Dinasti Abbasiyah (55): Abdullah Al-Makmun (4)

in Sejarah

Last updated on June 15th, 2019 06:55 am

Sejak kematian Abu Al-Saraya, sejumlah tokoh keluarga Ali bin Abi Thalib melakukan revolusi di Yaman dan Makkah. Sehingga menyebabkan terjadi kekacuan di sejumlah wilayah. Harsamah bin Ayun, mencoba menjelaskan situasi ini pada Al-Makmun. Tapi dia malah dijebloskan ke penjara dan tewas terbunuh di sana.

Gambar ilustrasi. Sumber: thenational.ae

Abu Al-Saraya memerintah di Al-Iraq lebih dari  satu tahun lamanya. Selama periode itu, dia telah memberikan prioritas pada anak keturunan Ali bin Abi Thalib untuk mengisi jabatan-jataban penting di Basrah, Kufah dan Al-Ahwaz. Sebagai konsekuensinya, ketika dia berhasil dikalahkan oleh Harsamah bin Ayun, para pendukungnya tersebut juga ikut dibunuh. Kisah tewasnya Abu Al-Suraya dan sejumlah anak keturunan Ali bin Abi Thaib ini tersiar ke segala penjuru. Hal tersebut mengakibatkan bangkitnya sejumlah perlawanan dari sanak famili mereka yang ada di tempat lain. Salah satunya adalah di Yaman.

Pemberontakan ini dipimpin oleh seorang bernama Ibrahim, putra dari Musa Al-Kazhim, seorang tokoh paling terkemuka dari keluarga Ali bin Abi Thalib yang meninggal di dalam penjara pada era Harun Al Rasyid. Ketika mendengar berita tentang tewasnya Abu Al-Saraya dan sanak keluarganya di Al-Iraq, Ibrahim langsung berangkat dari Makkah bersama pasukannya menuju Yaman. Saat itu Yaman diperintah oleh gubernur bernama Ishaq bin Musa yang merupakan cucu As-Saffah. Ketika mendengar Ibrahim bin Musa akan datang dan bermaksud mengambil alih kekuasaan di Yaman, Ishaq pergi melarikan diri ke Hijaz, dan membiarkan Yaman di pimpin oleh Ibrahim.[1]

Menurut Tabari, Ibrahim bin Musa terkenal dengan julukan “Al-Jazzar” yang artinya tukang jagal. Karena banyaknya jumlah korban yang dibunuhnya selama di Yaman. Tidak sampai di sana, Ibrahim juga melakukan perbudakan dan menyita kekayaan masyarakat Yaman.[2]

Di Makkah, para pendukung Ahlul Bait berbondong-bondong datang ke salah satu tokoh terkemuka dari keluarga Ali bin Abi Thalib yang bernama Muhammad bin Jakfar bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Mereka meminta tokoh tersebut agar menerima baiat sebagai khalifah kaum Muslimin, serta mengambil hak keluarga Muhammad dari tangan Bani Abbas.[3]

Muhammad adalah putra dari Imam Jakfar As-Saddiq, seorang tokoh pendiri Mahzab Jakfari yang kita kenal sekarang. Muhammad dikenal memiliki ilmu yang luas dan berprilaku zuhud. Ketika mendapat tawaran menjadi khalifah dari pendukungnya, dia segera menolak. Tapi kemudian dia dijebak pada satu momen sholat Jumat, dimana orang-orang berkumpul dan seketika menyatakan baiatnya. Pada saat itu dia diberi julukan sebagai Amirul Mukminin.[4]

Mendapat perlakukan seperti ini dari pendukungnya, Muhammad hanya diam. Selanjutnya dia dianggap sebagai khalifah oleh para pendukungnya. Meski begitu, dia tidak sama sekali memerintah. Selama beberapa bulan posisinya tetap demikian. Tapi beberapa orang yang mengaku sebagai pendukungnya menjalankan pemerintahannya sendiri dengan mengatasnamakan Muhammad bin Jakfar. Mereka mengambil pajak dari penduduk dalam jumlah sangat besar. Bahkan mereka tak segan merampas dan menyiksa mereka yang tidak sanggup membayar.[5]

Singkat kata, sejak kematian Abu Al-Saraya, pamor keluarga Ali bin Abi Thalib terjun bebas, baik di Yaman, Makkah, maupun di Al-Iraq. Mereka yang selama ini dianggap sebagai oposisi paling sepadan para penguasa Abbasiyah, ternyata tidak lebih mampu memerintah kaum Muslim di banding para gubernur Abbasiyah yang lain.

