Mozaik Peradaban Islam

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (7): Ushul-e Falsafe va Ravesh-e Re’alism

in Tokoh

Last updated on February 20th, 2019 02:32 pm


Karya ini membuktikan bahwa bangunan persepsi dan pengetahuan manusia tidaklah mungkin bersumber dari dalam sistem tubuh manusia, melainkan datang dari realitas yang lebih tinggi.

Dari sekian banyak karya yang dilahirkan oleh pemikiran Allamah Thabathabai, hampir semua memiliki kualitas ilmiah yang mumpuni. Tapi dari sekian banyak karya-karya tersebut ada beberapa di antaranya yang dianggap monumental dan memiliki pengaruh yang luas dalam studi ilmiah dan keislaman. Berikut ini akan kita ulas sedikit mengenai karya-karya tersebut:

Ushul-e Falsafe va Ravesh-e Re’alism (Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realisme)

Sebelum menjelaskan kandungan karya berharga ini, ada baiknya pembaca mengetahui terlebih dahulu konteks historis di baliknya. Dari tahun 1924 hingga tahun 1936, sejumlah filosof dan  saintis  dari disiplin ilmu-ilmu sosial, alam, logika, dan matematika bertemu rutin dan membentuk wadah bernama Lingkaran Wina (Vienna Circle). Wadah yang diketuai oleh Moritz Schlick dan berkedudukan di Universitas Wina ini bertujuan untuk mengukuhkan positivisme dan empirisisme logis demi menghapus segenap proposisi yang tidak dapat dibuktikan secara saintifik. Beberapa pemikir yang terkenal dari lingkaran Wina adalah Rudolf Carnap,  Hans Hahn, dan Otto Neurath.

Pada masa yang hampir bersamaan, muncul pula Mazhab Frankfurt yang beranggotakan sejumlah filosof dan ilmuwan sosial seperti Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Friedrich Pollock, Erich Fromm, Alfred Schmidt, Franz Leopold Neumann, Walter Benjamin, Max Horkheimer, dan Jürgen Habermas. Mazhab filsafat ini menelurkan apa yang dikenal dengan Teori Kritis yang bertujuan membebaskan manusia dari keadaan yang memperbudaknya. Menurut para pencetusnya, ideologi adalah hambatan utama bagi pembebasan manusia.

Tak ayal dua kelompok pemikir itu telah mempengaruhi atmosfir pemikiran Barat secara luas. Melalui karya-karya terjemahan dan saduran, pengaruh pemikiran mereka pun perlahan tapi pasti menembus pusat-pusat studi Islam di Qum dan Najaf. Berbagai diskusi pelajar pun ramai memperbincangkan problematika filsafat kontemporer tanpa menemukan tanggapan yang berarti. Inilah salah satu konteks yang mendorong Thabathabai merasa perlu untuk menelisik ke dalam pemikiran filsafat modern sambil menggali khazanah 1.200 tahun filsafat Islam yang tersingkir. Dia menemukan betapa tertinggalnya studi filsafat Islam di lingkungan akademis hawzah Qum kala itu. Karena dipicu kegelisahan seperti itulah dia mulai membangun kerangka studi filsafat yang menampung aliran-aliran filsafat Barat dan respons filsafat Islam terhadap dinamika intelektual kekinian itu.

Thabathabai secara diam-diam mulai mempersiapkan silabus dan kursus filsafat bagi sejumlah pelajar yang dipilihnya. Tujuannya adalah membedah filsafat Barat yang berwatak empiris, positivis, dan materialis dan membandingkannya dengan gagasan-gagasan para ahli hikmah dan fisafat Timur umumnya dan Islam khususnya. Di antara murid yang hadir dalam lingkaran kajian ini adalah Murthada Muthahhari (sebagai notulen merangkap komentator atas segenap diktat pelajaran), Muhammad Husein Bahesyti, Mehdi Haeri Yazdi, Ali Quddusi, Musa Sadr, Ibrahim Amini, Muhammad Mufattih, Ja’far Subhani, dan Murtadha Jazairi. Thabathabai membentuk kelompok kajian ini pada 1951 dalam bentuk forum diskusi ilmiah yang bersifat dialogis.[1]

Salah satu tujuan Thabathabai dari forum diskusi ini ialah untuk menggalakkan kajian filsafat, melahirkan kurikulum dan silabus studi filsafat yang bermutu, dan memperkenalkan kembali khazanah lebih dari 1.200 tahun pemikiran dan gagasan filsafat Islam. Di samping itu, dia juga ingin bersama-sama dengan para anggota lain menelaah teori-teori filsafat Barat dan Timur mutakhir lalu mengevaluasinya secara kritis demi menjembatani dialog akademis antara filsafat klasik dan modern yang telah sedemikian berjarak.

