Ziarah Makam Wali (1): Sunan Ampel

in Budaya Islam

Last updated on April 22nd, 2018 05:18 am

 

Oleh: Khairul Imam

Segala yang mengada di alam semesta mengandung makna perwujudannya. Waktu, tempat, barang-barang berharga, jejak-jejak sejarah, dan lain sebagainya. Selain wujud material, di dalamnya juga mengandung magnet spiritual. Kekuatan itu secara alamiah dihadirkan oleh Sang Mahakuasa. Segala yang ada, tampak maupun tak tampak. Pada tempat, benda, dan waktu. Sesuatu itu menjadi sakral akibat seringnya dihubungkan dengan kekuatan ilahiah (divine power). Sehingga kehadirannya dianggap tak biasa. Ada nuansa “mistik” yang dirasakan mampu menjadi perantara antara manusia dengan Yang Ada: Allah swt.

—Ο—

 

Masyarakat Indonesia terbangun atas dasar religiusitas yang tinggi. Pengaruh ini tidak lepas dari para pembawa misi keislaman yang mula-mula dibawa oleh para wali. Di Jawa, para penyebar Islam pertama dikenal dengan Walisongo, sembilan orang “suci” yang secara bertahap menggantikan agama Hindu-Buddha sekaligus Syiwa-Buddha. Mereka secara bergantian mengisi ruang-ruang dakwah Islam di dalam masyarakat, khususnya di Jawa. Memperkenalkan, mengajarkan, serta mewariskan teladan yang baik dari Nabi Muhammad saw.

Meski berdakwah dengan cara yang tak biasa; dengan hikmah dan teladan yang baik melalui ragam pendekatan tradisi dan budaya, tidak semua penganut Hindu mau menerima ajaran Islam yang dibawa Walisongo. Hanya kalangan Waisya, Sudra, dan Paria yang dapat menerimanya. Sementara kaum Brahma dan Ksatria masih enggan menerimanya karena Islam akan menyamakan status sosial di antara mereka. Karena itulah, kedua golongan yang disebut terakhir ini sulit menerimanya. Dan untuk mempertahankan keyakinannya, mereka pindah ke Bali, yang kemudian menjadi agama Hindu-Bali.

Adalah Sayyid Rahmatullah, yang tercatat sebagai wali kedua setelah Maulana Malik Ibrahim di Gresik, datang ke tanah Jawa atas undangan istri Raja Brawijaya yang berasal dari Champa. Sesampainya di tanah Jawa, Ia pun meminta izin kepada Sang Raja untuk menyebarkan Islam, dimulai dengan membangun sebuah masjid di daerah Ampel, Surabaya. Di kemudian hari ia pun dikenal dengan Sunan Ampel.

Nama aslinya Raden Rahmat. Lahir pada 1401 di Champa. Beberapa sumber mengatakan ia adalah putra Maulana Malik Ibrahim yang sekaligus adalah menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati. Sumber lain menyebutkan sebagai saudara sepupu Maulana Malik Ibrahim. Berkenaan dengan Champa, setidaknya ada dua sumber kuat yang dapat dipertimbangkan. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa merupakan satu negeri kecil yang terletak di Kamboja.  Namun sumber yang kuat disebutkan oleh Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa.   

Kronik Cina dari Klenteng Sam Po Kong menyebutkan bahwa Sunan Ampel sebelumnya dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng—seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islam dan bermahzab Hanafi). Ia ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas Cina di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu—menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit. Sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten Cina di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten Cina di Jiaotung (Bangil). [1]

Dalam upaya mengembangkan pemeluk agama Islam di Pulau Jawa, Sunan Ampel mendirikan pesantren untuk menggembleng calon dai dan muballigh. Di antara murid-murid Sunan Ampel adalah: Raden Paku atau Sunan Giri; Raden Patah (Abdul Fattah) yang kemudian menjadi Sultan Bintoro Demak yang berjuluk Sultan Alam Akbar Al-Fattah, Kerajaan Islam pertama di Jawa; Raden Makhdum Ibrahim, putra Sunan Ampel sendiri, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Bonang; Syarifuddin (Hasyim, yang juga putra Sunan Ampel) yang terkenal dengan sebutan Sunan Drajat; para dai dan muballig yang diutus ke Blambangan untuk menyebarkan Islam di sana.[2]

Setelah Sunan Ampel wafat pada tahun 1481 M, ia dimakamkan di sebelah barat masjid. Kemudian dibangunlah area pemakaman, yang mana beberapa wali juga dimakamkan di kompleks tersebut, di antaranya: Mbah Sonhaji atau biasa dikenal dengan Mbah Bolong dan Mbah Shaleh. Sedangkan salah seorang pahlawan nasional yang dimakamkan di tempat itu adalah KH. Mas Mansyur.

