Dinasti Abbasiyah (52): Abdullah Al-Makmun (1)

in Sejarah

Last updated on June 8th, 2019 11:52 am

Harun Al-Rasyid pernah berkata, “Sungguh ku temukan dalam diri Al-Makmun ambisi Al-Manshur, ibadah Al-Mahdi, dan harga diri Al-Hadi. Andaikata bukan karena Ummu Jakfar (Zubaidah bin Al-Manshur) dan kecenderungan Bani Hasyim, pastilah aku lebih mendahulukan Abdullah (daripada Muhammad Al-Amin).”


Gambar ilustrasi. Sumber: liveinternet.ru

Setelah era Khulafah Rasyidin – terhitung sejak Khalifah pertama Dinasti Umayyah, Muawiyah bin Abu Sufyan hingga Abdulmajid II, Khalifah terakhir Ottoman – terdapat sekitar 85 orang khalifah yang tercatat pernah memerintah dalam dunia Islam. Dan bila para sultan Dinasti Umayyah II yang memerintah di Andalusia serta para khalifah Dinasti Fatimiyah kita masukkan dalam urutan tersebut, maka jumlahnya bisa mencapai lebih dari 100 orang. Mereka semua telah memberi nuansa pada dunia dan peradaban umat manusia selama lebih dari 1400 tahun. Tapi menurut Eammon Gaeron, bila kita pilih satu di antara mereka yang kiprahnya paling monumental dalam membentuk peradaban modern saat ini, dialah Abdullah Al-Makmun bin Harun Al-Rasyid.[1]

Pendapat Gaeron tersebut bisa saja diperdebatkan oleh banyak pihak. Tapi bila kita menilai secara objektif, sebenarnya anggapan Gaeron tidak sepenuhnya salah. Mengingat pada masa pemerintahan Al-Makmum lah dunia Islam menemukan sejumlah titik balik monumental. Pada masa ini, semua tatanan yang sudah dibangun para khalifah Abbasiyah mencapai performa optimalnya. Tradisi intelektual berkembang secara masif, dan sejumlah terobosan penting lahir, yang beberapa di antaranya menjadi induk dari banyak ilmu modern yang kita kenal sekarang.

Adapun terkait dengan ilmu-ilmu keislaman, pada era inilah untuk pertama kalinya perdebatan sengit antara kelompok rasionalis (Mutazilah) melawan kelompok tekstualis (ahli hadist) menjadi isu penting negara. Sejumlah ahli menilai, bahwa perdebatan yang terjadi di era Al-Makmun inilah yang menjadi akar tumbuhnya tradisi ilmu-ilmu Islam yang sekarang kita kenal sebagai tradisi salafi.[2]

Sebagaimana sudah kita ulas sedikit pada edisi terdahulu, Al-Makmun lahir pada malam Jumat pertengahan Rabiul Awal 170 H. Pada malam yang sama, ayahnya, Harun Al-Rasyid di lantik sebagai khalifah menggantikan Al-Hadi yang juga wafat pada malam yang sama. As-Shuli berkata, “Tidak ada satu malam pun dalam sejarah umat manusia ketika seorang khalifah mangkat, seorang khalifah baru dinobatkan dan seorang calon khalifah dilahirkan, kecuali malam itu.”[3]

Imam As-Suyuthi, sejak kecil Al-Makmun sudah belajar banyak ilmu. Dia menimba ilmu hadist dari ayahnya (Harun Al-Rasyid), Hasyim, Ibad bin Awwam, Yusud bin Athiyyah, Abu Muawiyah Adh-Dharir, Ismail bin Aliyah, Hajjaj al-Awar, dan ulama-ulama lain pada zamannya. Adapun orang yang secara khusus menggemblengnya adalah Al-Yazidi. Dia sering mengumpulkan fuqaha dari berbagai penjuru negeri. Di bawah gemblengannya, Al-Makmun behasil menguasai sejumlah bidang pengetahuan, baik dalam masalah fiqih, ilmu bahasa Arab, dan sejarah.[4]

Menjelang dewasa, Al-Makmun banyak bergelut dengan ilmu filsafat dan ilmu-ilmu yang berkembang di Yunani sehingga menjadinya pakar dalam bidang ilmu-ilmu tersebut. Besar kemungkinan, ketertarikan Al-Makmun pada karya-karya ilmuwan Yunani tersebut tidak lain sebagai efek kebijakan pada pendahulunya – sejak era Al-Manshur hingga Harun Al-Rasyid –  yang mulai menggalakkan penerjemahan karya-karya tersebut.[5]

