Mozaik Peradaban Islam

Hamzah bin Abdul Muthalib (7): Hijrah

in Tokoh

Last updated on December 13th, 2020 02:11 pm

Meski sudah hijrah, kehidupan Muslim di Madinah belum aman, kaum Quraisy menulis surat, “Biarlah kami mendatangi tempat kalian dengan mengerahkan semua orang kami, hingga kami menghabisi kalian dan menawan wanita-wanita kalian.”

Foto ilustrasi: J. F. Horrabin

Kaum Quraisy, selain mempersekusi secara fisik kepada kaum Muslim, meningkatkan tekanannya melalui boikot Ekonomi.  Sebuah dokumen dibuat oleh mereka yang isinya berupa larangan untuk menikahi anggota keluarga Bani Hasyim (asal kabilah Nabi Muhammad saw) dan larangan berjual beli apa pun dengan mereka.

Pemboikotan ini akan dicabut jika Bani Hasyim berhasil melarang Muhammad mengaku dirinya sebagai Nabi, atau Muhammad sendiri yang mencabut pengakuan kenabiannya. Dokumen tersebut dipajang di depan Kabah.[1]

Hingga akhirnya setelah ada peristiwa Baiat Aqabah Kubra, yaitu pernyataan sumpah setia dan perjanjian militer antara orang-orang Yatsrib (nama lama Madinah) dengan Rasulullah saw, perintah hijrah bagi kaum Muslim turun.

Al-Tabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk menuturkan:

Setelah Allah memberikan izin kepada Rasul-Nya untuk berperang dengan menurunkan ayat: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah,” (QS Al-Anfal [8]: 39) dan orang Ansar telah berjanji untuk mendukungnya sesuai dengan ketentuan yang telah aku jelaskan (tentang perlindungan), Rasulullah memerintahkan para sahabatnya dari kalangan Muslim yang bersamanya di Makkah untuk hijrah, pergi ke Madinah, dan bergabung dengan saudara-saudara mereka, orang-orang Ansar.

Beliau berkata kepada mereka, “Allah telah memberikan untuk kalian saudara-saudara dan tempat tinggal di mana kalian akan selamat.”

Mereka pergi dengan berkelompok-kelompok. Rasulullah tetap tinggal di Makkah menunggu Tuhannya memberikan izin untuk meninggalkan Makkah dan pergi ke Madinah.[2]

Kaum Muslimin Makkah kemudian melakukan hijrah secara bertahap. Dan dua bulan setelah peristiwa Baiat Aqabah Kubra, tak seorang pun dari orang-orang Mukmin yang tersisa di Makkah, kecuali Rasulullah saw, Abu Bakar, dan Ali, yang memang diperintahkan untuk tinggal di Makkah.

Ada juga beberapa orang lainnya yang ditahan secara paksa oleh orang-orang musyrik di Makkah, atau tidak mampu untuk melarikan diri. Rasulullah bersama Abu Bakar dan Ali, telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk hijrah, namun mereka masih menunggu izin dari Allah.[3]

Hamzah bin Abdul Muthalib sendiri, termasuk angkatan pertama yang berangkat hijrah. Dan setelah Rasulullah saw juga tiba di Madinah, beliau mempersaudarakannya dengan Zaid bin Haritsah.

Kehidupan Hamzah benar-benar berubah 180 derajat. Bukan saja kehidupan Jahiliyah seperti permainan-permainan dan nyanyian-nyayian yang dia tinggalkan, bahkan kegemaran yang sesungguhnya juga tidak terlarang dalam Islam, yakni berburu, juga dia tinggalkan.

Hidup Hamzah kini sepenuhnya dia dedikasikan untuk membela Rasul-Nya, di mana dia rela untuk mengorbankan baik harta mau pun jiwanya demi agama Allah Swt.[4]

Meski demikian, kehidupan Muslim setelah hijrah ke Madinah, tidak benar-benar bebas dari ancaman Quraisy, bahkan tensi ketegangan terus meningkat. Orang-orang Quraisy semakin bertambah marah ketika Muslim hijrah dan kemudian mendapatkan tempat yang aman untuk sementara di Madinah.

Oleh karena itu mereka menulis surat kepada Abdullah bin Ubay bin Saul, yang pada saat itu dia masih musyrik dan hampir saja dia diangkat menjadi raja di Madinah jika saja Rasulullah saw dan kaum Muslim tidak hijrah ke sana.

Isi surat tersebut berbunyi, “Sesungguhnya kalian telah menampung orang di antara kami. Demi Allah, kami benar-benar akan memerangi atau kalian mengusir mereka, atau biarlah kami mendatangi tempat kalian dengan mengerahkan semua orang kami, hingga kami menghabisi kalian dan menawan wanita-wanita kalian.” Surat ini bukan ancaman kosong, melainkan benar-benar nyata.

Abdullah bin Ubay yang memang mendendam kepada Rasulullah saw, karena menganggap posisinya telah direbut oleh Rasulullah saw, kemudian merespons surat tersebut dengan mengumpulkan teman-temannya.

Abdurrahman bin Ka’b meriwayatkan:

Tatkala surat itu sudah dibaca Abdullah bin Ubay beserta rekan-rekannya dari kalangan penyembah berhala, maka mereka berkumpul untuk memerangi Rasulullah saw.

Tetapi beliau keburu mendengar masalah ini, lalu pergi menemuinya, seraya bersabda, “Rupanya Quraisy telah mengancam kalian. Sesungguhnya mereka ingin memperdayai kalian, lebih banyak daripada tipu daya yang hendak kalian timpakan kepada diri kalian sendiri. Kalian sendirilah yang menghendaki untuk membunuhi anak-anak dan saudara kalian.”

Setelah mendengarnya mereka pun bubar.[5]

Abdullah bin Ubay mengurungkan niatnya untuk memerangi Rasulullah saw dan kaum Muslim pada saat itu karena melihat nyali teman-temannya yang ciut. Namun dia tetap menjaga kontaknya dengan orang-orang Quraisy di Makkah.

Untuk sementara ini dia terus melancarkan aksinya secara diam-diam dengan terus memicu gejolak antara kaum Muslim dan musyrik. Untuk keperluan ini dia juga merangkul orang-orang Yahudi. Tetapi dengan bijaksana Rasulullah saw selalu mampu meredam gejolak itu dari waktu ke waktu.[6]

Rasulullah saw dan kaum Muslim di Madinah sepenuhnya sadar, bahwa mereka belum benar-benar aman dan kaum Quraisy cepat atau lambat akan datang. Sebuah peristiwa besar akan segera terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Ibnu Ishaq, Sirah Rasul Allah (edisi Wustenfeld), hlm 375, dalam Martin Lings, Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, (Serambi, 2010), hal 137-138.

[2] Al-Tabari, Op.Cit., hlm 139.

[3] Zaad al-Maad (Vol 2, hlm 52), dalam Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 215.

[4] Syaikh Mahmud al-Mishri, Ashabur Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tim Editor Pustaka Ibnu Katsir dengan judul Sahabat-Sahabat Rasulullah: Jilid 2 (Pustaka Ibnu Katsir, 2010), hlm 288.

[5] HR Abu Dawud, dalam Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Op.Cit., hlm 257-258.

[6] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Ibid., hlm 258.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*