Mozaik Peradaban Islam

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (9): Bidayah dan Nihayah (1)

in Tokoh

Last updated on February 27th, 2019 09:37 am


Keberanian Allamah melanggar tabu pengajaran filsafat di Qum dan rangkuman pengalaman mengajar filsafat selama bertahun-tahun itulah yang kemudian melahirkan Bidayah dan Nihayah.

Allamah Thabathabai. Photo: http://hanat.iki.ac.ir

Selain tafsir Al-Mizan, mahakarya Thabathabai yang juga monumental adalah dua karya filsafatnya yang berjudul Bidayah Al-Hikmah dan Nihayah Al-Hikmah yang ditulis dengan pendekatan matematis, rigorous, ketat, singkat, dan padat. Karya ini hingga sekarang masih merupakan teks daras filsafat Islam papan atas di dunia Islam, terutama sekali karena keduanya tidak berpretensi—seperti umumnya buku daras filsafat Islam—menjelaskan semuanya dengan kehilangan intinya. Dua karya filsafat Thabathabai ini dapat dibilang berhasil merangkum khazanah seribu tahun pemikiran filsafat Islam dalam rangkaian diksi yang sulit ditandingi kepadatan isinya. Oleh karena itu, pembaca yang sempat mempelajari kedua karya itu akan serasa menyelami perbendaharaan yang menyimpan banyak makna dalam tiap lembarnya.

Menurut Kamal Haydari, salah satu langkah awal Thabathabai dalam melembagakan pendidikan filsafat Islam di hawzah Qum ialah menyusun dua buku daras yang sejalan dengan kaidah-kaidah filsafat al-hikmah al-muta’aliyah (baca: filsafat hikmah).[1] Bidayah dia tawarkan sebagai alternatif atas Syarh Al-Manzhumah karya Mulla Hadi Sabzawari dan Nihayah sebagai alternatif atas Al-Asfar Al-Arba’ah karya Mulla Shadra. Baik Syarh Al-Manzhumah maupun Al-Asfar sama-sama merupakan buku babon yang jauh lebih bertele-tele dan rinci ketimbang Bidayah dan Nihayah.[2]

Untuk melukiskan keberhasilan Allamah dalam konteks ini, kita dapat melihat bagaimana Nihayah yang dia tulis untuk merangkum 9 jilid Al-Asfar mampu dia tuangkan dalam 330 halaman, dan itu artinya lebih ringkas dari satu jilid Al-Asfar. Sementara Bidayah ditulisnya dalam 180 halaman, jauh lebih sedikit dari jumlah halaman Syarh Al-Manzhumah. Menariknya, meski tidak mencakup seluruh tema penting yang terdedah dalam Al-Asfar, Bidayah dan Nihayah berhasil merangkum pokok-pokok bahasan yang terpenting bagi pelajar filsafat hikmah, ditambah dengan sederet metode dan tema baru yang dicetuskannya sendiri.[3]

Lantas, apakah kira-kira yang mendorong Thabathabai melahirkan Bidayah dan Nihayah sebagai alternatif atas teks-teks babon filsafat klasik? Untuk menjawab pertanyaan ini secara utuh, marilah kita jelaskan sekilas pemikiran filsafat Thabathabai dalam beberapa alinea berikut.

Muhammad Husein Al-Thahrani, salah seorang murid terkemuka Thabathabai, menuturkan bahwa Thabathabai selalu menunjukkan takzim khusus kepada Ibn Sina lantaran keunggulannya dalam menuangkan demonstrasi dan spekulasi filosofis dibanding Mulla Shadra.[4] Namun, pada saat yang sama, Thabathabai mengagumi Mulla Shadra yang berhasil mendekonstruksi filsafat Yunani dan merekonstruksinya dalam bingkai yang lebih “Islam” di atas prinsip “ashalah al-wujud[5] dan “wahdah wa tasykik al-wujud”.[6] Melalui dua prinsip utama itu kemudian Shadra mencetuskan sejumlah prinsip seperti “imkan al-asyraf”, “al-harakah al-jawhariyyah”,[7]ittihad al-‘aqil wa al-ma’qul”,[8]al-huduts al-zamani”, “basith al-haqiqah kullu al-asy-ya” dan sebagainya.

Thabathabai percaya bahwa filsafat Mulla Shadra lebih mendekati realitas ketimbang berbagai filsafat lain dan menganggapnya berhasil mengembangkan filsafat ketuhanan yang semula berkisar pada 200 tema menjadi 700 tema. Kekaguman Thabathabai pada Mulla Shadra juga timbul dari keengganannya terseret arus aliran Peripatetik yang melulu rasionalistik-spekulatif, dengan cara menemukan pola harmonisasi filsafat spekulasi mental dengan iluminasi batin dan penyaksian hati. Kedua metode itupun lantas diintegrasikan Shadra dengan syariat Islam yang menyeluruh.

