Dinasti Abbasiyah (51): Akhir Hayat Muhammad Al-Amin

in Sejarah

Last updated on June 7th, 2019 06:15 am


Tahir bin Husein akhirnya berhasil menaklukkan Baghdad dan meringkus Al-Amin. Berdasarkan amanat Al-Makmun, Al-Amin harus diperlakukan dengan hormat. Tapi Tahir menjebloskannya ke penjara. Dan pada satu malam di akhir bulan Safar 198 H, Al-Amin menghembuskan napas terakhirnya.


Gambar ilustrasi Kota Bundar Baghdad, Ibu Kota Dinasti Abbasiyah. Sumber gambar: elcomercio.es


Pada tahun 197 H, Tahir bin Husein sudah memasuki Irak. Pada tahun ini, Al-Amin sudah nyaris sendirian. Hampir semua gubernur di wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah sudah menyatakan baiatnya pada Al-Makmun. Dan sejumlah tokoh dari Bani Abbas juga lebih memilih memihak pada Al-Makmun. Salah satunya yang paling menonjol adalah keberpihakan Al-Qasim, putra mahkota ketiga yang posisinya didepak oleh Al-Amin. Dia menyatakan dukungannya pada Al-Makmun dan diterima dengan lapang dada oleh kakak tirinya tersebut.[1]

Setibanya di depan tembok Kota Bundar Baghdad, Tahir bin Husein tidak langsung menyerang, tapi membangun terlebih dahulu mesin-mesin pelontar (manjaniq dan arradah).[2] Sambil di sisi lain, Tahir menundukkan wilayah-wilayah di sekitar Kota Baghdad yang penduduknya masih memiliki kesetiaan pada Al-Amin. Dia membakar rumah-rumah penduduk yang tidak mau menyatakan kesetiaannya pada Al-Makmun, dan menutup akses keluar masuk kota baik yang melalui jalur darat maupun melalui kanal. Ini berlaku bagi siapa saja, termasuk rakyat sipil dan pedagang. Agaknya, Tahir bin Husein ingin menjadikan pengepungan ini sebagai perang psikologis.[3]

Pengepungan Kota Baghdad ini berlangsung selama satu tahun delapan bulan. Selain Tahir bin Husein, Al-Makmun juga mengutus jenderal perang bernama Harsamah bin Ayun. Dalam pengepungan ini, Tahir menjaga gerbang Khurasan, sedang Harsamah menjaga sisi sebaliknya, yaitu gerbang Kufah.[4]

Ilustrasi peta wilayah Kota Bundar Baghdad. Sumber gambar: libnanews.com

Setelah mesin-mesin pelontar sudah siap, maka dimulailah penyerangan. Tabari mengisahkan serangan-serangan yang dilakukannya begitu sporadis dan brutal. Korban-korban sipil pun berjatuhan. Dan yang terpenting, keindahan Kota Baghdad lenyap tak bersisa. Bangunan-bangunan indah di kota itupun hancur. Tapi rencana Tahir bin Husein agaknya berhasil. Muhammad Al-Amin sangat ketakutan ketika mengetahui adanya serangan besar dari pasukan Khurasan. Waktu itu juga Al-Amin menggelontorkan sisa hartanya untuk membayar orang yang bersedia membelanya. Dan ternyata masih banyak juga para prajurit yang bersedia berdiri di pihaknya.[5]

Al-Makmun yang mendengar pengepungan Kota Baghdad sudah berlangsung, memerintahkan pada para komandannya agar tidak membunuh Al-Amin. Karena dia ingin mendengar langsung alasan dari semua perang ini dari saudaranya itu. Ini sebabnya, pengapungan Kota Baghdad memakan waktu sangat lama. Karena para  komandan Al-Makmun menunggu kata menyerah dari Al-Amin. Tapi yang terjadi Al-Amin justru memberikan perlawan yang cukup berarti sepanjang tahun itu. Satu persatu rombongan pasukannya keluar Kota Baghdad dan menantang bertempur pasukan Al-Makmun. Tapi satu demi satu pula pasukan itu bisa dikalahkan. Pada tahun ini, nama Al-Amin sudah tidak lagi disebut dalam khotbah jumat, dan juga dalam musim haji. Dunia Islam sudah menyebut nama Al-Makmun sebagai khalifah.[6]

