Dinasti Abbasiyah (6): Meracik Legitimasi (1)

in Sejarah

Last updated on March 4th, 2019 09:39 am


Yang dimaksudkan sebagai keluarga Rasulullah Saw (Ahlul Bait) memang masih jadi perdebatan dalam dunia Islam hingga sekarang. Tapi yang terjadi pada zaman itu, umumnya masyarakat Persia dan Khurasan melihat bahwa kepemimpinan keluarga Muhammad Saw haruslah berasal dari keturunan Ali dan Fatimah.


Gambar ilustrasi. Sumber:
Tirto.ID

Pasca terjadinya tragedi Karbala, yang menyebabkan terbunuhnya hampir semua anak keturunan Rasulullah Saw, dunia Islam bergolak. Pemberontakan demi pemberontakan terjadi tanpa jedah di banyak tempat. Marwah khilafah yang begitu skaral pada masa Khulafa Rasyidin, sekarang turun hingga ke titik nadir. Sehingga setiap orang merasa berhak berada di posisi tersebut. Tidak ada lagi kualifikasi yang ketat seperti yang diberikan oleh Umar bin Khattab ketika menjelang kematiannya. Dimana kualitas-kualitas ketakqwaan, keshalehan dan kezuhudan masih menjadi pertimbangan yang utama. Situasi ini pada akhirnya melahirkan banyak intrik politik dan pemberontakan dalam tubuh pemerintahan. Dimana hal ini pulalah yang kemudian mengguncang stabilitas tatanan politik Dinasti Umayyah.[1]

Sedang disisi lain, harapan masyarakat akan munculnya kepemimpinan yang adil semakin menjulang tinggi. Tidak sedikit kelompok ataupun golongan yang mendapuk dirinya layak menjadi pemimpin kaum Muslimin. Tapi masyarakat, khususnya di Persia dan Khurasan melihat sosok tersebut hanya ada dalam lingkar keluarga Rasulullah Saw.

Adapun anak keturunan Rasulullah Saw, umumnya pada masa ini lebih memilih jalan lain, yaitu membangun kesadaran umat akan pandangan dunia tauhid, ketimbang berjuang memperebutkan kekuasaan duniawi. Karena inilah yang menjadi sumber masalah pada zaman itu (mungkin juga hingga sekarang). Dimana pandangan dunia yang bersifat materialistik tersebut sudah demikian mewabah dan menjadi penyakit kronis di dalam masyarakat. Pandangan dunia ini melahirkan cara pandang yang dikotomis (jamak), diskriminatif dan strukturalis, serta – yang paling penting – pandangan dunia inilah yang menjadi basis berdirinya kebudayaan jahiliyah yang berpotensi membunuh DNA kemanusiaan. Dalam selubung padangan dunia yang materialistik seperti itu, memenangkan perang ataupun menumbangkan sebuah dinasti jelas tidak akan menyelesaikan masalah. Karena pada hakikatnya, semangat fanatisme kelompok tetap akan menjadi berhala yang dipuja manusia. Pada akhirnya, mereka hanya ingin memenangkan kelompoknya atas kelompok yang lain. Dan ini tidak akan mengubah apapun, selain memperkuat basis paham jahiliyah yang sudah dihapus oleh Rasulullah Saw. [2]

Dalam kondisi seperti ini, tidak sedikit pihak yang mengaku sebagai perwakilan keluarga Rasulullah Saw di tengah masyarakat. Sebab hanya dengan legitimasi inilah mereka mampu menggalang dukungan luas dari masyarakat. Salah satunya, adalah Bani Abbas.