Berkat keberhasilannya mengintegrasikan ketiga sumber pengetahuan manusia itu, Thabathabai percaya bahwa Mulla Shadra telah mengentaskan filsafat dari keterpurukan, merekonstruksinya, meniupkan nyawa baru ke dalamnya dan memberinya gairah yang membara. Selain itu, Thabathabai juga takjub pada kepribadian Shadra yang gigih dalam bersikap zuhud, bersuluk menuju Allah, membersihkan batin, mempraktikkan olah jiwa yang sesuai syariat dan uzlahnya di gua Kahak di dekat Qum, semata-mata karena dia percaya bahwa kesucian jiwa adalah yang terpenting dari semuanya.

Bertolak dari semua itulah Thabathabai mempelajari filsafat Shadra dengan serius dan kemudian sibuk mengajarkannya di hawzah Qum selama beberapa tahun. Allamah mengajarkan dua maha karya filsafat Islam, yaitu Al-Syifa-nya Ibn Sina dan Al-Asfar. Menurut Allamah, kedua filosof tadi, ditambah Al-Farabi, adalah jajaran filosof papan teratas, mengungguli para filosof seperti Nashiruddin Thusi, Bahmaniyar, Ibn Rusyd, dan Ibn Turkah. Keberanian Allamah melanggar tabu pengajaran filsafat di Qum masa itu menunjukkan kepeduliannya yang tinggi terhadap bidang yang satu ini, serta harapannya pada filsafat sebagai metode memperkenalkan kebenaran di dunia modern. Rangkuman pengalaman mengajar filsafat selama bertahun-tahun itulah yang lantas melahirkan Bidayah dan Nihayah.[9] (MK)

Bersambung ke:

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (10): Bidayah dan Nihayah (2)

Sebelumnya:

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (8): Tafsir Al-Mizan

Catatan Kaki:


[1] Untuk mengenal secara garis besar mengenai konsep Filsafat Hikmah, redaksi ganaislamika.com pernah mempublikasikan artikel yang ditulis Musa Kazhim berjudul “Mengenal Filsafat Hikmah”. Untuk membaca, bisa mengakses melalui link berikut: https://ganaislamika.com/mengenal-filsafat-hikmah/

[2] Lihat, Kamal Haydari. Op.Cit. hal. 79.

[3] Lihat, Ibid, hal. 80.

[4] Lihat, Ibid.

[5] Prinsip yang disebut dengan ashâlah al-wujûd yang berintikan bahwa wujud adalah ungkapan bagi realitas secara mutlak yang mau tak mau pasti kita akui keberadaannya. Di luar itu, yakni segenap ungkapan dan konsep lain yang terdapat dalam perbendaharaan bahasa manusia – yang dalam istilah para filosof disebut dengan mâhiyyah  -adalah rekaan manusia (i’tibâriyyah). Semua konsep selain wujud hanyalah batasan konseptual atau ilustrasi dari wujud. Lihat, Thabathaba`i, Nihâyah Al-Hikmah, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, 1422 H., Qum, hal. 14 & 20.

[6] Untuk menjelaskan keberagaman wujud yang kita saksikan secara langsung di alam raya ini, filsafat hikmah mengajukan prinsip yang disebut dengan tasykîk al-wujûd. Intinya, wujud yang mutlak itu merupakan kenyataan atau realitas yang bertingkat-tingkat. Contoh yang lazim digunakan untuk menggambarkan kebertingkatan itu adalah cahaya sebagai realitas yang bergradasi. Lihat, ibid, hal. 24

[7] Setiap titik dalam wujud yang bertingkat-tingkat itu mengalami proses evolusi yang terus-menerus dalam suatu gerakan substansial. Perlu dicatat bahwa dalam wacana filsafat, gerak (harakah) diartikan sebagai proses aktualisasi potensi (khuruj al-quwwah ila al-fi’li). Inilah prinsip yang disebut dengan al-harakah al-jauhariyyah. Lihat, Musa Kazhim, “Mengenal Filsafat Hikmah”, https://ganaislamika.com/mengenal-filsafat-hikmah/, Op Cit

[8] Gerakan substansial dalam konteks manusia terjadi melalui hubungan subjek dengan objek. Subjek di sini adalah ruh, jiwa atau akal, sementara objek adalah pengetahuan yang dicerapnya (‘ilm). Jadi, pertumbuhan ruh manusia ditentukan oleh objek-objek pengetahuan yang dicerapnya, persis sebagaimana pertumbuhan tubuh ditentukan oleh gizi yang dimakannya. Makin tinggi nilai objek-objek pengetahuannya, makin subur dan “sehat” ruh itu. Sebaliknya, makin rendah nilai objek-objek pengetahuannya, makin lemah, “sakit”, dan surut ruh itu. Inilah prinsip yang dalam filsafat hikmah disebut dengan ittihâd al-‘âqil bi al-ma’qûl. Lihat, Ibid

[9] Lihat, Kamal Haydari. Op Cit. hal. 83.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*