Dinasti Abbasiyah (5): Benih-Benih Revolusi (3)

in Sejarah

Last updated on March 4th, 2019 09:33 am

Kecintaan masyarakat Persia dan Khurasan pada keturunan Ali dan Fatimah kerap dilingkupi oleh sikap-sikap emosional, sama halnya dengan kebencian mereka pada kebijakan-kebijakan penguasa Umayyah. Sehingga meski berkali-kali mereka menyatakan kesetiaannya dan pembelaannya terhadap keturunan Ali dan Fatimah, berkali-kali itu pula mereka terjerat oleh tipu daya politik Bani Umayyah. 

Gambar ilustrasi. Sumber: Libgar.com

Sebagaimana sudah diulas pada edisi sebelumnya, dimana penghormatan serta kecintaan masyarakat Persia dan Khurasan pada keturunan Ali dan Fatimah demikian kuat. Kecintaan ini awalnya tumbuh secara objektif, kemudian makin mengental seiring dengan makin menumpuknya faktor-faktor emosional yang bersifat subjektif. Maka tak ayal, mereka sangat mendukung ketika muncul ajakan untuk melakukan pemberontakan dengan mengatasnamakan hak keluarga Muhammad. Fakta ini tidak mungkin kita negasikan ketika mengisahkan narasi terbentuknya Dinasti Abbasiyah.

Sebagaimana keutamaan keluarga Rasulullah Saw, keburukan Dinasti Umayyah juga demikian objektif. Al Maududi memaparkan keburukan ini secara terperinci dalam karyanya, “al Khilafah Wal Mulk” yang saat ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Khilafah dan Kerajaan”. Dalam karya tersebut, Al Maududi menggambarkan, bahwa tradisi kecurangan, dan kekejaman yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah sudah dimulai sejak awal mula Muawiyah dinobatkan sebagai khalifah pertama Bani Umayyah. Di masa inilah, perilaku bid’ah terjadi demikian masif.[1] Muawiyah, dengan perlahan membolak balikkan ketetapan hukum Islam, dan membuatnya bercampur baur dengan kepentingan politik.

Sebagai contoh, sebagaimana diungkap Al Maududi; “Muawiyah sendiri dan para pejabatnya yang lain, dengan perintahnya, melaksanakan kebiasaan mengumpat dan mencaci pribadi Sayyidina Ali dalam pidato-pidato mereka di atas mimbar-mimbar kaum Muslimin. Bahkan, lebih dari itu, mereka melaknatnya – sedangkan dia adalah anggota kerabat Rasulullah yang paling dicintai dan paling dekat dengan hati beliau yang suci – dari atas mimbar Masjid Nabawi dan di depan Raudhah Nabawiyah, di saat-saat putra-putra Sayyidina Ali dan kerabatnya yang terdekat mendengar kutukan-kutukan ini dengan telinga-telinga mereka.”[2]

Padahal menurut Al Maududi, mengumpat seseorang setelah wafatnya adalah suatu hal yang berlawanan dengan akhlak kemanusiaan, apalagi dengan syariat; sebagaimana mencampuradukkan khutbah Jum’at secara khusus dengan ucapan-ucapan yang kotor seperti itu, ditinjau dari padangan agama dan akhlak, adalah perbuatan yang amat kasar dan keji. Kebiasaan ini, kemudian menjadi tradisi dalam pemerintahan Bani Umayyah dan berkembang di berbagai belahan dunia Islam. Alih-alih berhasil menarik simpati masyarakat terhadap penguasa Dinasti Umayyah, perbuatan ini membuat kecintaan masyarakat makin berkobar kepada keturunan Ali dan Fatimah.[3]

Keburukan lain yang menurut Al Maududi cukup fundamental dilakukan oleh para pimpinan Dinasti Umayyah, adalah bagaimana mereka secara perlahan membangun tradisi kekejaman dan kesadisan kepada lawan politik dan rakyat yang dianggap menentangnya. Sebagaimana dikatakan oleh Al Maududi, “…semua itu seakan-akan merupakan pengumuman dan izin bagi pejabat dan para jenderal untuk, dengan kebebasan sepenuhnya, melakukan teror terhadap rakyat dan tidak mengikuti suatu batasan apapun di antara batasan-batasan syariah dalam urusan-urusan pemerintahan. Demikian pula, di masa itu tersebar luaslah cerita-cerita pemenggalan kepala-kepala manusia dan mengirimkannya dari suatu tempat ke tempat lain. Sebagaimana tersebar di kalangan kaum Muslimin cara-cara pembunuhan yang paling keji, pelanggaran kehormatan jasad-jasad orang mati, pencincangan dan sebagainya yang memang sudah terkenal dalam masa jahiliyah dan diharamkan oleh Islam secara keras dan telah dihentikan sama sekali.”[4]

