Di tengah perpecahan yang terjadi di tubuh NU, Kyai Ali diminta oleh para kyai untuk memimpin. Namun dia berusaha keras untuk menolak jabatan itu, dan mengatakan tidak bersedia dipilih.
Oleh Khoirul Imam | Staf Pengajar Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) An Nur Yogyakarta dan Pengasuh PPTQ Ibnu Sina Yogyakarta
Sejak awal kedatangannya di Krapyak, Kyai Ali tidak pernah lepas dari keterlibatannya dalam kegiatan sosial. Selain aktivitasnya yang padat di dalam pesantren, setiap selapan dua kali Kyai Ali memberikan pengajian kepada masyarakat umum dengan materi aqidah akhlak dan tahlil.
Sejak awal dia juga secara resmi menjadi bagian dari Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU). Baru pada saat gejolak politik mulai memanas, terutama sekitar tahun 1955-an, Kyai Ali mulai terjun langsung. Terlebih hasil dari Muktamar NU di Palembang memutuskan bahwa NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai NU.
Setelah itu dia mulai aktif berkampanye untuk partai NU dengan cara tidak langsung turun ke lapangan sebagai jurkam, tetapi lewat pendidikan kader kepada para santri Krapyak dan melalui pembicaraan non formal dengan para tamu yang sowan ke rumahnya.
Dari hasil kerja retorika politiknya yang lincah inilah, dia mampu menembus gelanggang politik nasional, yaitu terpilihnya dia sebagai anggota konstituante mewakili NU. Apalagi pada saat itu partai NU memperoleh suara terbanyak peringkat ketiga setelah PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Karirnya dalam bidang politik terus melejitkan namanya. Pada akhir tahun 1960-an, saat PKI sedang getol memusuhi kaum muslimin dan mengancam para kyai, Kyai Ali justru diminta menjadi Rois Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Meski sebagai tokoh di daerah, ide-ide dan pengaruh Kyai Ali mampu menembus kancah nasional. Dia berhasil membangun hubungan yang sangat luas, baik dengan tokoh-tokoh nasional maupun internasional.
Hal ini terbukti pada tahun 1969 ketika Presiden Soeharto berkunjung ke Krapyak dan membantu tempat pengajian. Para menteri pun banyak yang hilir mudik datang ke Krapyak untuk sowan ke Kyai Ali. Demikian pula dengan tokoh-tokoh dari mancanegara, terutama dari Timur Tengah. Bahkan pada tahun 1985 beberapa orang Jepang datang ke Krapyak untuk melakukan riset.
Dia pun tidak lupa juga menjaga hubungan dengan pihak Kraton Ngayogyakarta. Meski tidak sering, dia pernah berkunjung kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Hubungan antara Krapyak dan Kraton semakin akrab setelah KGPH Haji Mangkubumi naik tahta menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono X. Sebelum itu pun beberapa kali Sultan HB X sering datang ke Krapyak, baik pada acara Haul KH.M. Munawwir maupun acara-acara lain.
Sebelum terpilih menjadi Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), sebenarnya di tubuh NU sendiri sedang terjadi gonjang-ganjing. Perpecahan terbuka pun tidak dapat terelakkan, juga munculnya suara sumbang untuk meninggalkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Persoalan bertambah memprihatinkan ketika KH. Bisri Syansuri meninggal dunia. Perpecahan di tubuh NU tersebut terjadi antara sayap politik yang sudah terlanjur masuk dalam jurang politik, dengan mereka yang tidak terjun secara langsung dalam politik tetapi mengkhawatirkan NU yang kondisinya semakin tidak menguntungkan.
Di sisi lain, wibawa ulama atau syuriah dalam NU mengalami krisis dan tantangan dari kaum politisi NU, karena mereka sering mengeluarkan pernyataan yang mendiskreditkan Syuriah. Keadaan demikian menghendaki digelarnya Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama pada 30 Agustus – 2 September 1981 di Kaliurang Yogyakarta, yang kemudian memilih Kyai Ali sebagai Rais Am PBNU, menggantikan KH. Bisri Syansuri.
Terpilihnya Kyai Ali sebagai Rais Am PBNU ini didukung oleh semua kalangan NU, baik tua maupun muda. Bahkan KH. Ahmad Shiddiq dan H. Abdurrahman Wahid termasuk pelopor yang membentuk opini peserta Munas untuk memilih Kyai Ali sebagai pemimpin. Di samping itu, para kyai senior juga memandang Kyai Ali mempunyai potensi tersendiri untuk menghadapi sayap politik NU.
Meski demikian, Kyai Ali sudah berusaha keras untuk menolak jabatan politis itu, dan mengatakan bahwa dirinya tidak bersedia dipilih. Akan tetapi desakan kuat dari para kyai, ditambah dengan ‘provokasi’ KH. Ahmad Shiddiq, akhirnya forum Munas memilihnya secara aklamasi. Maka, dengan rasa berat Kyai Ali mau menerimanya, dengan syarat hanya satu kali periode kepengurusan sampai diadakannya Muktamar ke-27 tahun 1984.
Kepemimpinannya yang tegas dan brillian itu membawa NU pada pembaruan dan kemajuan. Dalam masa 1981 dan selanjutnya, banyak gagasan-gagasan berani dari Kyai Ali untuk memperbaiki NU, salah satunya adalah bersama beberapa kyai meminta Dr. Idham Khalid mundur dari Ketua Umum PBNU.
Meski sempat mundur, namun pernyataan itu dicabut kembali oleh Dr. Idham Khalid. Namun pencabutan itu tidak ditanggapi oleh Kyai Ali dan kyai-kyai lain. Bahkan untuk sementara kepemimpinan Tanfidziyah PBNU diambil alih oleh Kyai Ali selaku Rais Am. Dari persoalan ini, maka muncullah kubu-kubu lain dalam tubuh NU, yaitu ‘kelompok Cipete’ atau kubu Dr. Idham Khalid, dan kelompok Situbondo, yang terdiri dari para kyai NU.
Selain itu, pada saat pemilihan umum 1982, banyak warga NU yang disingkirkan dari tubuh PPP, sehingga memunculkan kegelisahan bagi Kyai Ali, terlebih wacana pemisahan tersebut belum memasyarakat di kalangan NU. Namun Kyai Ali berusaha menenangkan suasana dengan menegaskan bahwa NU masih mendukung PPP.
Dalam keadaan bergejolak, Kyai Ali terus berusaha menggelar pertemuan demi pertemuan, guna menggalang persatuan di antara para pembesar NU demi kemaslahatan umat/warga NU sendiri. Hal ini terealisasi beberapa bulan sebelum Muktamar ke-27 di Situbondo diadakan, sebuah pertemuan yang dihadiri oleh para pembesar dari dua kubu, yang sudah mulai menghilangkan sekat-sekat perbedaan dan peserselisihan sebelumnya. Dari pertemuan ini lahir kesepakatan untuk mensukseskan Muktamar NU Ke-27. []
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Sumber Referensi:
Disarikan dari A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Maksum: Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya (Cet.1, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1989)