Dinasti Abbasiyah (7): Meracik Legitimasi (2)

in Sejarah

Last updated on March 4th, 2019 09:43 am


Persia dan Khurasan adalah kawasan yang cocok bagi Bani Abbas untuk memulai gerakan revolusi. Karena di tempat ini masyarakatnya mengalami diskriminasi rasial sejak awal berdirinya Dinasti Umayyah. Ditambah lagi, kawasan ini jauh dari pusat kekuasaan, sehingga kontrol kekuasaan pusat terbilang lemah. Dan yang terpenting, masyarakatnya sangat menghormati dan mencintai keluarga Rasulullah Saw. Sehingga klaim mereka sebagai wali dari keluarga Nabi, menjadi relevan.


Gambar ilustrasi. Sumber: Medievalists.net

Revolusi, adalah satu visi politik yang secara luas berkembang di dunia Islam pasca terjadinya peristiwa Karbala. Visi ini terus mengental menjadi gerakan dan menemukan beberapa kali momentumnya. Tapi sayang, karena satu dan lain hal, gerakan-gerakan yang dirancang tersebut umumnya kandas di tengah jalan. Karena jelas bukan hal mudah menggulingkan kekuasan Dinasti Umayyah.

Terlepas dari pendapat masyakat bahwa Dinasti ini didirikan di atas pondasi yang buruk, para khalifah Dinasti Umayyah selalu mampu beradaptasi dengan perubahan pola ancaman dan determinasi politik pada oposisinya. Alih-alih, mereka bahkan mampu mengontrol ruang lingkup wilayah yang demikian luas pada zamannya. Bila dikalkulasi saat ini, wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah pada masa itu mungkin setara dengan lebih dari 30 negara-bangsa hari ini.

Al Maududi menyatakan, “Pemerintah Bani Umayyah adalah pemerintahan yang memiliki wibawa besar sekali, meliputi wilayah yang amat luas, mulai dari negeri Sind dan berakhir di negeri Spanyol. Ia demikian kuatnya, sehingga apabila seseorang menyaksikannya, pasti akan berpendapat bahwa usaha mengguncangnya adalah sesuatu yang tidak mudah bagi siapapun. Namun jalan yang ditempuh oleh pemerintahan Bani Umayyah, meskipun ia dipatuhi oleh sejumlah besar manusia yang takluk kepada kekuasaanya, tidak sedikitpun memperoleh penghargaan dan simpati dalam hati umat.”[1]

Untuk mengguncang tatanan sekuat ini, dibutuhkan sebuah isu yang lebih dari sekedar masalah sosial-ekonomi ataupun isu politik yang bersifat parsial. Melainkan sebuah visi komprehensif yang mencakup keseluruhan masalah keumatan. Hanya saja, revolusi besar seperti ini haruslah dibimbing oleh ideologi yang komprehensif, serta dipimpin oleh sosok yang legitimate pula. Dari kedua aspek tersebut, (pada awalnya) tidak satupun Bani Abbas memilikinya. Maka ketika Bani Abbas berhasil tampil sebagai pemimpin revolusi tersebut, ini jelas suatu hal yang fenomenal.

Secara garis besar, upaya Bani Abbas menunggangi revolusi berlangsung pada dua aras; pertama, di tingkat elit. Hal ini menyangkut masalah legitimasi. Ketika anak keturunan Ali dan Fatimah – yang selalu ditunggu kehadirannya untuk memimpin revolusi – tidak berminat pada kekuasaan duniawi, anak keturunan Abbas berhasil menunggangi aspirasi rakyat untuk melakukan revolusi serta menyeret legitimasi Keluarga Muhammad Saw yang sebelumnya menjadi hak keturunan Ali dan Fatimah beralih ke Bani Abbas. Inilah isu besar yang diusung oleh Bani Abbas, yaitu merebut kembali hak Ahlul Bait Rasulullah Saw yang sudah dirampas oleh Bani Umayyah.[2]