Tak pelak, dengan semua yang dimilikinya, Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa, tak ada khalifah Bani Abbasiyah yang lebih cerdas daripada Al-Makmun. Dia adalah tokoh Bani Abbasiyah yang paling istimewa karena kemauan kuat, kesabaran, keluasan ilmu, wawasan luas, kecerdikan, kewibawaan, keberanian, dan toleransinya. Lebih jauh menurut As-Suyuthi, Al-Makmun adalah seorang pembicara yang fasih dan singa podium yang berapi-api. Tentang kefasihannya, Al-Makmun sendiri berkata, “Juru bicara Muawiyah adalah Amr bin Ash, juru biacara Abdul Malik adalah Hajjaj, dan juru bicaraku adalah diriku sendiri.”[6]

Bila memang sedemikian tinggi kedudukan Al-Makmun di kalangan tokoh Bani Abbas, lantas mengapa Harun Al-Rasyid justru mengangkat Muhammad Al-Mahdi sebagai putra mahkota sebelum Al-Makmun?

Terkait hal ini, Harun Al-Rasyid sendiri berkata, “Sungguh kutemukan dalam diri Al-Makmun ambisi Al-Manshur, ibadah Al-Mahdi, dan harga diri Al-Hadi. Seandainya aku mau menisbatkannya kepada yang keempat (maksudnya adalah dirinya sendiri) tentu akan kunisbatkan. Aku lebih mendahulukan Muhammad daripada dirinya, padahal aku tau dia suka mengumbar hawa nafsu, boros dan suka berfoya-foya dengan semua harta yang dipengangnya, juga senang main perempuan. Andaikata bukan karena Ummu Jakfar (Zubaidah bin Al-Manshur) dan kecenderungan Bani Hasyim, pastilah aku lebih mendahulukan Abdullah.”[7]

Al-Makmun dinobatkan sebagai khalifah ke tujuh Dinasti Abbasiyah pada tahun 199 H, atau tak lama sejak tewasnya Muhammad Al-Amin. Dia sering dipanggil oleh kalangan Bani Abbas dengan sebutan Abu Jakfar. Menurut As-Shuli, orang-orang Abbasiyah sangat senang dengan sebutan ini, karena mengingatkan mereka pada Abu Jakfar Al-Manshur. Nama ini mengesankan makna besar dalam dada mereka dan menimbulkan optimisme bahwa si penyandang gelar tersebut akan panjang umurnya sebagaimana Al-Manshur dan Al-Rasyid.[8]

Berbeda dengan pada pendahulunya, setelah menjabat sebagai khalifah, Al-Makmun memilih tidak tinggal di Baghdad untuk mengatur wilayah kekuasannyanya. Melainkan dia memilih Kota Merv di Khurasan. [9] Kota dimana dulu untuk pertama kalinya revolusi Abbasiyah di mulai. Ternyata dari sini pulalah Dinasti Abbasiyah mencapai puncak era keemasaannya.  (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), chapter 9, hal. 68

[2] Lihat, DR. Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan: Genelogi dan Ajaran Salafi, (Ciputat: Yayasan Wakaf Darus-Sunnah, 2018) hal. 43-65

[3] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 304

[4] Ibid, hal. 326

[5] Salah satu penerjemah pertama dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab adalah Abu Yahya Ibn al- Bathriq (wafat 806 M) yang menerjemahkan karya-karya Galen dan Hipokrates (wafat 436 SM) untuk Khalifah al-Manshur. Dia juga menerjemahkan Quadripartitum karya Ptolemeus untuk khalifah Dinasti Abbasiyah lainnya. Penerjemah lainnya adalah seorang penganut Kristen asal Suriah, yakni Yahya Ibn Masawayh (wafat 857 M). Ibn Masawayh telah menerjemahkan beberapa manuskrip untuk Khalifah Harun al-Rasyid, ter utama naskah tentang kedokteran yang dibawa khalifah dari Ankara dan Amorium. Lihat, Tradisi Penerjemahan pada Masa Abbasiyah, https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/18/05/23/p96ckd313-tradisi-penerjemahan-pada-masa-abbasiyah, diakses 12 April 2019

[6] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit

[7] Ibid

[8] Ibid

[9] Di masa lalu, Kota Merv merupakan kota oasis yang paling terkenal di sepanjang jalur sutra. Saat ini posisinya terletak di negara Turkmenistan, Asia Tengah. Kota ini memeram sejarah panjang sekitar 4000 tahun interaksi umat manusia dari berbagai wilayah. Pada tahun 1999, UNISCO menobatkan kota ini sebagai salah satu Situs Warisan Dunnia yang harus dilestarikan. Lihat, Merv, http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Merv, diakses 31 Januari 2019

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*