Mozaik Peradaban Islam

Kyai Haji Ali Maksum (2): Jelajah Tremas dan Julukan Sang Munjid Berjalan

in Tokoh

Last updated on March 4th, 2020 02:36 pm

Ali sering tidak tidur sampai larut malam untuk mendalami kitab-kitab babon. Maka tidak heran kamarnya sering terlihat berantakan dengan kitab-kitab. Kegemarannya membaca jauh melampaui usianya yang masih remaja.

KH Ali Maksum. Foto: almunawwir.com

Oleh Khoirul Imam | Staf Pengajar Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) An Nur Yogyakarta dan Pengasuh PPTQ Ibnu Sina Yogyakarta

Selepas dari pesantren KH. Amir Pekalongan, pada usia 12 tahun, tepatnya pada tahun 1927 Ali Maksum dikirim ayahnya untuk melanjutkan nyantri ke pesantren Tremas, Pacitan, guna memperdalam ilmu-ilmu agama. Saat itu pesantren Tremas dipimpin oleh KH. Dimyati Abdullah, adik kandung Syeikh Mahfudz at-Tirmasi. Beliau merupakan teman sejawat Mbah Maksum.

Sebagaimana tradisi pesantren kuno, masing-masing kyai saling menitipkan putranya; KH. Maksum menitipkan putranya, Ali, kepada KH. Dimyati. Sementara KH. Dimyati menitipkan putranya, Gus Hamid dan Habib kepada KH. Maksum di Rembang. Oleh karena itu, ketika masuk pesantren Tremas, Ali diberikan keistimewaan untuk tinggal di komplek keluarga KH. Dimyati, sekamar dengan Gus Muhammad, putra Syeikh Mahfudz at-Tirmasi.

Pesantren Tremas didirikan oleh KH. Abdul Manan, menantu seorang demang di Tremas yang bernama Ngabehi Honggowidjoyo, pada tahun 1830. Pesantren Tremas ini dipegang oleh pendirinya hingga 1862. Selanjutnya secara berturut-turut dipimpin oleh KH. Abdulah, KH. Dimyati, KH. Hamid Dimyati, dan KH. Habib Dimyati bin Dimyati.

Pesantren yang berlokasi di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini cukup terkenal, bahkan hingga mancanegara. Hal ini terbukti dengan munculnya salah satu putra Tremas yang diberi kehormatan untuk mengajar di Masjidil Haram, yaitu Syeikh Mahfudz at-Tirmasi yang wafat di Makkah pada tahun 1918 M.

Beliau adalah penulis prolifik dan guru besar di bidang hadis, terutama kitab Shahih al-Bukhari. Salah satu karya Syeikh Mahfudz at-Tirmasi yang masih dipelajari para santri sampai sekarang adalah Manhaj dhawi al-Nazar dan Mauhibah Dzi al fadl, yang merupakan syarah atas karya Abdullah Ba Fadhl yang berjudul Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah.

Pesantren Tremas juga dianggap sebagai salah satu pesantren yang diperhitungkan dan berwibawa, karena secara tegas menentang pemerintah Belanda. Pesantren ini mampu menghadirkan pengkajian ilmiah secara intensif. Namun pengkajian ilmiah itu kemudian melahirkan kebebasan ilmiah yang berakibat munculnya madrasah di dalam pesantren yang didirikan pada tahun 1928 oleh seorang santri senior yang bernama Sayid Hasan.

Semua guru dalam madrasah ini diambil dari luar pesantren, dan seakan-akan terjadi gap antara madrasah dan pesantren, karena menghembuskan pendapat bahwa sistem pesantren tidak relevan lagi dan harus ditinggalkan. Oleh karena itu, madrasah bentukan Sayid Hasan ini dibubarkan. Di sisi lain, Berkat dukungan dari keluarga kyai, di pesantren ini para santri senior yang sudah mampu diberi kesempatan untuk mengajar adik-adiknya.

