Dinasti Abbasiyah (56): Abdullah Al-Makmun (5)

in Sejarah

Last updated on June 16th, 2019 06:03 am

Pada tahun 201 H, Al-Makmun mengambil langkah politik yang kontroversial. Dia mencopot suadaranya – Al-Qasim bin Harun Al-Rasyid yang bergelar Al-Muktaman – dari kedudukan sebagai putra mahkota. Lalu menggantinya dengan Ali bin Musa bin Jakfar bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Menurut Tabari, di sini Al-Makmun menggelari Ali bin Musa dengan sebutan Al-Ridha atau orang yang diridhai Allah dari keluarga Muhammad.

Gambar ilustrasi. Sumber: republika.co.id

Harsamah bin Ayun adalah tokoh militer yang populer di kalangan prajurit. Ketika berita kematiannya sampai ke Baghdad, para tokoh Bani Abbas dan tentara di sana tidak terima. Mereka melakukan pemberontakan sehingga menyebabkan kerusuhan hebat di Al-Iraq.

Pertempuran pun pecah kembali. Orang-orang menolak untuk mematuhi Hassan bin Sahal, saudara lelakinya Fadl bin Sahal yang ditugaskan menjadi penguasa Al-Iraq. Mereka memanggilnya Sahal bersaudara itu sebagai “seorang Magi putra seorang Magi.” Mereka menuduh bahwa Al-Makmun disandera dan dikendalikan oleh Sahal bersaudara.

Pasukan Abbasiyah di Al-Iraq kemudian mendelegitimasi kedudukan Hasan bin Sahal di sebagai penguasa Al-Iraq. Mereka kemudian datang kepada salah satu tokoh Bani Abbas yang bernama Mansur bin Mahdi bin Al-Manshur. Mereka meminta tokoh tersebut untuk mengambil alih kekuasaan dari Hasan bin Sahal. Awalnya Mansur menolak. Tapi akhirnya dia menerima dengan syarat bahwa dia hanya memerintah sementara. Karena khalifah yang sesungguhnya tetap Al-Makmun. Dia akan memerintah hingga Al-Makmun kembali ke Baghdad untuk memerintah dari sana.

Dengan adanya dualisme kekuasaan di Al-Iraq, situasi di wilayah itu makin tak terkendali. Masyarakat terpecah belah. Tidak ada otoritas yang diakui. Sehingga terjadi anarki. Kejahatan pun meraja rela.

Di tempat yang berbeda, Al-Makmun terus larut dalam hobinya mendalami ilmu pengetahuan dan filsafat. Kebiasaannya ini membawa kultur positif di dalam istana. Dimana tradisi keilmuan kian berkembang pesat, karena di dukung oleh negara. Kegemarannya pada ilmu tersebut membawanya pada kecintaan pada ulama dan para cendekiawan. Kecintaannya ini membuatnya memiliki parameter tersendiri dalam menilai para tokoh dan kedudukan mereka. Ini sebabnya dia tidak terlalu tertarik memanggil para politisi ataupun komandan militer ke istananya. Sebaliknya, dia lebih memuliakan orang-orang berilmu dan memanggil mereka ke istananya.

Para ilmuwan ini, adalah orang-orang terkemuka yang menjadi panutan di tengah masyarakat. Mereka memiliki banyak pengikut dan mengakar secara kultural. Ini sebabnya, selain bermanfaat secara intelektual, para ilmuwan ini juga penting dalam mendukung legitimasi kekuasaannya secara politik.

Salah satu sosok yang membuat Al-Makmun terpukau akan keluasan ilmunya adalah Ali bin Musa bin Jakfar bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Dia adalah putra dari Musa Al-Kazhim, tokoh penting dari keluarga Ali bin Abi Thalib yang wafat di dalam penjara Harun Al-Rasyid karena dikhawatirkan pengaruhnya. Sebagaimana ayah, meski memiliki kedudukan yang tinggi dan keluasan ilmu, Ali bin Musa tidak berminat dengan perebutan kekuasaan. Dia lebih memilih menekuni jalur keilmuan. Tapi ternyata di sinilah letak keistimewaan dirinya di mata Al-Makmun.

