Bendera pertama pasukan Muslim yang berwarna putih diserahkan oleh Rasulullah kepada Hamzah. Dia kemudian berangkat hanya dengan 30 orang untuk menghadapi kafilah Quraisy sebanyak 300 orang yang dipimpin Abu Jahal.
Kaum Quraisy di Makkah mengirimkan utusannya ke Madinah untuk menyampaikan pernyataan ancaman. Dia berkata, “Janganlah kalian bangga terlebih dahulu karena kalian bisa meninggalkan kami pergi ke Yatsrib. Kami akan mendatangi kalian, lalu merenggut dan membenamkan tanaman kalian di halaman rumah kalian.”
Rasulullah saw menyadari bahwa pernyataan ini bukan sekadar ancaman kosong, sebab beliau telah mendapatkan informasi bahwa kaum Quraisy memang sedang mempersiapkan serangan. Kaum Muslim di Madinah pun oleh karenanya selalu berjaga baik siang mau pun malam jika suatu waktu serangan telah tiba.
Ubay bin Ka’b meriwayatkan, “Tatkala Rasulullah saw dan para sahabatnya tiba di Madinah, lalu dilindungi Ansar, maka seluruh bangsa Arab sudah sepakat untuk melontarkan satu anak panah kepada mereka. Tidak pagi tidak sore, mereka selalu siap dengan senjatanya.”
Di tengah situasi yang rawan seperti ini, Allah kemudian menurunkan wahyunya kepada Nabi Muhammad saw:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS al-Hajj [22]: 39)[1]
Tentang ayat ini, mufasir Quraish Shihab menjelaskan bahwa Allah mengizinkan orang-orang Mukmin yang diperangi oleh orang-orang musyrik untuk balas memerangi, disebabkan oleh telah sekian lamanya mereka bersabar dalam menghadapi kezaliman.
Dari sisi hukum, Quraish Shihab juga menjelaskan bawah ayat ini telah mendahului hukum positif dalam masalah hukum membela diri. Intinya, bahwa membela diri adalah hal yang dibolehkan, apa pun akibatnya.[2]
Setelah turunnya izin dari Allah swt, dan sebagai bentuk pembelaan diri, Rasulullah kemudian membentuk satuan-satuan unit militer yang disebut dengan Sariyah, yaitu unit militer yang ditugaskan untuk melancarkan ekspedisi penyerangan namun tidak dipimpin oleh Rasulullah saw secara langsung.[3]
Sariyah pertama yang dibentuk dipimpin oleh Hamzah. Rasulullah mengutusnya bersama 30 orang Muhajirin untuk menghadang kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Abu Jahal dengan 300 orang rombongan di dalamnya.[4]
Untuk lebih detailnya mengenai Sariyah pertama ini, mari kita simak penuturan dari Ibnu Sa’d dalam Kitab al-Tabaqat al-Kabir:
Rasulullah saw tiba di al-Madinah pada hari Senin, 12 Rabiulawal (24 September 622 M),[5] setelah hijrah dari Makkah. Pendapat umum cenderung menyepakati (tanggal) ini, tetapi beberapa orang meriwayatkan bahwa beliau tiba pada 2 Rabiulawal (14 September 622 M).
Rasulullah saw mempersiapkan bendera pertama untuk Hamzah bin Abdul Muthalib pada bulan Ramadan (Maret-April, 623 M) di bulan ketujuh setelah hijrah Rasulullah saw.[6]
Ini adalah bendera putih yang dibawa oleh Abd Marthad Kannaz bin al-Husain al-Ghanawi, sekutu Hamzah bin Abdul Muthalib. Rasulullah saw mengirimnya (Hamzah) dengan 30 orang Muhajirin.
Beberapa (perawi) berkata: Separuh dari mereka adalah orang Muhajirin dan separuh lainnya adalah orang Ansar. Tapi menurut kesepakatan pendapat umum, semuanya adalah orang Muhajirin.
Rasulullah saw tidak mengirim orang Ansar mana pun dalam ekspedisi sampai mereka berperang di bawah kepemimpinannya di Badar. Itu karena mereka sebelumnya telah menetapkan syarat untuk membela beliau (hanya) di kota mereka, dan itu adalah versi yang disetujui bersama kami.
Hamzah berangkat untuk menghadang kafilah orang Quraisy yang datang dari Suriah dan sedang dalam perjalanan ke Makkah.[7] Abu Jahal bin Hisyam memiliki sebuah rombongan yang terdiri dari 300 orang. Mereka mencapai Saif-al-Bahr, yaitu pantai di sisi al-Iish.[8]
Mereka berhadapan satu sama lain dan mengatur diri mereka sendiri untuk berperang, tetapi Majdi bin Amr al-Juhni yang bersekutu dengan kedua belah pihak menghampiri dari sisi ini ke sisi itu dan dari sisi itu ke ini (untuk bernegosiasi), dan akhirnya menang atas mereka (maksudnya berhasil membujuk kedua belah pihak-pen), dan mereka tidak jadi berperang.
Abu Jahal kemudian melanjutkan perjalanan dengan teman-teman dan kafilahnya ke Makkah, dan Hamzah kembali ke al-Madinah dengan teman-temannya.[9] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 258-260.
[2] Tafsirq, “Surat Al-Hajj Ayat 39”, dari laman https://tafsirq.com/22-al-hajj/ayat-39#tafsir-quraish-shihab, diakses 13 Desember 2020.
[3] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, diterjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 201.
[4] Syaikh Mahmud al-Mishri, Ashabur Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tim Editor Pustaka Ibnu Katsir dengan judul Sahabat-Sahabat Rasulullah: Jilid 2 (Pustaka Ibnu Katsir, 2010), hlm 279.
[5] Haroen Soebratie (penerjemah Kitab al-Tabaqat al-Kabir) menjelaskan: Menurut perhitungan Mahler, tanggal hijrah bertepatan dengan 24 September 622 M. Sementara itu, Sir William Muir mengatakan bahwa hijrah beretepatan dengan 28 Juni 622 M, lihat The Life of Muhammad (Edinburgh, 1912) hlm 168. Dia telah mengikuti perhitungan M. Causin.
[6] Tabari, (Cairo, 1939), Vol. II, hlm 120).
[7] Haroen Soebratie menjelaskan: Untuk pembahasan yang lebih terperinci tentang keadaan di mana ekspedisi ini dikirim, lihat Sirat al-Nabi (Nami Press) karya Allamah Shibli, hlm 416. Dia telah menjelaskan dengan terang bahwa tindakan Nabi adalah bentuk pertahanan.
[8] Menurut Syaikh Mahmud al-Mishri, ini adalah sebuah tempat di antara Yanbu dan Marwah dari arah Laut Merah.
[9] Lihat Ibnu Sa’d, Kitab al-Tabaqat al-Kabir: Volume 2 Parts 1.1.1, diterjemahkan oleh Haroen Soebratie, dapat diakses di https://archive.org/details/TabaqatIbnSaadVol12English.