Mozaik Peradaban Islam

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (8): Tafsir Al-Mizan

in Tokoh

Last updated on February 25th, 2019 10:29 am


Dalam tafsir Al-Mizan, Thabathabai menunjukkan bahwa dengan melampaui sekat-sekat sektarian dan keluar dari lingkup metodologi yang sempit, Alquran dapat hadir dalam semesta yang jauh lebih lapang, luas, dan relevan.

Allamah Thabathabai. Photo: http://hanat.iki.ac.ir

Di antara puluhan karya Thabathabai, orang akan sulit menemukan mercusuar yang lebih terang ketimbang tafsir Al-Mizan. Karya ini memiliki terlalu banyak kelebihan dibanding tafsir-tafsir Alquran pada umumnya, terutama sekali dalam hal metodologinya. Tidak berlebihan jika orang mengatakan bahwa Al-Mizan berhasil menghimpun hampir seluruh kelebihan karya tafsir klasik dan menyemempurnakan berbagai kekurangan yang ada sebelumnya. Selain itu, ensiklopedia ini membuka trend baru dalam metode penafsiran Alquran dengan Alquran. Kemampuan Allamah Thabathabai menghimpun berbagai kelebihan tafsir Alquran sebelumnya bersumber dari keluasan telaahnya yang bersifat lintas-mazhab dan lintas-metode.[1]

Dalam tafsir AlMizan, Thabathabai menunjukkan bahwa dengan melampaui sekat-sekat sektarian dan keluar dari lingkup metodologi yang sempit, Alquran dapat hadir dalam semesta yang jauh lebih lapang, luas, dan relevan. Tentu saja kemampuan seperti ini tidak lahir semata-mata dari usaha intelektual yang sungguh-sungguh, melainkan juga datang dari karakter dan kepribadian yang terbuka—suatu kualitas yang sering diabaikan oleh sejumlah sarjana Muslim dalam menyusun karyanya. Begitu banyak karya sarjana Islam yang hanya berkutat pada referensi yang sealiran dengannya. Akibatnya, peneliti yang ingin mengetahui suatu tema Islam hanya akan berputar-putar dalam lingkup literatur mazhab tertentu yang dianut pengarangnya. Bagi peneliti yang kritis, kenyataan ini tentu menjemukan. Al-Mizan adalah karya tafsir yang berhasil melampaui kendala itu dan membuka diri seluas-luasnya terhadap semua literatur tafsir yang tersedia dalam berbagai mazhab Islam.

Barangkali tidak berlebihan bila kita menyatakan bahwa Al-Mizan merupakan ensiklopedia Alquran yang mencakup beragam telaah dan bahasan ilmiah dalam pandangan Alquran. Sepanjang membaca Al-Mizan orang akan menemukan topik-topik filsafat, irfan, kalam, fiqih, budaya, sejarah, etika, sosiologi, konsep-konsep Islam dalam bidang manusia, masyarakat, dan alam yang didudukkan menurut firman Alquran. Karya ini terhindar dari keteledoran sebagian yang mencoba melakukan tafsir Alquran secara interdisipliner dengan mendudukkan dan menyesuaikan tafsir suatu ayat dengan premis dan hipotesa ilmiah dari luar dirinya sendiri. Sedemikian autentiknya Al-Mizan dalam menyarikan berbagai masalah keilmuan menurut pandangan Alquran hingga Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa Al-Mizan tidak ditulis dengan mengandalkan kecerdasan intelektual belaka, melainkan dengan bimbingan kekuatan ruhani dan ilham gaib. Muthahhari sampai menyatakan bahwa dia tidak pernah terbentur suatu masalah tentang Islam yang tidak dia temukan kata kunci pemecahannya dalam Al-Mizan.[2]

Muhammad Jawad Mughniyah, pemikir dan penulis prolifik asal Lebanon, pernah menyatakan bahwa setelah mendapatkan naskah tafsir Al-Mizan, ruangan bacanya hanya berisi jilid-jilid tafsir ini dan dia mencurahkan semuanya untuk menelisiknya satu demi satu. Menurutnya, Al-Mizan memiliki sejumlah keistimewaan yang tidak terdapat pada karya tafsir klasik maupun kontemporer. Di antaranya, pertama, metode Allamah Thabathabai dalam menafsir Alquran dengan menyebut satu ayat tertentu lalu menyertakan ayat-ayat lain yang relevan dan semakna, lalu menyimpulkan makna lahiriah sekumpulan ayat itu seakan semuanya dalam satu konteks yang sama. Thabathabai, kata Mughniyah, memakai konteks makna yang langsung dan tidak langsung secara serentak, dengan tetap berpegang pada makna lahiriah kalimat-kalimatnya. Bila temanya termasuk dalam ilmu-ilmu rasional, maka dia akan berpijak pada penalaran rasional. Jika tidak, dia akan membuktikan bahwa kandungan makna lahiriah itu tidak bertentangan dengan penalaran rasional. 