Di tiap awal pertemuan, Thabathabai mempresentasikan satu tema dan kemudian menjelaskannya secara singkat dan padat. Dia biasanya memberikan satu dua pembuktian filosofis yang sederhana tetapi mengena, lalu meminta yang hadir untuk memberikan tanggapan. Muthahhari bertindak sebagai notulen plus moderator yang lantas bertugas memberikan anotasi dan komentar atas segenap diktat yang telah dipersiapkan Thabathabai. Dengan cara ini, Thabathabai ingin tiap anggota melakukan telaah setelah mereka kembali ke tempat masing-masing dan menggairahkan mereka untuk membaca referensi dan literatur filsafat secara lebih serius.

Secara umum dapat dikatakan bahwa karya yang kemudian diberi judul Ushul-e Falsafe va Ravesh-e Re’alism (Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realisme) itu merupakan prestasi yang gemilang. Bukan saja karena ia adalah karya pertama di bidangnya yang bersifat komprehensif, melainkan juga karena dalam karya ini Thabathabai telah secara luas menyinggung isu-isu pemikiran filsafat Barat kontemporer dan meresponsnya secara kritis dan tajam. Selain itu, karya yang semula hanya berupa lembaran-lembaran catatan ini berhasil memuat hampir seluruh tema terpenting dalam filsafat Islam yang demikian luas sekaligus memperbandingkan dan mempersandingkannya dengan isu-isu filsafat kekinian. Anotasi kritis Murthadha Muthahhari dan anggota lingkar studi yang lain, yang sebagiannya menekuni ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu umum lainnya, menambah kekayaan kandungan buku ini.

Di antara tema yang dibahas dalam karya ini adalah persoalan definisi filsafat, filsafat dan sofisme, pengetahuan dan persepsi, nilai pengetahuan manusia, perkembangan ilmu pengetahuan, gagasan-gagasan i’tibari (hasil konstruksi manusia sebagai makhluk sosial), gerak dan waktu, determinisme dan kehendak bebas, dan berbagai tema metafisika lainnya. Salah satu keistimewaan karya ini, bila dibandingkan dengan karya-karya para filosof Muslim klasik, ialah pilihan tema-tema epistemologinya. Thabathabai menata sistematika pembahasan epistemologi secara modern dengan menelaah tema-tema sensitif yang mencuat dalam kurun waktu terakhir seperti nilai pengetahuan, sumber pengetahuan dan batas akhir pengetahuan manusia. Inilah karya filsafat Islam pertama yang disajikan dengan sistematika seperti ini, sambil tak luput memberikan analisis dan kajian filosofis dan saintifik terhadap persoalan pengetahuan manusia.[2]

Peneliti filsafat Islam, Abdul Jabbar Al-Rifa’I, menyimpulkan bahwa lingkar studi yang dimotori Thabathabai di tahun 1950-an itu sejatinya menyamai ketajaman dan kecemerlangan Lingkaran Wina dam Mazhab Frankfurt dalam menghidupkan filsafat Islam di tengah para pelajar hawzah Qum. Menurutnya, inisiatif Thabathabai di masa itulah yang menyebabkan khazanah pemikiran Islam yang kaya itu kembali mendapat perhatian dari kalangan lebih luas. Namun sayangnya, perhatian terhadap karya yang kemudian terbit dalam 3 jilid tebal itu sendiri masih jauh dari yang semestinya. Padahal, bahan-bahan utama racikan Thabathabai yang lantas diperkaya oleh komentar dan anotasi Muthahhari yang demikian mendalam sejatinya berhasil melahirkan karya filsafat yang berwibawa dan bermutu tinggi.[3]

