Diskursus Sufi (17): Kiat Menjadi Pencinta Allah

in Tasawuf

Last updated on June 3rd, 2019 08:38 am

Rumi bertutur: “Wahai orang yang telah menjual diri hakikinya lantaran ketakmampuannya mengekang hawa nafsu! Engkau mengira makhluk asing (baca: binatang) sebagai dirimu, padahal ia jelas-jelas bukan dirimu.”

Gambar ilustrasi. Sumber: medium.com


Memang sedikit yang bisa dikatakan orang tentang cinta, tapi lebih sedikit lagi yang bisa dikatakan orang tentang Tuhan. Maka, ketika cinta menemukan Tuhan, orang tiada lagi bisa berkata-kata.  Menurut para sufi, cinta adalah mukjizat terbesar Tuhan, dan Tuhan adalah terminal akhir cinta. Mencintai Tuhan berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dan sebaliknya: mencintai selain Tuhan berarti absurditas dan kekonyolan.

Akan tetapi, Kebijaksanaan Allah menghendaki agar semua drama percintaan ini berlangsung di panggung dunia. Dan dunia dalam wacana tasawuf mempunyai dua pengertian: alam fisik tempat kita hidup dan tingkat ketergantungan kita kepada alam tersebut.

Dunia sebagai alam fisik merupakan manifestasi Keindahan Ilahi yang sangat menakjubkan. Melalui persona keindahannya, Allah berkehendak memupuk dan memperkaya kecintaan makhluk kepada-Nya. Namun, pada saat yang sama, keindahan yang merupakan “permainan” manifestasi dan refleksi Ilahi ini juga bisa menipu manusia, sehingga dia lalai akan Kemahaindahan Penciptanya. Ini oleh para sufi digambarkan sebagai ketertipuan yang berasal dari diri (nafs) manusia yang sangat suka pada “yang tampak (azh-zhahir)” dan “yang segera (al-‘ajilah)”. Oleh para sufi kecenderungan ini dianggap sebagai hijab (penghalang). Dan diri yang ber-hijab akan senantiasa terkungkung dalam bayang-bayang manifestasi dan melupakan Sumber serta Hakikat Kemahaindahan.[1]

Dunia dalam pengertian inilah yang dikecam oleh para nabi, orang-orang suci, dan para sufi dalam berbagai ucapan mereka. Salah satunya adalah ucapan Sayidina Ali r.a. berikut: “…Demi Allah, seandainya kau (wahai dunia) adalah manusia yang tampak nyata, berjiwa-berperasaan, niscaya akan kulaksanakan hukuman Allah atasmu, sebagai pembalasan bagi hamba-hamba Allah yang telah kau kelabui dengan angan-angan kosong. Atau bangsa-bangsa yang kau jerumuskan ke dalam jurang-jurang kehancuran. Atau raja-raja yang kau gelandang ke arah kebinasaan dan kau seret ke pusat-pusat nestapa dan kesulitan, tanpa sedikit pun kesempatan bagi mereka untuk kembali (ke jalan yang benar)…”[2]

Dunia dalam pengertian kedua ini adalah suatu state of mind, dan karenanya sangat berkaitan dengan jiwa itu sendiri. Jiwa yang hampa akan mudah terpaut oleh permainannya. Sebaliknya, jiwa yang penuh dengan keimanan takkan pernah terjerat olehnya. Di antara keduanya adalah jiwa kebanyakan kita yang terombang-ambing di antara dua keadaan tadi.

Situasi terombang-ambing ini tak lain akibat adanya pertarungan yang sengit antara diri sejati dan diri palsu dalam jiwa manusia. Menurut para sufi, diri sejati adalah hakikat manusia, kecenderungan rasionalnya, fitrah-nya, sedangkan diri palsu adalah kecenderungan hewani dan hawa nafsunya.

Diri hakiki manusia ini tidak jarang dikalahkan oleh kecenderungan hewaninya sehingga jadilah ia binatang dalam pengertian yang sebenarnya(bahkan lebih buruk daripada itu. Rumi bertutur: “Wahai orang yang telah menjual diri hakikinya lantaran ketakmampuannya mengekang hawa nafsu! Engkau mengira makhluk asing (baca: binatang) sebagai dirimu, padahal ia jelas-jelas bukan dirimu.”

Untuk menjaga kesejatian diri, para sufi menganjurkan kita untuk melakukan jihad an-nafs (perjuangan melawan diri). Dalam suatu hadis yang sangat terkenal, jihad an-nafs ini disebut sebagai jihad akbar (perjuangan besar). Sebab, di sini kita harus melawan dan menekuk diri sendiri.

Jihad an-nafs mestilah diawali dengan tafakkur (perenungan). Setelah ada kesadaran, barulah kita bertekad (azm) untuk bertindak sesuai perintah Allah dan berusaha menjauhi larangan-Nya. Tekad ini harus langsung disusul dengan musyarathah, yaitu pengkondisian diri untuk melakukan tekad di atas, setidaknya dalam sehari. Pengkondisian ini lantas disusul dengan muraqabah atau pengawasan. Dan terakhir adalah muhasabah atau penilaian tentang apa saja yang terjadi dalam seharian anda menjalankan tekad tersebut.

Ruhullah Khomeini pernah berkata: “Bila ternyata Anda tidak mengingkari Maha Pemberi nikmat dalam transaksi kecil ini, maka bersyukurlah kamu atas taufik-Nya. Dan semoga Allah akan mempermudah urusan-urusan dunia dan akhiratmu. Semoga pekerjaanmu esok lebih mudah dibanding kemarin. Maka itu, teruslah mengerjakan (ketiga) tindakan ini untuk beberapa waktu. Biasanya, semua ini nanti akan berubah menjadi kebiasaan yang sangat mudah untuk dilakukan. Pada waktu itulah kamu akan merasakan kelezatan dan keintiman yang luar biasa dalam menaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya…”[3] (MK)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Salah satu sufi terkenal yang mengungkap mengenai ketertipuan manusia akan alam materi ini, adalah Ibn Arabi. Mengutip hadis terkenal, “Semua manusia tertidur (di dunia ini); setelah mati barulah mereka terbangun,” Ibn Arabi bertutur: “Dunia ini adalah ilusi; ia tidak memiliki eksistensi hakiki. Dan inilah yang dimaksud dengan imajinasi (khayal). Karena kau hanya membayangkan (imagine) bahwa ia (yakni, dunia ini) adalah realitas otonom yang berbeda dan mandiri dari Realitas Mutlak, padahal sebenarnya tidak demikian.” Kemudian dia melanjutkan, “… ketahuilah, bahwa diri kalian sendiri adalah imajinasi. Dan semua yang kalian persepsi dan katakan pada diri sendiri, ‘ini bukan diriku’, juga adalah imajinasi. Jadi, keseluruhan alam eksistensi ini adalah imajinasi di dalam imanjinasi.” Lihat, Toshihiko Izutsu, Sufisme: Samudera Makrifat Ibn Arabi, (Bandung: Mizan, 2015), hal. 3-4

[2] Lihat, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Mutiara Nahjul Balaghah, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 95-96

[3] Lihat, Ruhullah Khomeini, Al-Arba’un Haditsan, Dar Al-Kitab Al-Islami, Qum

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*