Setelah semua itu, masih menurut Mughniyah, Thabathabai kemudian memperkaya metode tafsir Alquran dengan Alquran itu dengan merujuk pada sejumlah hadis Rasul, Ahlul Bait, dan keterangan para sahabat mereka. Puncaknya, Thabathabai bergerak memperbandingkan pesan Alquran yang utuh tadi dengan berbagai ajaran lain yang berkembang dalam bentuk agama-agama dan aliran-aliran kepercayaan yang ada demi menunjukkan mana yang lebih mendekati kebenaran dan menjamin kemuliaan dan kesempurnaan manusia. Dengan metode ini, Thabathabai sejatinya telah berhasil mencetuskan metode tafsir Alquran dengan Alquran, sunnah dan akal serta—jika boleh disebut demikian—dengan memperhadapkannya pada pemikiran dan realitas sosial yang terpampang.[3]

Tafsir Al-Mizan. Photo: IslamLib

Keistimewaan kedua dari tafsir ini, menurut Mughniyah, ialah keengganan penulisnya untuk berkutat pada khazanah mazhab tertentu, sehingga terhindar dari fanatisme mazhab tertentu dan mempraktikkan standar ilmiah yang tinggi. Ketiga, pandangan penulisnya yang jauh ke depan dan wawasannya yang luas berpadu dengan beragam talenta intelektualnya yang tercermin dalam pendapat-pendapatnya yang autentik.[4] Itulah sebagian keistimewaan di antara berbagai keistimewaan lain yang terkandung di dalam Al-Mizan. Mughniyah lalu memberikan kritik atas karya ini dengan menyatakan bahwa gaya bahasa dan penulisan Thabathabai cukup bertele-tele dan kurang lugas, sehingga mungkin saja pembaca masa kini yang ingin segalanya serba cepat akan mudah kelelahan, tidak akan menikmatinya atau gagal menambang permata yang terbalut dalam kerumitan susunan kalimatnya.[5]

Boleh jadi semua keistimewaan di atas datang dari niat awal Thabathabai mengajarkan Alquran secara rendah hati kepada murid-muridnya, dan bukan datang dari niat peneliti yang hendak “membongkar” misteri Alquran layaknya dokter bedah yang sedang mengoperasi pasien yang sedang terkapar. Pendekatan dominan seperti itu sering menjerumuskan mufasir dalam arogansi metodologis yang membodohkan dan memaksaan pendapat yang mengungkung. Upaya Thabathabai mengajarkan Alquran yang dimulai dengan diktat-diktat yang ditulisnya di Tabriz pada 1374 H, hingga berkembang menjadi 20 jidil pada 23 Ramadhan 1392, ditandai dengan niat tulus yang penuh rendah hati dalam memahami Alquran. Begitulah menurut penuturan sejumlah muridnya tentang perilaku Allamah Thabathabai dalam kehidupan sehari-harinya.[6]

Salah satu keistimewaan yang dapat langsung dirasakan oleh pembaca Al-Mizan ialah metode penulisnya dalam mendedahkan makna-makna Alquran. Tidak seperti kebanyakan mufasir yang langsung memaksakan pandangan tertentu terhadap satu atau sekumpulan ayat, Thabathabai selalu berusaha mempersandingkan satu atau sekumpulan ayat tertentu dengan satu atau sekumpulan ayat lain. Sedemikian sehingga pembaca disuguhi pemahaman menyeluruh tentang Alquran yang bersandar pada Alquran itu sendiri dan bukan sesuatu yang asing dari luar dirinya. Pendekatan tafsir seperti ini mengajak pembaca untuk memaknai Alquran sebagai satu rangkaian ungkapan utuh dari satu Sumber Ilahi yang penempatan ayat dan surahnya bukan saja tidak merusak keseluruhan pesan umumnya melainkan justru memperkuat kesatuan dan keselarasannya. Tiap bagiannya menafsirkan bagian lainnya, sehingga makna sebagian ayatnya yang sulit dipahami dapat segera ditangkap dengan mengamati dan meneliti sebagian ayat lainnya dalam tema yang sama atau yang serupa. [7]

Keistimewaan lain tafsir ini ialah keragaman tema bahasannya, mulai dari tema yang bertalian dengan riwayat, sosial, sejarah, filsafat hingga sains yang tersusun secara sistematis dan tidak bercampur-aduk. Dengan pendekatan ini, mufasir dapat menyoroti suatu tema secara menyeluruh sekaligus membuka diri pada isu-isu dunia kekinian serta pemikiran, aliran dan kepercayaan yang dominan. Setelah itu barulah dia membandingkannya dengan prinsip-prinsip pemikiran Islam untuk melontarkan evaluasi, kritik, dan respons yang afirmatif maupun negatif. Inilah pendekatan yang memposisikan Alquran sebagai neraca kebenaran, keaslian, dan kenyataan dan alat untuk mengukur kelebihan dan kekurangan atau kesahihan dan kesesatan pandangan-pandangan yang lain.[8]

Keistimewaan lain tafsir ini ialah etika sang mufasir dalam memperhatikan makna-makna Alquran secara rendah hati dan khidmat. Etika ini menyiratkan kerinduan dan perasaan tenggelam; sesuatu yang datang dari keyakinan sejati pada keagungan dan kemahaluasan Alquran sekaligus ketundukan dan kepatuhan pada kandungan yang tersedia di dalamnya. Boleh jadi itulah suasana batin yang mencengkram ahli suluk dalam memandang firman Ilahi yang biasa diistilahkan denganmeminjam ungkapan Rudolf Otto—mysterium tremendum et fascinosum (sebuah perasaan takut dan cemas yang menyatu dengan kagum dan takjub). Di hadapan Thabathabai, Alquran hadir sebagai misteri yang mempesona sekaligus menggetarkan; keindahannya begitu menawan dan menyedot seluruh perhatiannya, dan pada saat yang sama keagungannya yang berlimpah memaksanya untuk takut, cemas, tunduk, takluk, dan khidmat. (MK)

Bersambung ke:

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (9): Bidayah dan Nihayah (1)

Sebelumnya:

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (7): Ushul-e Falsafe va Ravesh-e Re’alism

Catatan Kaki:


[1] Lihat, Kamal Haydari, Op.Cit. hal. 129.

[2] Ibid. hal. 130.

[3] Ibid. hal. 131.

[4] Ibid. hal. 131.

[5] Ibid. hal. 132.

[6] Ibid, hal. 33-49.

[7] Ibid. hal. 134.

[8] Ibid. hal. 135.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*