Setelah delapan tahun menimba ilmu di Tremas, Ali pulang kampung ke Lasem. Tiga tahun setelahnya dia menikah. Namun, baru saja beberapa hari menikah, dia mendapat tawaran untuk ke Makkah.
Oleh Khoirul Imam | Staf Pengajar Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) An Nur Yogyakarta dan Pengasuh PPTQ Ibnu Sina Yogyakarta
Sejak muda Ali dikenal sebagai sosok yang tidak gemar tirakat atau puasa ngrowot dan perilaku nyleneh lainnya seperti yang dilakukan oleh sebagian santri di beberapa pesantren salafiyah pada umumnya. Mungkin baginya, menuntut ilmu dengan tekun itu sudah termasuk bentuk ‘tirakat’.
Karena keseriusan dalam menuntut ilmu secara tidak langsung memerlukan energi yang cukup dan menuntut pencari ilmu itu untuk begadang hingga larut malam demi menelaah banyak kitab.
Justru yang unik, Ali suka terhadap musik. Dia suka memukul-mukul daun pintu atau apa saja yang ditemui dengan ujung jarinya untuk mengiringi alunan lagu, bahkan dia suka terhadap lagu-lagu berbahasa Inggris bernuansa Jazz.
Dalam bidang olah raga, dia termasuk seorang yang tidak gemar berolah raga. Berbeda dengan Gus Hamid dari Pasuruan yang suka main sepak bola, Ali Maksum lebih memilih membersihkan lingkungan pondok dari daun-daun yang jatuh, dan mengambil kertas-kertas dan sampah-sampah kering lainnya.
Tak lama berselang, setelah delapan tahun menimba ilmu di Tremas, Ali Maksum berniat pulang kampung atau boyong. Sebagaimana santri-santri dulu, setelah seorang santri telah merasa cukup, meski bagi Ali Maksum tidak ada kata cukup dalam menuntut ilmu, tetapi karena memenuhi panggilan orang tuanya, dia pun pulang ke Lasem.
Madrasah yang telah dia rintis bersama beberapa putra KH. Dimyati dan keluarganya, kepemimpinannya diserahkan kepada Gus Hamid Dimyati sebagai kepala madrasah, dan A. Mukti Ali sebagai wakilnya.
Demi memenuhi panggilan orang tuanya, pada tahun 1935 Ali Maksum pulang ke Lasem. Dia diminta ayahnya untuk membantu mengajar dan mengembangkan pesantren ayahnya, Al-Hidayah. Kecenderungannya dalam ilmu tafsir Alquran dan bahasa Arab selama di pesantren dimanfaatkan dengan mengajar kedua bidang itu.
Jiwa visioner dan reformis itu tidak pernah hilang dari dirinya. Di dalam pesantren ayahnya pun dia melakukan hal yang sama dilakukan di pesantren Tremas. Dia mulai mereformasi sistem pendidikan dan pengajaran pesantren. Kurikulum dan pembaharuan di berbagai sektor pesantren dia benahi dengan seksama.
Alhasil, pembaharuan yang dilakukannya mendapat dukungan dari berbagai pihak, tak terkecuali Mbah Maksum sendiri selaku pengasuh pesantren. Pembaharuan yang diterapkan Ali tidak mengubah dan mengancam keberadaan pesantren, tetapi justru menguatkan dan memajukan pesantren itu sendiri.
Tiga tahun setelah kepulangannya ke Lasem, yang pada tahun 1938, Ali Maksum dinikahkan dengan seorang gadis yang bernama Rr. Hasyimah, putri KH.M. Munawwir. Pernikahan yang sudah direncanakan sebelumnya, KH. Maksum dan KH. M. Munawwir sudah lama berencana menjodohkan putra-putrinya tersebut. Mereka pun tidak membantah kehendak orang tuangnya.
Akan tetapi beberapa hari setelah pernikahan tersebut, datanglah seseorang yang bernama H. Djunaid dari Kauman, Yogyakarta memberikan tawaran gratis kepada Ali untuk menunaikan ibadah haji ke tanah Haram melalui KH. Maksum. Tawaran ini begitu menggiurkan sekaligus memberatkan Ali Maksum yang baru saja mengemban amanat untuk mengembangkan pesantren milik ayahnya.
Di tengah kebimbangan antara berangkat dan tidak, Mbah Maksum justru memberi semangat dengan mengatakan bahwa tawaran itu merupakan kesempatan langka yang harus dimanfaatkan. Sedangkan mengenai istri, beliau mengatakan bahwa kelak sepulang dari Makkah pasti akan menjadi istrinya lagi untuk selamanya.
Dalam situasi seperti ini Ali Maksum justru mengalami kegundahan, apalagi dia memang bercita-cita untuk belajar di Makkah. Apakah kesempatan ini hanya untuk menunaikan ibadah haji atau sekalian digunakan untuk menimba ilmu di sana?
Maka dengan tekad yang kuat dia pun senantiasa memohon petunjuk Allah dengan salat istikharah setiap malam. Satu-satunya kegembiraan Ali Maksum adalah bayangan masa depan, karena bagaimana pun untuk menjadi seorang ulama dia harus benar-benar mumpuni dan banyak menimbun bekal.
Sebulan kemudian dia pun berangkat menuju Makkah. Di sana dia melakukan ibadah haji dengan penuh kesempurnaan. Setelah itu dia melanjutkan belajar dengan Sayid Alwi al-Maliky. Dia tinggal di pondokan milik Syaikhul Masyayih Hamid Mannan di Samiyah, sekitar 1 km dari Masjidil Haram. Kepada Sayid Alwi dia memperdalam kitab Luma, dan kepada Syaikh Umar Hamdan mengaji kitab hadits al-Bukhari.
Dia juga memperdalam bahasa Arab yang sebelumnya telah dia kuasai. Selama dua tahun tinggal di sana, Ali sempat menunaikan ibadah haji dua kali. Dua tahun berlalu, dia pun pulang ke Lasem untuk mengabdi ke pesantren lagi. Kedatangannya pun disambut dengan penuh haru-biru oleh seluruh keluarganya, terutama istrinya, Nyai Hasyimah.[]
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Sumber Referensi:
Disarikan dari A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Maksum: Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya (Cet.1, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1989)