Mozaik Peradaban Islam

Ilusi Identitas Arab: Sebuah Pengalaman dan Klarifikasi (6): Definisi Arab: Paradoks dan Ilusi (2)

in Studi Islam

Last updated on June 5th, 2021 02:02 pm

Kesatuan ras Arab itu bagi saya tak lebih dari ilusi. Dan jangan heran bila ilusi ras Arab itu paling banyak dihembuskan oleh rezim-rezim penguasa dinasti Bani Umayyah—setidaknya pasca sejarah Islam.

Ilustrasi Bani Umayyah. Foto: Google/Unknown

Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab

Perbedaan mencolok konotasi ‘araby dan a’raby membantah teori yang menyatakan bahwa asal makna ‘arab itu adalah padang pasir (badiah; dan kata sifatnya badui). Pendukung teori yang menyamakan ‘arab dengan badiah atau gurun pasir gagal menjelaskan mengapa ada perbedaan konotasi ‘araby dan a’raby.

Lalu, jika ‘arab sejak semula merujuk pada lokasi geografis padang pasir di jazirah itu, mengapa pula pengguna bahasa Arab—termasuk Alquran—sejak ribuan tahun lalu sudah membedakan ‘araby  dengan a’raby. Juga apa penjelasan keburukan hidup di gurun pasir dibandingkan hidup di desa atau kota?

Lalu mengapa Alquran dan para pengguna bahasa Arab tidak langsung saja memakai kata badiah dan badui untuk merujuk pada lokasi geografis dan orang yang tinggal di sana?

Mengapa malah memperkenalkan a’rab yang menimbulkan kebingungan? Walhasil banyak pertanyaan yang sulit dijawab, setidaknya ditinjau dari segi kebahasaan.

Sekaitan dengan perbedaan konotasi ‘araby dan a’raby, sebagian pakar memberikan penjelasan sebagai berikut. Pengembara gurun pasir, badui, atau nomaden pada umumnya hidup penuh tantangan, terancam, suka berebut lahan hidup, gemar berperang, tidak terikat aturan, kasar, eksklusif, dan sebagainya.

Sebaliknya, ‘araby yang menetap di suatu daerah, baik kota maupun desa, cenderung lebih beradab dan berpegang pada norma. Karena sudah punya tempat tinggal tetap, menurut pendapat ini, ‘araby belajar hidup sesuai norma, aturan hukum dan membangun ketertiban dalam lingkungan hidup mereka. Akibat imoralitas dan keliaran cara hidup a’raby itulah maka Alquran mencela mereka.

Tapi pandangan di atas tidak sesuai dengan fakta bahwa musuh-musuh terbesar Nabi dan sasaran celaan terbanyak dalam Alquran adalah penduduk kota Makkah, bukan a’raby yang mengembara di gurun tanpa punya tempat tinggal tetap.

Dan jika kita mau mengikuti pendapat di atas, maka kaum Quraisy lebih tepat disebut ‘araby dan bukan a’raby yang berkonotasi peyoratif. Namun, dalam kenyataannya, celaan Alquran atas kafir Quraisy demikian banyak. Bahkan merekalah ujung tombak dan sokoguru peradaban Jahiliah yang hendak diberantas oleh Islam dan Alquran.

Dengan demikian, agaknya sulit kita mempertahankan pendapat yang mengatakan bahwa ‘araby dan a’raby itu mendeskripsikan tempat dan gaya hidup badui versus penghuni tetap suatu daerah.

Sekiranya kita terpaksa mengambil definisi Arab itu adalah lokasi geografis di padang sahara, seperti yang disarankan kebanyakan pembuat kamus besar bahasa Arab, maka jelas kita tidak bisa menyatakan bahwa mereka memiliki satu nenek moyang yang sama, yaitu Ya’rub bin Qahthan.

Apalagi raja Saba di wilayah Yaman masa itu, menurut sejumlah peneliti bahasa Arab, berbahasa yang beda dengan bahasa Arab fushha yang digunakan Alquran. Di samping pendapat itu bertentangan dengan pendapat-pendapat lain yang menyatakan bahwa nenek moyang Arab adalah putra Ismail seperti yang disebutkan oleh al-Raghib al-Isfahani dalam karya monumentalnya al-Mufradat.