Beberapa kitab yang diajarkan di pesantren ini antara lain; Fathul Mu’in, Tafsir Jalalain, Minhajul Qawim, Al-Asybah wan-Nazhair, Shahih Bukhari dan Muslim, Alfiyah Ibnu Malik, dan lain-lain. Selain itu, Mubahatsah (pembahasan) kitab-kitab kuning berjalan setiap malam. Ali Maksum pun tidak melewatkan siang dan malamnya dalam pesantren untuk mempelajari kitab-kitab tersebut.

Dari hasil ketekunan dan keseriusannya, didukung dengan kecerdasan yang dimilikinya, Ali menjadi santri yang begitu menonjol di antara para santri yang lainnya. Sejak awal masuk pesantren, dia sudah diizinkan untuk mengikuti pengajian bandongan yang biasanya hanya diikuti oleh santri-santri senior.

Dengan penguasaannya yang mendalam terhadap khasanah-khasanah klasik, dia mulai menampakkan bakat keulamaannya. Hal ini didukung dengan wawasannya yang luas, kreativitas dan inovasinya, serta jiwa kepemimpinannya, dan menjadikannya begitu disegani oleh santri-santri lainnya.

Bahkan tak jarang banyak santri yang secara mandiri belajar dengannya, seperti Gus Muhammad yang banyak belajar menelaah kitab kuning dengan Ali. Meski pernah lama bermukim di Makkah, namun Gus Muhammad hanya berkonsentrasi pada Ulumul Qur’an dan sekitarnya. Sementara yang dipelajari Ali hampir semua kitab yang ada di pesantren tersebut.

Ali Maksum, yang semasa ‘nyantri’ lebih akrab dipanggil ‘wak Ali’ sering menghabiskan hari-harinya dengan belajar, menelaah, dan menggali berbagai masalah-masalah baru. Dia bahkan sering tidak tidur sampai larut malam hanya untuk mencari jawaban untuk sebuah masalah dalam kitab-kitab babon. Maka tidak heran kamar Ali sering terlihat berantakan dengan kitab-kitab yang masih terbuka di mana-mana. Kegemarannya membaca jauh melampaui usianya yang masih sangat muda.

Dia tidak hanya membaca dan mempelajari karya-karya para ulama salaf, tetapi dia juga menelaah karya-karya ulama kontemporer, seperti Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Manar karya Muhamad Abduh yang diteruskan oleh muridnya, Rasyid Ridha, kitab Fatawa Ibnu Taimiyah, kitab-kitab tulisan Ibnul Qayyim dan kitab-kitab dari para pembaharu lainnya. Buku-buku dan kitab-kitab tersebut dia peroleh dari beberapa kawannya dan keluarga Kyai Tremas saat pulang dari Haji.

Pada dasarnya, kitab-kitab tersebut di beberapa pesantren dilarang, tetapi KH. Dimyathi menilai, Ali Maksum sudah memiliki dasar keilmuan yang cukup kuat, sehingga bacaan-bacaan itu tidak akan mengubah akidahnya, justru akan memperluas pandangannya. Hal ini terbukti ketika Ali Maksum telah menjadi ulama besar, dia dipandang sebagai ulama yang memiliki wawasan yang luas dan berpandangan moderat.  

Keahliannya dalam penguasaan kitab-kitab turats tidak terlepas dari kepiawaiannya dalam bahasa Arab yang sangat menakjubkan. Dia sangat menguasai kitab-kitab nahwu, seperti Alfiyah Ibnu Malik beserta syarahnya, Dahlan, dan Asymuni; dan Jauhar Maknun. Bahkan segala cabang disiplin ilmu bahasa Arab, seperti Badi, Balaghah, Maani telah menjadi santapan sehari-hari.

Di samping itu, dia memiliki koleksi buku-buku dan majalah berbahasa Arab terbaru, ditambah ketekunannya dalam menghafal syair-syair Arab, menambah kemahirannya dalam penguasaan bahasa Arab beserta cabang-cabangnya. Kemungkinan ini pula yang menyebabkannya dijuluki “Munjid berjalan” di antara kawan-kawannya.

Ali Maksum pun semakin matang dan cemerlang. Dalam usia yang masih relatif muda, lebih-lebih bagi santri yang belum lama tinggal di pesantren, dia dipercaya oleh KH. Dimyati untuk mengajar santri-santri lainnya. Dalam mengajar santri-santri, dia begitu cerdas, tegas dan simpatik. Ali sangat menguasai materi-materi yang dibebankan kepadanya.