Pada tahun 201 H, Al-Makmun mengambil langkah politik yang kontroversial. Dia mencopot saudaranya – Al-Qasim bin Harun Al-Rasyid yang bergelar Al-Muktaman – dari kedudukan sebagai putra mahkota. Lalu menggantinya dengan Ali bin Musa bin Jakfar bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.[1] Menurut Tabari, di sini Al-Makmun menggelari Ali bin Musa dengan sebutan Al-Ridha atau orang yang diridhai Allah dari keluarga Muhammad.[2]

Tidak sampai di sana, Al-Makmun memutuskan untuk menikahkan adik perempuannya dengan Ali bin Musa. Dia juga mencetak uang dirham dengan memakai nama Ali Al-Ridha, dan mengganti simbol-simbol hitam yang menjadi lambang Bani Abbas dengan warna hijau yang merupakan warna pendukung Ahlul Bait. Bahkan menurut Imam Al-Suyuthi, Al-Makmun sampai-sampai berniat mundur dari posisinya sebagai khalifah dan menyerahkannya pada Ali Al-Ridha.[3] Sehingga tak ayal, keputusan ini menuai reaksi luas dari kalangan Bani Abbas. Al-Makmun dianggap bersekongkol dengan pendukung keluarga Ali bin Abi Thalib, dan mengkhianati Bani Abbas.

Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi terdahulu, bahwa berdasarkan wasiat yang dibuat Harun Al-Rasyid, secara berturut-turut yang menjadi khalifah menggantikan Harun adalah Al-Amin, Al-Makmun, dan Al-Muktaman. Bahwa posisi Al-Makmun tidak bisa diubah oleh Al-Amin. Tapi posisi Al-Muktaman, semua bergantung dengan pertimbangan Al-Makmun. Karena Al-Muktaman harus terlebih dahulu memperlihatkan dedikasi dan kecakapannya dalam memerintah. Bila Al-Muktaman dianggap layak oleh Al-Makmun, maka dia layak di angkat. Tapi bila tidak, maka Al-Makmun boleh menggantikannya dengan sosok yang lebih baik.[4]

Meski tak lama setelah Harun Al-Rasyid wafat perjanjian ini dicederai oleh Al-Amin, tapi masyarakat masih mengingat dan menganggap isinya sebagai sesuatu yang sakral. Maka ketika Al-Amin mendepak Al-Makmun dari urutan sebagai putra mahkota, kaum Abbasiyah lebih banyak yang berpihak pada Al-Makmun. Hal yang sama juga sekarang terjadi pada Al-Makmun ketika mendepak Al-Muktaman dari posisinya sebagai putra mahkota.

Tapi Al-Makmun tidak merasa menyalahi aturan. Karena sebagaimana diamanatkan oleh Harun, bahwa dia harus memilih putra mahkota yang terbaik sebagai penggantinya. Dan berdasarkan pemikirannya, tidak ada orang lain pada zaman itu yang ketinggian ilmunya, kesalehan, dan kemuliaannya melebihi Ali bin Musa Al-Kazhim. Menurut Akbar Shah Najeebabadi, pada faktanya memang Ali bin Musa Al-Kazhim adalah sosok yang paling terkemuka di kalangan Bani Hasyim, baik dalam hal kehormatan, kompetensi dan kualifikasi.[5] Tapi sayangnya, keputusan penting ini diambil ketika segregasi antara pendukung keluarga Ali bin Abi Thalib dengan Bani Abbas sedang memuncak. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Ada pendapat yang mengatakan, bahwa ketika mendengar keputusan ini, Ali bin Musa berkata pada Al-Makmun: “kalo kekhalifahan ini merupakan hakmu, maka kau wajib melaksanakan tugas ini dan tidak boleh memberikannya kepada selainmu; kalo ia bukan hakmu, maka bagaimana kau bisa berikan kepada orang lain.”

[2] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rfkh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal. 60

[3] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 327

[4] Uraian lebih lengkap tentang perjanjian ini, bisa merujuk pada serial tulisan ini dalam edisi “Dinasti Abbasiyah (38): Harun Al-Rasyid (9)”, atau mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-38-harun-al-rasyid-9/

[5] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 412

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*