Sekitar 3 tahun pertama pemerintahan Al-Makmun, dunia Islam mengalami kekacauan politik yang memprihatinkan. Ironisnya, Al-Makmun tidak tau menau mengenai masalah ini. Dia asyik dengan hobinya membedah filsafat dan ilmu pengetahuan, dan menyerahkan sepenuhnya urusan pemerintahan kepada wazirnya, Fadl bin Sahal. Tak satupun informasi tentang perkembangan politik di wilayah kekuasaannya yang sampai ke telinga Al-Makmun selain itu atas izin dari Fadl bin Sahal.
Turbulensi politik yang terjadi di tahun-tahun awal pemerintahan Al-Makmun, memang cukup disesali oleh pendukungnya kala itu. Karena hal ini sebenarnya bisa dihindari jika saja Al-Makmun memerintah langsung dari Baghdad.[1] Tapi Al-Makmun justru larut pada hobinya membedah filsafat dan ilmu pengetahuan dengan para cendikiawan di Merv. Sedang untuk masalah pemerintahan, mempercayakan sepenuhnya urusan ini kepada Fadl bin Sahal, wazirnya yang ternyata ambisius namun tak cukup cakap dalam memerintah.
Menurut Syed Ameer Ali, Al-Makmun dibiarkan asyik dengan kegiatannya, dan tak satupun informasi tentang perkembangan politik di wilayah kekuasaannya yang menembus telinga Al-Makmun selain itu atas izin dari Fadl bin Sahal.[2] Sehingga muncul banyak rumor di kalangan masyarakat tentang kondisi Al-Makmun. Rumor tersebut berkembang menjadi kecurigaan, bahwa Al-Makmun sedang diperalat oleh orang-orang dekatnya. Di Al-Iraq, masyarakat mendelegitimasi kedudukan Hasan bin Sahal yang merupakan orang kepercayaan Al-Makmun. Hal yang sama juga terjadi di Suriah dan Hijaz. Dimana para gubernur yang tunjuk oleh Fadl bin Sahal tidak mendapat kepatuhan dari rakyat.
Melihat situasi yang tidak menentu ini, salah seorang anak keturunan Ali bin Thalib melihat kesempatan untuk merebut kekuasaan. Namanya Muhammad bin Ibrahim bin Ismail bin Ibrahim bin Hasan bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib atau dikenal dengan nama Ibnu Tabataba. “Atas nama hak keluarga Muhammad serta berdasarkan petunjuk Alquran dan Sunah,” dia menggalang revolusi di Kufah. Seketika dukungan masyarakat pun berdatangan kepadanya. Dalam waktu singkat Ibnu Tabataba berhasil mendelegitimasi kedudukan Hasan bin Sahal di Baghdad, dan membentuk pemerintahan sendiri di Kufah.
Ibnu Tabataba, memiliki seorang jenderal pasukan yang cukup tangguh, bernama Abu Al-Saraya.[3] Hasan bin Sahal kemudian mengirimkan pasukan berjumlah 10.000 personil untuk menaklukkan Kufah, tapi pasukan itu berhasil dikalahkan, dan mereka dieksekusi oleh Abu Al-Saraya. Melihat kejahatan ini, Ibnu Tabataba tidak setuju, dan terjadi cekcok di antara Abu Al-Saraya dengan Ibnu Tabataba. Keesokan harinya, Ibnu Tabataba ditemukan tewas keracunan. Rumor menyebutkan bahwa dia mati diracun oleh Abu Al-Saraya.[4]
Setelah wafatnya Ibnu Tabataba, Abu Al-Sayara kemudian membaiat sosok lain dari keluaraga Ali bin Abi Thalib yang bernama Muhammad bin Muhammad bin Zaid bin Ali bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib. Ketika itu usia Muhammad masih sangat belia. Tabari menggambarkan bahwa anak tersebut bahkan belum tumbuh kumis di wajahnya.[5] Dengan kondisi seperti itu, Abu Al-Saraya leluasa mengambil alih otoritas. Sedang anak tersebut hanya dijadikan sebagai legitimasi untuk menggalang dukungan dari para pecinta keluarga Nabi Saw.
