Ali bin Abi Thalib berkata, “Rasulullah mengajariku 70 bab ilmu yang tidak pernah beliau ajarkan kepada siapapun selain aku.”
Bab 9:
Ihwal Perlunya Kualifikasi Unik dalam Pembelajaran Agama dan Adanya Keunikan tiap Disiplin bagi Praktisinya, serta Bantahan atas Mereka yang Mengingkari Cabang Ilmu Tertentu dan Menolak untuk Merujuk Pada Pakar yang Seharusnya
Syaikh Abu Nashr as-Sarraj, semoga Allah merahmatinya, berkata: Ada sekelompok sarjana agama yang mengingkari ide spesialisasi dalam ilmu syariat. Dalam umat ini tidak ada yang berselisih bahwa Allah Swt memerintahkan Rasulullah Saw. untuk menyampaikan apa yang diturunkan kepadanya. Firman-Nya, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. (QS. Al-Mâ’idah [5]: 67).
Diriwayatkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda, “Andaikan kalian tahu apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Andaikan pengetahuan beliau yang tidak banyak diketahui oleh umatnya merupakan bagian dari ilmu-ilmu yang Allah perintahkan untuk disampaikan, maka pasti beliau akan menyampaikannya. Dan andaikan para sahabatnya boleh bertanya tentang hal itu, tentu mereka akan menanyakannya.
Para ulama bersepakat bahwa di antara para sahabat Rasulullah Saw. ada yang memiliki spesialisasi dalam disiplin ilmu tertentu. Hudzaifah,[1] misalnya, adalah sahabat yang memiliki ilmu khusus tentang nama-nama orang munafik, yang hanya Rasulullah Saw. berikan untuknya. Sampai-sampai Umar ra pernah menanyakan pada Hudzaifah, “Apakah aku termasuk di antara mereka?”[2] Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib kw,[3] bahwa dia pernah berkata, “Rasulullah Saw. mengajariku tujuh puluh bab ilmu yang tidak pernah beliau ajarkan kepada siapapun selain aku.”
Hal ini akan dibahas secara lengkap di akhir buku ini (Bab 122 di bawah). Yang perlu aku kemukakan di sini hanyalah penegasan bahwa pengetahuan para ahli hadis, ahli fiqih, dan kaum Sufi adalah juga pengetahuan agama. Masing-masing kelompok pakar memiliki catatan tertulis, karya, buku, dan ajaran yang khas dalam disiplinnya. Mereka juga memiliki para pemuka terpandang yang memiliki otoritas yang diakui oleh para sejawat mereka karena kelebihan dalam pengetahuan dan kedalaman pemahaman mereka.
Tak syak lagi, ketika para ahli hadis mendapatkan kesulitan dalam ilmu hadis tentang kelemahan sebuah hadis ataupun tentang para perawi, mereka tidak akan merujuk kepada para ahli fiqih tentang masalah tersebut. Demikian pula halnya para ahli fiqih tidak merujuk pada ahli hadis jika mendapatkan suatu persoalan yang samar tentang rincian hukum seperti masalah pembebasan seorang wanita, pernyataan barâ’ah, masalah wathan, ataupun masalah wasiat menjelang mati.
Situasi serupa terjadi ketika persoalan pelik muncul dari ulama yang membahas kebahagiaan hati, khazanah sukma, perilaku-perilaku hati, dan yang menjelaskan dan menyelidiki ilmu-ilmu itu melalui isyarat-isyarat yang halus dan makna-makna spiritual yang sublim. Mereka tidak perlu merujuk pada siapapun kecuali kepada pakar yang memiliki keahlian di bidang-bidang tadi, yakni seseorang yang mendapatkan dan mengalami keadaan-keadaan spiritual ini serta menyelami dan mengarungi rahasia-rahasia ilmu ini.
Siapapun yang melakukan hal sebaliknya, sesungguhnya dia telah melakukan kesalahan. Siapapun tidak boleh mengumbar lidahnya dalam membincangkan pengalaman spiritual orang yang tidak dia pahami kondisinya, disiplinnya tidak dia kuasai, serta tujuan dan metodenya tidak dia kenali. Orang semacam ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri dan mengira bahwa dia termasuk orang-orang yang ahli dalam memberi nasihat. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari orang-orang semacam itu.
Dari sini kita akan melompati bab 10 dan 11, yang di dalamnya Sarraj melakukan tinjauan balik secara sekilas guna membahas asal-muasal nama Sufi dan menyanggah argumen bahwa “tasawuf” tidak disebutkan dalam sumber-sumber awal dan karena itu dia merupakan suatu bid’ah baru dan pada gilirannya tak bisa diterima. (MK)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Hudzaifah bin al-Yaman (wafat 36 H/656-57 M) adalah salah seorang sahabat yang masuk Islam pada masa awal-awal. Dia banyak meriwayatkan hadis dengan tema-tema tentang kemunafikan dan kehidupan di akhirat.
[2] Umar bin Khattab (wafat 23 H/644 M) adalah Khalifah kedua Islam (memerintah 13 H/634 M – 23 H/ 644 M). Maksud dari riwayat ini adalah, bahkan Umar yang kelak akan menjadi khalifah kedua pun sangat menghargai dan mengandalkan pengetahuan Hudzaifah, bahkan sejauh mungkin melibatkan pengetahuannya.
[3] Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M) adalah sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, suami Fatimah dan ayah dari dua martir Syiah, Hasan dan Husain, dan Khalifah keempat, menurut Sunni.