Meski dididik dengan tradisi pesantren tradisional, dia justru bisa menjadi sosok yang moderat, suka terhadap seni dan musik.
Oleh Khoirul Imam | Staf Pengajar Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) An Nur Yogyakarta dan Pengasuh PPTQ Ibnu Sina Yogyakarta
Salah satu teori Islamisasi di Indonesia mengatakan, Islam masuk ke Indonesia dengan dibawa oleh para pedagang dari India, sehingga sedikit banyak memiliki pengaruh dengan agama Hindu dan Buddha. Namun, justru keterpengaruhan ini memudahkan tersebarnya agama Islam di kalangan masyarakat Indonesia, terutama orang-orang Jawa yang sebelumnya sudah mengenal ajaran-ajaran Hindu.
Selain orang-orang India, Islam juga masuk ke Indonesia dibawa oleh sekelompok Sufi dan Kaum Mistikus. Dalam beberapa hal mereka begitu toleran dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat yang bercampur dengan tradisi Hindu. Dengan begitu, akulturasi agama-tradisi bisa dengan mudah merasuk dalam kehidupan meraka.
Kondisi semacam ini oleh beberapa kalangan dinilai membahayakan akidah umat Islam, sehingga memunculkan para pembaharu Islam yang mencoba memberantas dan membersihkan tradisi-tradisi lama atau Hindu yang bercampur dengan praktek-praktek ibadah umat Islam. Mereka membersihkan Islam dari unsur-unsur bidah, khurafat, dan tahayul yang bercokol dalam tubuh umat Islam.
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, pondok pesantren pun tidak lepas dari ‘tuduhan’ itu, karena masyarakat pesantren yang sebagian besar berada di sekitar pesisir pulau Jawa dianggap sebagai yang mengakomodir tradisi-tradisi tersebut. Selebihnya, keberadaan pondok pesantren dianggap sebagai penghambat kebebasan ijtihad dan pemikirannya dipandang kolot, kuno, irasional, dan sulit untuk maju.
Di tengah gencarnya tuduhan para pembaharu terhadap dunia pesantren, sosok Mbah Maksum tetap bergeming. Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam tradisi pesantren, dia tetap menjalankan kebiasaan-kebiasaannya, mendidik anak-anak dan para santrinya dengan cara santri: Salat berjamaah, mengaji Alquran, melakukan pengajian kitab kuning, dan lain sebagainya.
Salah satu putranya yang merasakan pahit getirnya kehidupan di pesantren adalah Ali. Dia merasakan gemblengan langsung dari ayahnya sendiri maupun dari ulama-ulama besar kaliber dunia. Meski dididik dengan tradisi pesantren tradisional, dia justru bisa menjadi sosok yang moderat, suka terhadap seni dan musik, dan pernah menjadi pemimpin salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni sebagai Rais Aam Syuriyah PB Nahdlatul Ulama yang ke-4, periode 1980 – 1984.
Ali Maksum lahir di Desa Soditan, Kecamatan Lasem, Rembang pada tanggal 2 Maret 1915 dari pasangan KH. Maksum bin KH. Ahmad Abdul Karim dengan Ny. Hj. Nuriyah binti KH. Muhammad Zain. Nama sebenarnya hanyalah Ali, sedangkan Maksum adalah nisbah dari nama ayahnya. Keluarga ini memiliki garis keturunan sampai kepada Sultan Minangkabau, Malaka, Sayyid Abdur Rahman alias Pangeran Kusumo putra dari Pangeran Ngalogo alias Pangeran Syihabuddin Sambu Digdadiningrat atau lebih dikenal dengan Mbah Sambu.
Dari garis keturunan ini banyak melahirkan keluarga pesantren yang tersebar luas di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maka tidak mengherankan bahwa ayahnya sendiri adalah pemangku sekaligus pendiri pesantren Al-Hidayah di Desa Soditan, Lasem, Rembang.
Pendidikan pertamanya dia habiskan dengan belajar di pesantren ayahnya. Ali dididik secara ketat oleh ayahnya sendiri sebagaimana santri-santri lainnya. Saat itu banyak santri-santri dari berbagai daerah yang datang ke pesantren itu guna memperdalam nahwu, sharaf, dan balaghah, terutama bagi santri-santri yang ingin memperdalam kitab Al-Fiyah dengan syarahnya dari Ibnu Aqil dan Kitab Jamul Jawami. Meski pesantren Mbah Maksum telah masyhur dengan piranti lunak pengajaran bahasa Arab, namun beliau berharap kelak putranya menjadi ahli fikih. Dengan begitu, Mbah Maksum mempersiapkan putranya dengan memberikan pembelajaran kitab-kitab fikih.
Namun Ali memiliki kecenderungan lain, dia lebih senang menelaah kitab-kitab nahwu dan sharaf ketimbang mempelajari kitab-kitab fikih. Sebelum akhirnya melanjutkan ke pesantren Tremas, Ali juga sempat beberapa waktu menimba ilmu di pesantren KH. Amir (w. 1357 H) di Pekalongan. Beliau adalah santri sekaligus menantu Kyai Shaleh Darat Semarang. []
Bersambung ke:
Sumber Referensi:
Disarikan dari A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Maksum: Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya (Cet.1, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1989)
Sultan mahmud itu bukan mbah sambu kak, sultan mahmud makamnya di bonang, mbah sambu di masjid jami’ lasem