Di tempat yang berbeda, Hasan bin Sahal kehabisan cara untuk menaklukkan Abu Al-Saraya. Diapun semakin panik ketika mendengar bahwa Abu Al-Saraya sedang menyiapkan pasukan untuk menaklukkan Kota Baghdad. Karena kehabisan cara, Hasan bin Sahal pun – melalui saudaranya Fadl bin Sahal – akhirnya memohon bantuan pada Harsamah bin Ayun, salah satu penakluk Kota Baghdad, yang malah ditunjuk sebagai gubernur di Khurasan.[6]
Ketika ditunjuk sebagai gubernur Khurasan, Harsamah bin Ayun menyadari bahwa perintah penempatannya tersebut tidak lain karena bisikan dari Fadl bin Sahal. Karena itu pada awalnya dia acuh tak acuh pada permohonan Fadl bin Sahal. Tapi setelah dirayu berkali-kali, akhirnya Harsamah bin Ayun pun menyetujui permohonan tersebut, tapi dengan satu syarat: bahwa dia perkenankan untuk bertemu khalifah untuk berbicara empat mata. Harsamah bin Ayun bermaksud ingin mengadukan situasi politik yang berkembang tidak menentu di wilayah kekuasaannya. Dan syarat yang diajukan Harsamah bin Ayun pun di terima.
Maka berangkatlah Harsamah bin Ayun bersama pasukannya untuk menaklukkan Abu Al-Saraya. Ketika itu, kekuasaan yang dibangun oleh Abu Al-Saraya sudah cukup optimal. Dia sudah berhasil menaklukkan sebagian besar wilayah Al-Iraq, dan menunjuk sejumlah orang dari keluarga Ali bin Abi Thalib sebagai gubernurnya. Dia juga sudah mulai rutin menarik pajak dari masyarakat, serta menyebarkan mata uang yang bertanda namanya sebagai alat tukar di pasaran.[7]
Tapi Harsamah bin Ayun adalah prajurit kawakan. Selain melakukan kampanye militer, diapun melakukan kampanye politik guna menarik kembali simpati masyarakat pada Dinasti Abbasiyah. Satu persatu, wilayah Al-Irak dapat direbut oleh Harsamah. Dan tak sampai sebulan kemudian, dia berhasil mengalahkan Abu Al-Suraya dalam satu pertempuran sengit yang menghabisnya banyak korban. Dalam pertempuran tersebut Abu Al-Suraya tewas terbunuh. Kepalanya dipenggal, dan di bawa ke hadapan Hasan bin Sahal.[8]
Dengan tewasnya Abu Al-Saraya, keregangan politik dalam tubuh Dinasti Abbasiyah tidak otomatis menurun. Pada waktu yang hampir bersamaan dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Abu Al-Saraya, di Yaman dan Makkah, anak-anak keturunan Ali bin Abi Thalib yang lain juga melakukan revolusi dan mengangkat dirinya sebagai khalifah. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Menurut Akbar Shah Najeebabadi, ide untuk menjadikan Merv sebagai ibu kota Dinasti Abbasiyah, muncul dari Fadl bin Sahal. Salah satu alasan ditempatkannya Al-Makmun di Merv, karena di sini pengaruh kelompok Arab terbilang minim, karena adanya sentiman anti-Arab. Dengan demikian, Fadl lebih leluasa dalam mempengaruhi khalifah dan mengendalikan pemerintahan. Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 409
[2] Lihat, Syeed Ameer Ali, A Short History Of The Saracens,(London: MacMillian And Co., Limited ST. Martin’s Street, 1916), hal. 263
[3] Abu Al-Saraya adalah salah satu komandan dalam pasukan Harsamah bin Ayun ketika menaklukkan Baghdad. Salah satu alasan keterlibatan Abu Al-Saraya dalam pemberontakan ini, karena dia merasa kecewa pada Harsamah bin Ayun yang tidak membayar gajinya ketika Baghdad sudah berhasil di taklukkan. Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rfkh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal. 14
[4] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, Hal. 403
[5] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rfkh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, Op Cit, hal. 15
[6] Ibid, hal. 17
[7] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit
[8] Ibid, hal. 404-405 f.igno