristen.[3]
Sejak ditaklukkan oleh pasukan kaum Muslimin yang dipimpin oleh Umar bin Khattab pad 635 M, kota Yerusalem praktis dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Setidaknya selama 4 abad pertama pemerintahan kaum Muslimin, Yerusalem menjadi kota yang paling toleran di dunia. Semua umat beragama di kota ini hidup dalam kedamaian, dan dapat menjalankan tradisi keagamaannya tanpa takut diganggu. Keteladanan tentang sikap toleransi ini sudah dimulai oleh Umar bin Khattab sendiri ketika pertama kali tiba di kota ini.
Dikisahkan sesampainya di kota, Umar disambut Uskup Patriarch. Umar kemudian diajak berkeliling ke beberapa tempat suci di kota Yerusalem. Lalu ketika waktu Zhuhur tiba, Uskup membukakan Gereja Makam Suci dan mempersilahkan Umar melakukan Sholat dulu di gereja itu. Namun, hal tersebut ditolak Umar. Ia menjawab, “Jika saya melaksanakan shalat di gereja ini, saya khawatir para pengikut saya yang tidak mengerti dan orang-orang yang datang ke sini di masa yang akan datang akan mengambil alih bangunan ini kemudian mengubahnya menjadi masjid, hanya karena saya pernah shalat di dalamnya. Mereka akan menghancurkan tempat ibadah kalian. Untuk menghindari kesulitan ini dan supaya Gereja kalian tetap sebagaimana adanya, maka saya shalat di luar”.[4] Sikap dan keteladanan Umar ini kemudian dicontoh dan dijadikan tradisi oleh khalifah setelahnya yang menguasai Yerusalem, mulai dari dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Fatimiyah.
Situasi kemudian berubah ketika pada tahun 1010 Khalifah Fatimiyah bernama Al Hakim, mulai memerintahkan penghancuran gereja dan sinagog di Yerusalem. Intoleransipun mulai merebak. Situasi semakin parah ketika pada tahun 1073 M dinasti Saljuk berhasil merebut Yerusalem dari dinasti Fatimiyah. Umat Kristen dan Yahudi yang melakukan ziarah ke Yerusalem diserang, dirampok, dan dibunuh. Bahkan situs keagamaan mereka dihancurkan. Situasi ini telah menimbulkan tragedi di kota tersebut. Gelombang pengungsian kaum Nasrani dan Yahudi pun mulai marak ke Eropa. Di Eropa, mereka menceritakan apa yang terjadi di Yerusalem, dan akhirnya memprovokasi Tahta Suci. Pada 27 November 1095, Paus Urban II mendeklarasikan Perang Salib dan memerintahkan untuk merebut Yerusalem dari kekuasaan kaum Muslimin.[5]
Pada tahun 1099, Yerusalem jatuh ke dalam kekuasaan Pasukan Salib. Tapi setali tiga uang, situasi perdamaian tidak terjadi selama pasukan Salib menguasai Yerusalem. Puncaknya, adalah pada tahun 1185 M, ketika raja Baldwin IV wafat, dan provokasi Pasukan Salib kepada kaum Muslimin semakin menjadi-jadi. Raynald dari Chatillon (Raynald of Chatillon) berkali-kali menyerang para jamaah haji yang melintas di sekitar kawasan Yerusalem. Ia menjarah dan membantai mereka, bahkan mengancam akan menyerang Ka’bah dan menghancurkan Tanah Suci Mekkah. Atas sikap intoleran yang melampaui batas ini, gabungan pasukan kaum Muslimin di bawah komando Shalahuddin Al Ayyubi menyerang Yerusalem pada 1187, dan pada 2 Oktober 1187, praktis 52 kota dan istana di sekitar Yerusalem dikuasi oleh Shalahuddin.[6]
Banyak sejarawan sepakat, bahwa Shalahuddin lah yang mengembalikan nuansa kedamaian ke Yerusalem setelah lebih dari satu abad rusak oleh intoleransi dan fundamentalisme agama. Shalahuddin kemudian mengembalikan umat Yahudi dan Nasrani ke Yerusalem dalam perlindungan yang aman. Serta mengembalikan kemulian Masjid Al Aqsha. (AL)
Bersambung
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, https://web.archive.org/web/20080603214950/http://www.momentmag.com/Exclusive/2008/2008-03/200803-Jerusalem.html, diakses 8 Desember 2017
[2] Via Dolorosa tidaklah lebar, hanya dua atau tiga meter saja. Sekarang, di kiri kanan jalan itu berderet took-toko cinderamata dan rumah-rumah penduduk Yerusalem. Jalan ini bermula dari depan pintu gerbang St Stephanus atau Pintu Gerbang Singa dekat Benteng Antonia. Dari sinilah jalan itu memanjang menembus perkampungan Muslim kemudian masuk ke wilayah Kristen dan berakhir di Gereja Makam Kristus, atau dahulu dikenal sebagai Bukit Golgota. Lihat, Trias Kuncahyono, Jerusalem; Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, Jakarta, Kompas, 2008. Hal. 20-21
[3] Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Makam_Kudus, diakses 8 Desember 2017
[4] Lihat, http://www.muslimdaily.net/artikel/special-feature/sejarah-indah-pembebasan-palestina-oleh-khalifah-umar.html, diakses 8 November 2017
[5] Lihat, Eamonn Gearon, Turning Points in Middle Eastern History; Course Guidebook, United States of America, The Teaching Company, 2016, Hal. 113
[6] Tentang penaklukkan Yerusalem oleh Shalahuddin Al Ayyubi, simak ulasannya di https://ganaislamika.com/shalahuddin-al-ayyubi-3-penaklukan-yerusalem/