Ironisnya, perbuatan ini tidak hanya menimpa rakyat biasa, tapi justru menimpa sahabat Rasulullah dan para tabi’in. Menurut Al Maududi, tradisi ini sudah dimulai ketika pertama kali terjadinya Perang Shiffin antara pengikut Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Ketika itu, kepala yang pertama kali dipenggal dan diarak adalah kepala Ammar bin Yasir, salah satu sahabat utama.[5]

Kemudian yang tak kalah memilukan, adalah perlakukan mereka kepada Muhammad, putra khalifah Abu Bakar as-Siddiq di Mesir. Pada waktu itu, Muhammad adalah wali negeri Mesir yang ditunjuk oleh Sayyidina Ali. Dan ketika Muawiyah berhasil menguasai negeri itu, diapun membunuhnya kemudian meletakkan jasadnya dalam perut bangkai seekor himar dan kemudian membakarnya. Juga perlakuan Busr bin Arthaah, salah satu orang kepercayaan Muawiyah, ketika dia menaklukkan Hijaz dan Yaman yang ketika itu dipimpin oleh Ubaidullah bin Abbas. Ketika dia berhasil menaklukan wilayah tersebut, Busr menangkap dan membunuh kedua putra Ubaidullah yang masih kecil, menganiaya penduduknya, serta memperbudak kaum wanita yang tertangkap dalam peperangan tersebut. Suatu perbuatan yang sama sekali tidak dibenarkan dalam syariat Islam.

Jejak kekejaman ini, kemudian berakumulasi secara sempurna dalam tragedi Karbala, yang justru menimpa keluarga Rasulullah Saw. Peristiwa ini kemudian menjadi mega tragedi yang tak terlupa dalam sejarah peradaban kaum Muslimin. Keluarga Rasulullah yang dipimpin oleh Husein bin Ali, termasuk di dalamnya wanita dan anak-anak, berjalan ke negeri Persia guna menyambut undangan dari penduduk di sana. Mereka kemudian dihadang oleh pasukan Yazid bin Muawiyah yang dipimpin oleh Umar bin Sa’ad bin Abi Waqash atas suruhan dari Ubaidillah bin Ziyad bin Abihi. Selama lebih dari seminggu rombongan ini dikepung dalam kondisi haus dan lapar, serta tidak diberikan akses kepada air minum. Singkat kata, pada hari ke 10 Muharram 61 H, rombongan ini dibantai, sehingga tinggal menyisakan wanita dan satu orang orang anak Husein bin Ali yang ketika itu sedang sakit keras.[6]

Menurut Tabari, sebanyak 70 kepala yang akhirnya dibawa oleh pasukan Umar bin Sa’ad.[7] Menurut Ali Audah, pada peristiwa Karbala ini, personil Husein bin Ali hanya terdiri dari 72 orang, 32 orang pasukan berkuda dan 40 pejalan kaki. Adapun jumlah pasukan yang dibawa oleh Umar bin Sa’ad atas perintah Ubaidillah bin Ziyad sebanyak 4000 orang.[8] Tapi bila melihat dari nama-nama korban yang disebutkan oleh Tabari, hampir setengahnya dari korban-korban ini tidak lain adalah sanak keluarga Al Husein sendiri. Dengan kata lain bisa anggap, bahwa yang dibawa Al Husein ini memang bukan sebuah pasukan tempur. Sehingga peristiwa yang terjadi di Karbala lebih layak disebut sebagai pembantaian daripada sebuah pertempuran.

Peristiwa Karbala, bisa dikatakan sebagai titik balik yang menandai dimulainya masa kehancuran Dinasti Umayyah. Sejak peristiwa tersebut, para khalifah Bani Umayyah berikut aparaturnya sudah anggap secara definitif sebagai rezim yang buruk. Sedang di sisi lain, kecintaan dan penghormatan masyarakat kepada keturuan Ali dan Fatimah semakin menjadi-jadi. Satu persatu pemberontakan pun pecah dengan mengatasnamakan kehormatan keluarga Muhammad. Adapun Persia dan Khurasan, menjadi semacam pusat terbesar kekuatan pemberontak tersebut.