Lebih dari itu, para ahli mutakhir sudah membuang asumsi bahwa pengelompokan sosial itu berhubungan dengan suku, ras, dan genetika. Riset-riset DNA juga memperkuat asumsi bahwa ide tentang ras dan suku itu tak lebih dari ilusi belaka. Nyaris tidak ada keturunan suku atau kelompok ras yang murni sehingga dapat diklasifikasi sebagai suatu unit yang utuh.

Satu ras manusia sejujurnya sudah bercampur-baur dengan ras manusia lain sehingga kategori rasial atau kesukuan itu sepenuhnya konstruksi sosial, politik, dan ekonomi. Karena itu, pendapat bahwa Arab itu adalah suku atau keturunan tertentu lebih mirip ilusi ketimbang sesuatu yang layak dikaji dan dibuktikan.

Saya sendiri yang sejak lama gelisah dengan identitas Arab sebagai nomenklatur kesukuan pernah ditantang seorang kawan di Amerika Serikat untuk tes DNA. Katanya penelitian DNA itu lagi booming di Barat dan mengalami perkembangan pesat.

Waktu tantangan itu dia sampaikan di depan umum, sebagian besar hadirin grogi dan maju mundur. Tapi saya yang sudah lama gregetan urusan ini langsung mengiyakan. Hasilnya sungguh tidak sesuai dengan asumsi banyak orang. Di dalam darah saya ternyata sudah bercampur macam-macam ras dan suku, yang satu bagiannya barangkali sudah berkonflik dengan bagian lainnya.

Dan berdasarkan pengalaman hidup saya memang kebanggaan pada keturunan itu sama palsunya dengan kebanggaan pada harta. Karena dua-duanya sama-sama karunia yang harus disyukuri, sekaligus cobaan yang harus dilalui. Tidak ada nilai hitam-putih dalam urusan-urusan itu, karena permainan takdir dan kuasa ilahi lebih sakti dari semua konstruksi sosial dan pemikiran manusia.

Lebih dari itu, para peneliti kabilah-kabilah Arab mutakhir berpandangan bahwa pembentukan kabilah itu bukan dibangun di atas kesamaan darah dan keturunan. Formasi kabilah pertama-tama dan terutama dibangun di atas kepentingan ekonomi, politik, dan nilai-nilai yang sama.

Meski disebut kabilah, tapi yang masuk menjadi anggota kabilah itu tidak jarang orang yang sama sekali asing, tapi mampu mengakomodasi berbagai kepentingan sehingga menjadi anggotanya. Ia lebih mirip dengan lazimnya pembentukan organisasi-organisasi sosial politik di era modern.

Percaya atau tidak, ideologi-ideologi manusia yang kini punya nama-nama beken itu sejatinya sudah merupakan tendensi lama manusia sejak dahulu.

Maka itu, bagi saya, kesatuan ras Arab itu tak lebih dari ilusi. Dan jangan heran bila ilusi ras Arab itu paling banyak dihembuskan oleh rezim-rezim penguasa dinasti Bani Umayyah—setidaknya pasca sejarah Islam.

Umayyah yang tidak mungkin membanggakan diri di hadapan musuh-musuhnya dari keturunan Ali bin Abi Thalib dalam hal-hal keilmuan dan kefasihan berbahasa Arab gemar sekali mengumbar ilusi ras ini. Demi menggelorakan militansi dan loyalitas para pendukungnya, para penguasa Umayyah berapi-api mendongkrak ilusi ras Arab itu.

Padahal, para ahli nasab sering kebingungan mendaftar siapa ayah dari sebagian besar tokoh utama Umayyah. Bagaimanapun, ilusi ras Arab itu berhasil mereka pakai untuk menghadapi oposisi kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah Khurasan. Kalangan masyarakat di wilayah itu kelak berkoalisi dengan Abbasiyah untuk menumbangkan mereka. Jadi jelaslah ras Arab itu propaganda politik yang bersumber pada ilusi.[]

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*