Kompleks Masjid dan makam ini berlokasi di Jalan KH. Mas Mansyur, Kelurahan Ampel, Semampir, Surabaya, Jawa Timur. Sebelum menuju ke makam, setiap pengunjung harus melintasi lorong panjang sekitar 100 meter, kemudian ia akan mendapati satu area komplek masjid. Sebelum terbentuk area pemakaman, ini merupakan sebuah kompleks masjid yang dibangun di atas tanah seluas 120 X 180 meter persegi. Tanah ini adalah pemberian Brawijaya Raja Majapahit. Masjid ini dibangun pada tahun 1421 M oleh Sunan Ampel, dan dibantu dua orang sahabat sekaligus muridnya yaitu Mbah Shaleh dan Mbah Sonhaji. Masjid ini dibangun sebagai media dakwah penyebaran Islam untuk meningkatkan ketakwaan masyarakat luas.

Masjid Ampel. Sumber gambar: republika.co.id

 

Interior Masjid Ampel. Sumber gambar: indonesia-tourism.com

Di antara keunikan masjid Sunan Ampel ini terletak pada 16 tiang penyangganya yang terbuat dari kayu jati berukuran sekitar 17 meter tanpa sambungan. Meski sudah berumur ratusan tahun, tiang penyangga tersebut hingga saat ini masih kokoh berdiri. Pada tiap tiang penyangga terdapat sebuah ukiran ukiran kuno peninggalan dari zaman Majapahit yang mempunyai makna Keesaan Tuhan. Masjid sunan ampel ini memiliki sekitar 48 pintu yang masih asli, dengan diameter 1,30 meter dengan tinggi sekitar 2 meter. Selain itu, ciri khas lain dari masjid Sunan Ampel yaitu adanya menara setinggi 50 meter. Menara ini dahulu berfungsi sebagai tempat azan. Di sebelah menara tersebut terdapat sebuah kubah yang berbentuk pendopo Jawa, dengan lambang sebuah ukiran mahkota yang berbentuk matahari. Simbol ini melambangkan kejayaan zaman kerajaan Majapahit.

Sebelum memasuki kompleks pemakaman, para peziarah harus melintasi 5 gapura utama. Kelima gapura tersebut melambangkan rukun Islam yang lima, yang merupakan fondasi penting bagi seorang Muslim. Gapura pertama disebut dengan Paneksen yang berarti kesaksian. Nama itu melambangkan kalimat syahadat yang harus diucapkan oleh setiap orang yang menyatakan diri Islam. Gapura kedua dinamakan dengan Madep, berarti menghadap kiblat. Dalam arti shalat lima waktu dengan menghadap kiblat. Gapura ketiga disebut gapura Ngamal yang melambangkan ibadah sosial berupa zakat. Suatu pemberian yang wajib dikeluarkan orang-orang yang berkecukupan kepada fakir, miskin, dan orang-orang lemah (dhuafa). Gapura keempat Poso yang melambang puasa, dan gapura kelima dinamakan Munggah yang melambangkan Haji bagi orang-orang Islam yang telah mampu.[3]

Lima Gerbang yang melambangkan lima rukun Islam di Makam dan Masjid Sunan Ampel Surabaya. Sumber: Atiek Suprapti Budiarto, dkk. “The Urban Heritage of Masjid Sunan Ampel Surabaya, Toward the Intelligent Urbanism Development”

Makam atau petilasan para wali bukanlah tempat biasa. Tempat itu seakan bersenyawa dengan para arwah yang belum mati, melainkan hidup terus di sisi Tuhan. Selain wujud material, di dalamnya juga mengandung magnet spiritual. Kekuatan yang secara alamiah dihadirkan oleh Sang Mahakuasa karena cahaya kewalian yang memancar menuju ‘Arsy berkat kecintaan pada Allah dan Rasulullah. Ditambah dengan rapalan doa para peziarah yang tak henti-hentinya. Ada nuansa “mistik” yang seakan mampu menjadi perantara antara manusia dengan Yang Ada: Allah swt.

Bersambung…

Ziarah Makam Wali (2): Maulana Malik Ibrahim

Catatan kaki:

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Ampel

[2] A. Shihabuddin, Membongkar Kejumudan: Menjawab Tuduhan-tuduhan Salafi Wahabi (Bandung: Noura Books, 2014), hlm. 499

[3] Atiek Suprapti Budiarto, dkk. “The Urban Heritage of Masjid Sunan Ampel Surabaya, Toward the Intelligent Urbanism Development” dalam Jurnal Procedia: Social and Behavioral Sciences, 27, tahun, 2016, hlm. 603. Lihat juga https://ac.els-cdn.com/S1877042816308072/1-s2.0-S1877042816308072-main.pdf.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*