Setelah Muhammad bin Ali berhasil meyakinkan sebagian masyarakat tentang pemberian baiat oleh Abu Hasyim bin Muhammad bin Hanafiah atas dirinya, segera setelah itu, para pengikut Abu Hasyim menjadi pengikut utama Muhammad bin Ali. Meski begitu, Muhammad tetap meminta pendukungnya agar merahasiakan kepemimpinannya.[3]

Kedua, di akar rumput. Sebenarnya inilah proses nyata yang dibangun oleh Bani Abbas dalam menyusun formasi awal kekuasaannya. Adalah sentimen Arab vs non-Arab yang menjadi isu utama yang mereka gunakan untuk membakar kemarahan rakyat. Pada masa sebelumnya, sentimen ini terjadi hanya satu arah, yaitu dari orang-orang Arab ke non-Arab. Bani Umayyah sangat getol mengkampanyekan semangat ashobiyah ini. Sedemikian sehingga, wacana ini menjadi demikian rasis, dan melahirkan tabiat-tabiat pemerintahan yang bersifat kolonialistik di wilayah taklukkannya. Bahkan kebijakan-kebijakan Bani Umayyah tetap diskriminatif sekalipun masyarakat di wilayah taklukkan tersebut sudah memeluk agama Islam.

Dalam prosesnya, masyarakat juga sebenarnya jengah dengan prilaku diskriminatif tersebut. Tapi mereka diam, tidak menunjukkan secara terang-terangan. Bani Abbas dengan jeli melihat kesempatan dalam situasi ini. Mereka melancarkan propaganda yang memancing lahirnya sentimen anti-Arab di wilayah-wilayah taklukan Dinasti Umayyah.

Adapun tempat terbaik untuk membakar sentimen anti-Arab ini adalah Persia dan Khurasan.[4] Karena di tempat ini masyarakatnya sudah mengalami segregasi sosial dengan masyarakat Arab akibat diskriminasi rasial sejak awal berdirinya Dinasti Umayyah. Ditambah lagi, kawasan ini jauh dari pusat kekuasaan, sehingga kontrol kekuasaan pusat terbilang lemah. Dan yang terpenting, masyarakatnya sangat menghormati dan mencintai keluarga Rasulullah Saw. Sehingga klaim mereka sebagai wali dari keluarga Nabi, menjadi relevan. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Abul A’la Al-Maududi, “Khalifah dan Kerajaan; Konsep Pemerintahan Islam serta Studi Kritis terhadap ‘Kerajaan’ Bani Umayyah dan Abbasiyah.” Bandung, Kharisma, 2007, hal. 226

[2] Lihat, Mahayudin Hj Yahaya, The Social and Political Background of the `Abbasid Revolution: The Rise of the `Abbasid Caliphate, International Journal of Humanities And Cultural Studies ISSN 2356-5926, Volume 2, Issue 3 December 2015, hal.

[3] Lihat, Imam Al Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, Jakarta, Qisthi Press, 2017, hal. 278

[4] Sebagaimana dijelaskan oleh Al Maududi; “Di antara pengarahan-pengarahan yang dikirimkan oleh Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, imam gerakan kaum Abbasiyah, kepada Abu Muslim Al Khurasani, ketika menyerahkan kepadanya penanganan daerah Khuarasan, ialah nasehat agar memanfaatkan pertikaian-pertikaian yang ada antara suku-suku Yaman dan Suku-suku Mudhar, dan membenturkan sebagian dari mereka dengan sebagian lainnya. Demikian pula di antara perintah-perintah yang ditujukan kepadanya, ‘apabila engkau dapat memusnahkan setiap lidah yang berbicara bahasa Arab, maka lakukanlah hal itu, dan sekiranya engkau – sedikit saja – meragukan kebangsaan Arab dari seorang anak kecil yang panjangnya lima jengkal atau leih, bunuhlah dia’.“ Lihat, Abul A’la Al-Maududi, Op Cit, hal. 231-232 o

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*