Dinasti Abbasiyah (53): Abdullah Al-Makmun (2)

in Sejarah

Last updated on June 10th, 2019 06:40 am

Di tahun pertama pemerintahannya, Al-Makmun dihadapkan pada sejumlah upaya rekonsiliasi yang pelik. Salah satu yang menyebabkannya adalah kecenderungan Al-Makmun pada kelompok non-Arab (Persia). Dia memberi posisi penting pada anak-anak Sahal yang merupakan orang Persia, yaitu Fadl bin Sahal sebagai wazirnya, dan menjadikan Hasan bin Sahal sebagai penguasa di Al-Iraq. Hal ini menyebabkan terjadinya kecemburuan di kalangan Arab, khususnya Bani Abbas dan Bani Hasyim.


Gambar ilustrasi. Sumber: pinterest.com


Setelah resmi diangkat sebagai khalifah Dinasti Abbasiyah, tugas pertama Al-Makmun adalah melakukan rekonsiliasi dan mengembalikan stabilitas politik yang terpecah belah akibat perang saudara selama lebih dua tahun. Dia menunjuk Fadl bin Sahal sebagai wazirnya, dan menunjuk Hasan bin Sahal, saudara kandung Fadl sebagai penguasa wilayah Al-Iraq (Basrah, Al-Ahwaz, Kufah, dll) hingga jazirah arab (Yaman dan Hijaz).[1]


Wilayah Al-Iraq pada era Al-Makmun. Sumber gambar: The History of al-Tabari (Ta’rfkh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal. 6


Adapun para pahlawan yang sudah berhasil menaklukan Baghdad, Harsamah bin Ayun dan Tahir bin Husein, justru ditempatkan di propinsi lain. Harsamah di tunjuk sebagai gubernur di Khurasan. Sedangkan Tahir bin Husein, ditugaskan di wilayah Jazirah yang mencakup wilayah Mosul (Irak sekarang), dan Suriah. Khususnya untuk Tahir, penunjukkannya tidak dilakukan langsung oleh Al-Makmun, melainkan oleh Hasan bin Sahal. Hal ini karena Al-Makmun kesal dengan Tahir bin Husein yang tidak menuruti perintahnya untuk membiarkan hidup Al-Amin. Alih-alih, Al-Amin malah dibunuh dan kepalanya dipenggal. [2]

Akibatnya, pasca wafatnya Al-Amin situasi politik kian memanas. Rekonsiliasi di internal Dinasti Abbasiyah menjadi makin rumit. Para pendukung Al-Amin malah memberontak, dan sulit dijinakkan. Salah satunya adalah di wilayah Al-Jazirah. Agaknya, untuk tujuan inilah Tahir bin Husein ditugaskan sebagai gubernur di sana. Agar dia memadamkan api yang sudah dibuatnya.

Di awal pemerintahan Al-Makmun, sejumlah perubahan besar juga terjadi. Sebagaimana Harun Al-Rasyid, Al-Makmun menaruh kepercayaan sangat besar pada orang-orang Persia yang umumnya adalah pendukung keluarga Ali bin Abi Thalib. Hal ini ternyata memancing kecemburuan di kalangan kelompok Arab, khususnya Bani Abbas.

Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi terdahulu, bahwa anak keturunan Ali bin Abi Thalib dianggap Bani Abbas sebagai pesaing mereka dalam perebutan legitimasi sebagai pewaris keturunan Muhammad Saw. Secara umum pendukung mereka adalah orang-orang Persia. Atas dasar legitimasi inilah dulu Bani Abbas naik ke puncak kekuasaan. Dan atas dasar inilah segregasi  sosial politik antara dua kubu ini terus berlangsung selama masa pemerintahan Abbasiyah. Karena anak keturunan Ali bin Abi Thalib selalu memiliki tempat di hati masyarakat Persia.

Terkiat hal ini, tampaknya Al-Makmun memiliki caranya sendiri. Itu sebabnya dia menunjukkan Fadl bin Sahal dan Hasan bin Sahal yang merupakan orang-orang Persia sebagai orang kepercayaannya. Tujuannya adalah untuk mereduksi ketegangan di antara kedua kelompok. Tapi hal ini agaknya tidak dipahami oleh kalangan Bani Abbas yang lain. Kebijakan Al-Makmun yang sedemikian cepat telah menstimulus lahirnya kecemburuan di kalangan mereka. Hal ini dikatakan sendiri oleh Nasr bin Shabath, pimpinan kelompok yang melakukan pemberontakan di Suraih dan Mosul (Al-Jazirah). Bahwa pemberontakannya tidak dilakukan untuk menentang supremasi Dinasti  Abbasiyah yang dipimpin Al-Makmun, melainkan sebagai bentuk protes atas kebijakan Al-Makmun yang terlalu memprioritaskan kalangan non-arab (Persia) dalam pemerintahannya.[3]

Karena alasan inilah Tahir bin Husein yang semula diperintahkan Hasan bin Sahal untuk menghadapi Nasr bin Shabath kehilangan semangat. Karena ternyata, Tahir juga sependapat dengan Nasr bin Shabath mengenai masalah pembagian kekuasaan ini. Terlebih dia sendiri secara langsung mengalami bagaimana ketidakadilan itu terjadi pada dirinya. Ini sebabnya dia tidak cukup progresif dalam menjinakkan pemberontakan yang dilakukan oleh Nasr bin Shabath. Dia hanya sesekali melakukan pengepungan kecil terhadap kawanan pemberontak di wilayahnya, tapi tak sampai menghacurkannya. Semangatnya pun kian menurun ketika dia mendengar kabar bahwa ayahnya, Husein bin Zuraiq terbunuh di Khurasan. Rumor beredar bahwa ada keterlibatan Al-Makmun dalam pembunuhan tersebut.[4]

Adapun di Al-Iraq, situasinya tak kalah pelik. Kedatangan Hasan bin Sahal ke Baghdad justru dicurigai oleh masyarakat. Rumor yang beredar ketika itu, bahwa Al-Makmun telah di sandera di Khurasan oleh Fadl bin Sahal. Khalifah hanya menjadi boneka, dan pemerintahan sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang Persia di bawah komando Fadl. Ini sebabnya Hasan bin Sahal yang justru di tunjuk sebagai penguasa di Baghdad dan kawasan Al-Iraq. Kecurigaan ini makin menguat setelah, Tahir bin Husein malah ditempatkan jauh ke wilayah Jazirah oleh Hasan, bukan oleh Al-Makmun.[5] (AL)

Bersambung…

Sebeumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rfkh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal. 10

[2] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 320

[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 400

[4] Ibid, hal. 401

[5] [5] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rfkh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, Op Cit, hal. 13

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*