Di tempat yang berbeda, Harsamah bin Ayun, yang telah berhasil mengambil alih kendali atas Al-Iraq, memerintahkan kepada anak buahnya untuk melanjutkan penaklukkan ke Kota Makkah dan Yaman. Di sana, anak buah Harsamah bergabung dengan pasukan Ishaq bin Musa, gubernur Yaman yang melarikan diri ketika mendengar kedatangan Ibrahim bin Musa Al-Kazhim. Bersama-sama mereka menyerang Kota Makkah yang dikuasai oleh anak keturunan Ali bin Abi Thalib. Dan setelah melakukan pertempuran yang sengit, akhirnya pasukan Abbasiyah berhasil mengambil kembali kendali Kota Makkah.[6]

Muhammad bin Jakfar, secara terbuka memohon maaf kepada masyarakat Makkah dan membebaskan mereka dari baiat terhadapnya. Maafnya diterima. Pasukan Abbasiyah pun menghormati tokoh tersebut, dan membawanya ke hadapan Al-Makmun di Merv. Al-Makmun menyambut dengan sukacita rencana kedatangannya. Tapi Muhammad tidak sempat menemui khalifah. Dia meninggal di Jurjan, dalam perjalanan ke Merv.[7]

Sedang di tempat yang lain, Harsamah bin Ayun yang telah berhasil menaklukkan Al-Iraq dan Hijaz, kini mendapat lagi perintah langsung dari Al-Makmun untuk menjadi gubernur di Suriah dan Hijaz. Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi terdahulu, kesediaan Harsamah membantu Sahal bersaudara (Fadl dan Hasan) menyelesaikan masalah di Al-Iraq, karena dia dijanjikan akan bertemu dan berbicara empat masa dengan Al-Makmun. Tapi ketika menerima perintah penugasan untuk menjadi gubernur Suriah, dia mulai merasakan bahwa Fadl bin Sahal tidak akan memberikan kesempatan padanya untuk menemui Al-Makmun. Maka dia secara diam-diam meninggalkan Al-Iraq dan bergegas menunju Merv untuk menemui Al-Makmun.

Menurut Tabari, Harsamah bermaksud membeberkan semua masalah politik yang berkembang selama ini kepada Al-Makmun. Tentang pemberontakan yang pecah di mana-mana, dan bagaimana tidak kompetennya para gubernur yang dipilih oleh Fadl bin Sahal. Harsamah juga bermaksud untuk membawa Al-Makmun ke Baghdad dan menjadikan kota tersebut sebagai ibu kota Dinasti Abbasiyah sebagaimana dahulu.[8]

Harsamah memahami bahwa bukan hal mudah menembus protokoler istana Al-Makmun. Maka ketika memasuki gerbang Kota Merv, dia langsung memerintahkan agar para prajurit menyalakan genderang, sebagai tanda bahwa ada seorang pejabat tinggi yang datang. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi Fadl bin Sahal untuk menghalangi langkahnya. Untuk sementara dia berhasil.[9]

Tapi di dalam istana, Fadl bin Sahal memahami bahaya yang datang. Dia langsung melaporkan kepada Al-Makmun bahwa yang datang ini adalah Harsamah bin Ayun, orang yang belum lama ini diperintahkan untuk pergi ke Suriah dan memadamkan pemberontakan yang terjadi di sana. Bahwa kedatangannya ke sini tidak bisa diartikan lain selain sebagai sebuah pembangkangan atas perintah khalifah. Mendengar ini, Al-Makmun pun marah.[10]

Al-Makmun membiarkan Harsamah masuk menghadapnya. Tapi belum lagi Harsama berbicara, dia langsung dihujani pertanyaan; tentang mengapa dia tidak mematuhi perintah khalifah, padahal keadaan negara sedang genting. Harsamah pun kehabisan bahasa dibuatnya. Hingga akhirnya, Al-Makmun memutuskan untuk menahan Harsamah atas tuduhan pembangkangan.[11]

Hanya beberapa hari Harsamah mendekam di dalam penjara. Dia ditemukan tewas dengan luka sabetan pedang di tubuhnya. Kematiannya dilaporkan kepada Al-Makmun. Fadl bin Sahal mengatakan bahwa Harsama meninggal karena sebab yang alamiah. Al-Makmun memakluminya. Dia tidak menyadari telah kehilangan seorang prajurit unggulan yang tak ternilai harganya.[12] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 405

[2] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rfkh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal. 28

[3] Ibid, hal. 30

[4] Ibid, hal. 31

[5] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, hal. 407

[6] Ibid, hal. 408

[7] Ibid

[8] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rfkh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, Op Cit, hal. 40

[9] Ibid, hal. 41

[10] Ibid

[11] Ibid

[12] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, hal. 410

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*