Dalam dua jilid pertama karya ini, misalnya, Thabathabai dan Muthahhari mendedah secara panjang lebar salah satu tema pelik dan sensitif dalam pemikiran filsafat, yakni persepsi (idrak) manusia. Mereka lalu membagi persepsi dalam tiga tingkat yang berbeda: sensorik, ilusi, dan intelektual. Dalam persepsi sensorik, isu-isu seputar organ-organ indra dan pengaruhnya terhadap objek persepsi dibahas secara ilmiah dengan mengutip sejumlah pendapat umum di kalangan saintis Barat. Lalu mereka secara kritis menjabarkan kemustahilan asumsi bahwa persepsi itu semata-mata bersifat empiris sebagai hasil interaksi sistem saraf dan otak. Bahkan persepsi itu tidak mungkin berlangsung semata-mata dalam lingkup sistem tubuh manusia, betapapun mereka mengakui kecanggihan maha dahsyat dari sistem ini. Salah satu pesan yang disampaikan oleh Muthahhari kepada mereka yang berminat mempelajari filsafat adalah untuk benar-benar menelaah sistem saraf dan kerja otak manusia.

Lebih jauh, untuk memperkuat kritiknya terhadap teori umum filsafat empiris dalam persepsi, karya ini lantas menjelaskan secara akurat apa itu ilusi dan memaparkan berbagai teori seputarnya. Kesimpulannya, ilusi yang muncul sebagai akibat distorsi terhadap stimulasi sensorik menunjukkan adanya daya-daya non-empiris yang beroperasi lebih kuat dalam diri manusia ketimbang operasi persepsi sensorik. Mereka kemudian berkesimpulan secara meyakinkan bahwa persepsi dan pengetahuan manusia pada umumnya adalah produk dari persepsi intelektual yang terhubung dengan aktivitas serangkaian daya yang sama sekali tidak empiris. Lebih jauh karya ini juga membuktikan bahwa bangunan persepsi dan pengetahuan manusia tidaklah mungkin bersumber dari dalam sistem tubuh manusia, melainkan datang dari realitas epistemologis dan ontologis yang lebih tinggi.

Selanjutnya, realitas epistemologis yang lebih tinggi itulah yang menjadi sumber dari seluruh persepsi dan pengetahuan manusia. Dan realitas epistemologis itu tak lain adalah ilmu hudhuri, yakni hadirnya wujud objek pada subjek. Seluruh pengetahuan hushuli (baik sebagai representasi dari objek sensorik, ilusi maupun aktivitas intelektual) niscaya berpuncak pada yang bersifat hudhuri itu. Representasi objek sensorik, ilusif, dan intelektual tidak dapat disebut pengetahuan sebelum berpijak pada yang hudhuri. Argumentasi inilah yang lantas melahirkan pendekatan baru untuk menyelesaikan persoalan besar bangunan persepsi dan pengetahuan manusia. Pendekatan Thabathabai itu berhasil mensintesiskan prinsip-prinsip umum epistemologi dengan prinsip-prinsip ontologi.

Beberapa tahun kemudian Mehdi Haeri Yazdi menerbitkan disertasinya yang berjudul The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy : Knowledge by Presence yang banyak mendapat pujian dari kalangan akademis Barat.  Disertasi Yazdi itu, betapapun berguna dalam mepresentasikan teori pengetahuan Islam ke masyarakat akademis Barat, tak diragukan lagi banyak dipengaruhi oleh cara berpikir dan pendekatan Thabathabai dalam memecahkan problem persepsi dan pengetahuan manusia. Khususnya saat Thabathabai membahas isu ini di makalah ketiga yang menjadi pendahuluan pembahasan epistemologi buku Ushul-e Falsafe va Ravesh-e Re’alism (Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realisme) tersebut.[4] (MK)

Bersambung ke:

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (8): Tafsir Al-Mizan

Sebelumnya:

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (6): Karya-karya

Catatan Kaki:


[1] Abdul Jabbar Al-Rifa’i, Tathawwur Al-Dars Al-Falsafi fi Al-Hawzah Al-‘Ilmiyyah, Dar Al-Hadi, cetakan kedua, 1421 H., hal. 171. 

[2] Lihat, Kamal Haydari, Al-‘Allamah Ath-Thabathabai: Lamahat min Siratihi Al-Dzatiyyah wa Manhajihi Al-‘Ilmy. www.alhaydari.com. 20 November 2019,  hal. 78.

[3] Abdul Jabbar Al-Rifa’i, Op.Cit, hal. 173. 

[4] Allamah Thabathabai, Ushul Al-Falsafah wa Al-Mazhab Al-Waqi’i, anotasi dan komentar dari Murthada Muthahhari, Muassasah Ummul Quro, 1418 H, makalah ketiga, hal. 139-192.

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*