Oleh karena itu, Ali memperoleh kedudukan yang sangat terhormat di lingkungan keluarga Tremas dan santri-santri pada umumnya. Bakat-bakat keulamaannya mulai nampak di sini. Dari penjelajahan keilmuan Ali Maksum, sepertinya dia tertarik dengan ilmu Tafsir Alquran dan ilmu Bahasa Arab. Terbukti dua disiplin ilmu itu memperoleh perhatian lebih darinya.

Ali seolah telah menentukan sendiri spesialisasinya, yang kelak akan mengangkatnya sebagai salah satu ulama ahli tafsir dan pakar bahasa Arab yang terkenal di Indonesia. Dari ketekunan bergelut dengan bahasa Arab itulah, dia berhasil menemukan metode baru dalam disiplin ilmu sharaf yang berbeda dengan metode yang sudah mapan saat itu seperti al-Amtsilah at-Tashrifiyyah, karya KH. Muhammad Makshum bin Ali dari Jombang. Cara baru yang berjudul “ash-Sharf al-Wadhih” ini ternyata sangat efektif, karena mempunyai banyak sisi yang menguntungkan.

Menurut Prof. Dr. H. Mukti Ali, Ali Maksum merupakan sosok penggerak modernisasi di Pondok Pesantren Tremas, dari hanya menggunakan sistem pesantren ke sistem madrasi. Hal ini dibuktikan ketika muncul idenya untuk menerapkan sistem madrasi dalam sistem pendidikan pesantren sendiri.

Pada mulanya, ide menerapkan sistem ini ditolak oleh KH. Dimyati, karena trauma atas tindakan Sayid Hasan. Akan tetapi bersama dengan Gus Hamid Dimyati, Ali Maksum terus mencoba meyakinkan KH. Dimyati dan keluarga yang lain akan pentingnya madrasah dengan tenaga pengajar dari pesantren Tremas sendiri. Setelah melalui beberapa tahap, dan setelah konsep pendirian madrasah itu jelas, akhirnya madrasah itu berdiri pada tahun 1932, dengan Ali Maksum sebagai Kepala Sekolahnya.

Dari perjuangan Ali Maksum bersama Gus Hamid Dimyati dan Gus Muhammad bin Syaikh Mahfuzh at-Tirmasi banyak bermunculan ide-ide segar untuk memajukan dan mengembangkan pesantren Tremas. Kesempatan sebagai kepala madrasah ini pun  dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ali Maksum, yang pada saat itu baru berusia 19 tahun, untuk melakukan pembaharuan di bidang metode pengajaran dan kurikulumnya.

Modernisasi pesantren dengan menerapkan sistem madrasi ini memerlukan perjuangan yang berat, karena membuka madrasah pada zaman Belanda dan Jepang dapat menjadi masalah besar. Terlebih mengajar dengan kitab-kitab yang bergambar, seperti gambar anjing dalam kitab Qiraatur Rasyidah, memerlukan keberanian yang luar biasa.

Selain dikenal sebagai guru ‘pintar’ di kalangan teman-temannya, Ali Maksum juga menjadi lambang keteladanan. Hampir seluruh kegiatan pesantren selalu melibatkan dirinya, terutama menyangkut bidang kebendaharaan, kepanduan, dan keilmuan.

Melalui sentuhan Ali Maksum, Tremas mulai membuka diri bagi hadirnya kegiatan-kegiatan yang bersifat nasionalis. Dalam beberapa kesempatan dia juga memimpin sebuah organisasi kepanduan yang menjadi wahana menanamkan sikap nasionalisme dan melatih kepemimpinan para santri.

Dalam kegiatan kepanduan ini bakat kepemimpinan para santri diolah. Ali Maksum yang cerdas, berwawasan, dan berwibawa pun diangkat menjadi sebagai kepala kepanduan pertama di Termas yang membawahi 2.000 santri. Melalui kegiatan inilah namanya mulai dikenal masyarakat sekitar pesantren.[]

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Sumber Referensi:

Disarikan dari A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Maksum: Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya (Cet.1, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1989)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*