Hingga akhirnya, setelah lebih dari setahun berlalu, kekuatan Al-Amin ludes tak bersisa. Pada tahun 198 H, Tahir bin Husein melenggang memasuki Kota Baghdad dengan perang terhunus. Pada saat yang sama Harsamah bin Ayun juga memasuki kota. Tapi terdapat perbedaan pendapat antara kedua jenderal Al-Makmun ini terkait apa yang sebaiknya dilakukan terhadap Al-Amin. Harsamah lebih memilih untuk memperlakukan Al-Amin dan keluarganya dengan baik, sebagaimana yang diperintahkan Al-Makmun. Sedang Tahir bin Husein ingin dia gelandang ke dalam penjara.[7]

Harsamah pun membujuk Al-Amin agar mau menyerah dan memohon keringanan pada Tahir bin Husein. Tapi Al-Amin menolak, dan malah berencana melarikan diri. Al-Amin dan keluarganya kemudian pergi meninggalkan Istana dan mencoba lari dengan menggunakan perahu. Akan tetapi upaya mereka diketahui oleh Tahir bin Husein. Al-Amin sempat melompat dari perahu dan berenang untuk melarikan diri, tapi dia berhasil kembali di tangkap. Setelah tertangkap, Tahir bin Husein langsung memerintahkan agar Al-Amin di jebloskan ke dalam penjara. Harsamah pun tak bisa berbuat apa-apa.[8]

Maka demikianlah, Al-Amin hanya memerintah selama 4 tahun. Lebih dari dua tahun di antaranya dia habiskan untuk menghadapi perang dengan saudaranya sendiri. Pada satu malam di akhir bulan Safar 198 H, beberapa orang tak dikenal memasuki penjara Al-Amin. Mereka memukuli dan menyiksa khalifah yang sudah tak berdaya itu, hingga akhirnya memenggal kepalanya. Setelah itu, mayatnya dibiarkan tergeletak begitu saja. Keesokan harinya, Tahir bin Husein mengemas kepala Al-Amin lalu dikirimkannya ke Al-Makmun, lengkap dengan pedang, selandang, dan segel khalifah.[9]

Dikisahkan oleh Imam Al-Suyuthi, ketika menerima bingkisan dari Tahir bin Husein, Al-Makmun demikian terpukul. Bagaimana pun dia ingin saudaranya itu tetap hidup, dan itu sudah disampaikan dalam amanatnya. Seketika timbullah rasa benci Al-Makmun kepada Tahir bin Husein. Dia pun mengabaikan Tahir bin Husein dan tidak mau lagi menanggapi orang yang paling berjasa mengantarkannya ke kursi khalifah tersebut.[10]

Tahir bin Husein sendiri, sesaat setelah berita kematian Al-Amin tersebar ke seluruh Kota Baghdad, para prajuritnya segera mendatanginya dan menuntut agar segera dibayar upaya mereka. Tapi ketika itu kas negara di Baghdad sudah kosong. Sehingga dia tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut. Para prajuritnya akhirnya mengamuk dan melakukan pemberontakan. Mereka membakar gerbang kota dan melakukan kerusuhan di Kota Baghdad. [11]

Tahir bin Husein pun melarikan diri. Dia mencari dukungan dari sejumlah pihak di sekitar Kota Baghdad. Beberapa dari mereka akhirnya bersedia membantu Tahir, dengan dukungan militer dan meminjamkan uang demi membayarkan gaji prajurit selama empat bulan. Tahir bin Husein pun kembali ke Baghdad dan meredakan kerusuhan. Saat itu juga dia membayar gaji prajurit selama empat bulan, dan kerusuhan pun berhenti.[12] Setelah itu, Al-Makmun secara definitif dinobatkan sebagai khalifah ke tujuh Dinasti Abbasiyah. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’I-muluk), VOLUME XXXI, The War between Brothers, translated and annotated by Michael Fishbein, (USA: State University of New York Press, 1992), hal. 134

[2] Manjaniq dikenal oleh dunia barat dengan sebutan trebuchet. Fungsinya adalah untuk melontarkan batu atau benda-benda padat yang sangat berat dalam jarak yang jauh. Baik manjaniq dan arradah adalah dua mesin pelontar ini sama secara fungsional. Hanya bedanya, arradah adalah pelontar yang lebih besar dengan dua tiang penyanggah, sehingga mampu melontarkan benda yang lebih berat dengan jarak lebih jauh. Lihat, ibid, hal. 134-135

[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 388

[4] Ibid

[5] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’I-muluk), VOLUME XXXI, Op Cit, hal. 136

[6] Ibid, hal. 172

[7] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, hal. 389

[8] Ibid, hal. 393

[9] Ibid

[10] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 320

[11] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’I-muluk), VOLUME XXXI, Op Cit, hal. 206-207

[12] Ibid, hal. 208-209

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*