Tapi, layaknya kecintaan masyarakat Persia dan Khurasan pada keturunan Ali dan Fatimah, kebencian mereka pada kebijakan-kebijakan penguasa Umayyah juga kerap dilingkupi oleh sikap-sikap emosional. Sehingga mereka kerap tidak bisa membaca situasi secara seksama dan objektif. Ini sebabnya, meski berkali-kali penduduk Persia dan Khurasan menyatakan kesetiaannya dan pembelaannya terhadap keturunan Ali dan Fatimah, berkali-kali itu pula mereka terjerat oleh tipu daya politik Bani Umayyah. Demikian pula, kedua aspek emosional ini pulalah yang kelak ditunggangi oleh Bani Abbas untuk mengukuhkan legitimasinya dan menggalang revolusi Abbasiyah. (AL)

Bersambung…

Dinasti Abbasiyah (6): Menunggangi Revolusi (5)

Sebelumnya:

Dinasti Abbasiyah (4): Benih-Benih Revolusi (2)

Catatan kaki:

[1] Ibn Katsir berkata bahwa Mu’awiyah juga telah mengganti Sunnah Rasul Saw dan para khulafah rasyidun dalam urusan diyat. Sebelum itu, diyat (denda) pembunuhan terhadap seorang non-Muslim yang telah mengikatkan perjanjian dengan negara Islam, jumlahnya sama dengan diyat seorang Muslim. Tapi Mu’awiyah menguranginya sampai setengahnya dan dia mengambil setengahnya yang lain bagi dirinya. Lihat, Lihat, Abul A’la Al-Maududi, “Khalifah dan Kerajaan; Konsep Pemerintahan Islam serta Studi Kritis terhadap ‘Kerajaan’ Bani Umayyah dan Abbasiyah.” Bandung, Kharisma, 2007, hal. 205

[2] Ibid

[3] Tradisi buruk ini baru berubah ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah Dinasti Umayyah. Umar lalu caci maki tersebut dengan memerintahkan agar dibacakan ayat-ayat Al-Quran yang Suci: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan dan memberi kepada kerabat, dan Allah melarang kamu dari perbuatan keji, kemungkaran dan  permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q. S. 16:90). Lihat, Ibid

[4] Lihat, Ibid, hal. 209

[5] Terkait hal ini, Al Maududi mengutip dari Imam Ahmad bin Hambal yang menukilkan di dalam Musnadnya, dengan sanad yang shahih sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Sa’d dalam kitab, at-Thabaqat, suatu riwayat yang menyatakan bahwa kepala Ammar bin Yasir dipenggal pada Perang Shiffin dan dibawa ke hadapan Muawiyah. Kemudian dua orang laki-laki saling berebut, masing-masing mengaku bahwa dialah yang telah membunuh Ammar. Lihat, Ibid. Lihat juga, Musnad Ahmad, hadist no. 6538 dan 6929; Thabaqat Ibnu Sa’d Jilid 3, hal. 253

[6] Terkait tinjauan komprehensif tentang Tragedi Karbala dan Revolusi Imam Husein, redaksi ganaislamika.com pernah memuat serial tulisan berjudul “Memaknai Revolusi Imam Husein.” Untuk membaca, bisa mengakses melalui link berikut: https://ganaislamika.com/memaknai-revolusi-imam-husein-1-warisan-agung/

[7] Saat Husein bin Ali terbunuh, kepala-kepala tersebut dibawa ke Ubaydillah bin Ziyad. Suku Kindah membawa tiga belas kepala, dan pemimpin mereka adalah Qays b. al-Ash ‘ath. Suku Hawazin membawa dua puluh kepala, dan pemimpin mereka adalah Shamir b. Dhi al-Jawshan. Sukum Tamim membawa tujuh belas kepala. Bani Asad membawa enam kepala. Madhhij membawa tujuh kepala. Dan sisa tentara membawa tujuh orang kepala. Total semua jumlah kepala tersebut adalah tujuh puluh kepala. Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XIX., The Calipate of Yazid B. Muawiyah, Translated by C. E. Bosworth, State University of New York Press, 1990, hal. 179

[8] Lihat, Ali Audah, Ali bin Abi Thalib; Sampai kepada Hasan dan Husain, Jakarta, Lentera AntarNusa, 2003, hal. 448

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*