Sebagai catatan, yang dimaksudkan sebagai keluarga Rasulullah Saw (Ahlul Bait) memang masih jadi perdebatan dalam dunia Islam hingga sekarang. Tapi yang terjadi pada zaman itu, umumnya masyarakat Persia dan Khurasan melihat bahwa kepemimpinan keluarga Muhammad Saw haruslah berasal dari keturunan Ali dan Fatimah.[3] Sebagaimana sudah kita ulas pada edisi sebelumnya, anggapan masyarakat ini memang berdiri di atas landasan objektif, yang kemudian makin menguat dan cenderung subjektif, seiring dengan semakin kerasnya perlakukan Bani Umayyah pada tokoh-tokoh ahlul bait. Maka untuk menggalang kekuatan rakyat, para oposisi Dinasti Umayyah tidak memiliki taktik lain selain membuat klaim yang mengatasnamakan anak keturunan Ali dan Fatimah. Dan inilah yang dilakukan oleh Bani Abbas pada awalnya.

Adalah Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, tokoh Bani Abbas yang mula-mula mengaku sebagai imam keluarga Rasulullah Saw. Dia yang mula-mula menggagas upaya untuk menunggangi gejolak politik yang sedang terjadi, dan merampas kekuasaan khalifah untuk dirinya sendiri. Ketika memulai gerakannya, dia tetap tampil sebagai sosok yang memperjuangkan hak-hak Ahlul Bait Rasulullah Saw. Namun secara perlahan dia mulai memperkenalkan sebuah doktrin baru yang berisi:[4]

“Bahwa setelah kematian Husein di Karbala, kepemimpinan spiritual dalam Islam tidak berpindah pada putranya yang selamat, yakni Ali (Zain al Abidin). Menurutnya kepemimpinan jatuh pada Muhammad ibn Hanafiyah, salah seorang putra Khalifah Ali dari istri yang lain, yang beliau nikahi setelah Sayidah Fatimah meninggal dunia. Istri Ali tersebut berasal dari kabilah Hanifah; dan ketika Ali wafat, kekuasaan klan tersebut beralih kepada putranya yang bernama Hasyim. Dimana kemudian, Hasyim secara formal menyerahkan otoritas tersebut kepada Muhammad bin Ali dari Bani Abbas.”

Dari doktrin baru inilah, Muhammad bin Ali mulai membagun asas legitimasinya. Hebatnya, doktrin ini dipercaya bahkan diterima di beberapa daerah, meski sebagian besar orang yang mengerti tetap tidak mempercayainya, dan tetap setia pada keturuan Ali dan Fatimah. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Ketika itu, Umar mengajukan enam buah nama, diantaranya; Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubidillah, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqash. Bila dilihat, dari keenam calon yang diajukan oleh Umar, memenuhi juga kualifikasi integritas dan kecakapan managerial. Semua calon tersebut umumnya adalah orang-orang yang sudah terlebih dahulu memeluk Islam daripada sahabat yang lain, dan juga tercatat telah mendedikasikan dirinya secara total di jalan Islam. Dengan kualifiksi semacam ini, sangat wajar bila pada masa itu posisi khalifah menjadi begitu sakral dan berwibawa di mata kaum Muslim maupun di mata orang-orang non Muslim. Lihat, Ali Audah, Ali bin Abi Thalib; Sampai kepada Hasan dan Husain, Jakarta, Lentera AntarNusa, 2003, hal. 191

[2] Terkait tinjauan komprehensif tentang kebangkitan kembali paham jahiliyah ini pasca wafatnya Rasulullah Saw, redaksi ganaislamika.com pernah memuat serial tulisan berjudul “Memaknai Revolusi Imam Husein.” Untuk membaca, bisa mengakses melalui link berikut: https://ganaislamika.com/memaknai-revolusi-imam-husein-1-warisan-agung/

[3] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam or The Life and Teachings of Mohammed, Calcutta, S.K. Lahiri & Co, 1902. Lihat juga, Abul A’la Al-Maududi, “Khalifah dan Kerajaan; Konsep Pemerintahan Islam serta Studi Kritis terhadap ‘Kerajaan’ Bani Umayyah dan Abbasiyah.” Bandung, Kharisma, 2007

[4] Lihat, Syed Ameer Ali, Ibid, hal. 277

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*