Mozaik Peradaban Islam

Ideologisasi Sejarah Islam (2)

in Studi Islam

 

Oleh Mi’raj Dodi Kurniawan[1]

“Mempelajari sejarah bukan hanya karena diperintahkan di dalam al-Qur’an dan bermanfaat, melainkan juga resisten karena bernuansa ideologis. Narasi yang dibangun sejarawan bukan hanya berisi fakta, melainkan juga penafsiran yang tidak netral dari kepentingan.”

–O–

Photo ilustrasi: islamicity

Manfaat Sejarah

Secara umum, terdapat empat manfaat mengadakan studi sejarah. Kesatu, rekreatif, yaitu studi sejarah sebagai hiburan atau mengajak para pembelajarnya untuk rekreasi, karena – dengan demikian – ia akan bertamasya ke dalam berbagai ruang, waktu, dan kisah di masa silam. Kedua, inspiratif, yaitu studi sejarah sebagai inspirasi (ilham atau ide) bagi kehidupan, karena banyak hal dapat diambil hikmahnya dari kehidupan orang-orang di masa lampau.

Ketiga, instruktif, yaitu studi sejarah sebagai pelajaran keterampilan atau pengetahuan generasi terdahulu, karena dengan menelusuri sejarah dapat menyingkap keterampilan atau pengetahuan yang dimiliki generasi terdahulu. Keempat, edukatif, yaitu studi sejarah mendidik pengkajinya, sehingga beroleh kearifan dalam melangkah di masa kini menuju masa depan, sebab – dengan demikian – dapat belajar dari pengalaman orang lain.[2]

Dengan demikian, andai mempelajari sejarah, maka kaum Muslim bukan hanya dapat menarik manfaat inspiratif dan edukatif – sebagaimana diterangkan Al-Qur’an, tetapi juga dapat memetik manfaat rekreatif dan instruktif – sebagaimana dijelaskan oleh Louis Gottschalk tadi.

 

Respon Sejarawan Muslim

Akhirnya, menarik untuk dicermati sikap para sejarawan Muslim atas sejarah Islam itu sendiri. Menarik, karena dihadapkan pada kedigdayaan Barat melalui modernisme atas dunia Islam dan munculnya karya-karya historiografi para sejarawan sekaligus orientalis Barat atau non-muslim yang tendensius, tampak bahwa respon sejarawan muslim terbagi menjadi tiga.

Kesatu, sikap apologetik. Para sejarawan muslim yang bersikap seperti ini membela kelebihan peradaban muslim klasik sebagai capaian sempurna. Namun, dengan rasa kememadaian diri (self sufficiency) di dalamnya, sikap ini terkesan retrospektif, reaksioner, idealistik, dan normatif, sehingga secara intelektual mendorong pemecahan soal Muslim kekinian ke arah retrospektif (ke masa lalu) dan menimbulkan problem abstrak, karena acap kurang relevan dengan realitas sekarang.[3]

Kedua, sikap identifikatif. Para sejarawan Muslim yang bersikap seperti ini menelusuri sejarah Muslim dengan mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi guna merumuskan respon dan identitas Islam di masa modern. Respon ini menjadikan sejarah kaum muslim – terutama klasik – sebagai bahan inspirasi untuk merumuskan respon dan identitas muslim di zaman kontemporer.[4]

Ketiga, sikap afirmatif. Para sejarawan muslim yang bersikap seperti ini melihat sejarah kaum Muslim – terutama klasik – dengan perspektif yang menegaskan kembali kepercayaan kepada Islam sekaligus menguatkan kembali eksistensi masyarakat muslim.[5] Dengan kata lain, jika memandang sejarah Islam klasik, kalangan ini berusaha menegaskan lagi kepercayaannya kepada Islam sekaligus menguatkan lagi eksistensi masyarakat muslim di masa kini.

Dalam takarannya yang ekstrem, sulit dipungkiri bahwa sikap apologetik dan sikap identifikatif dengan sikap afirmatif bukan hanya berbeda, tetapi juga saling menegasikan dan sebagian diantaranya dianggap kurang berdaya guna bagi perbaikan nasib Muslim masa kini dan masa depan. Namun, dalam takarannya yang pas, tiga respons atau sikap tersebut bukan hanya saling melengkapi, namun juga berguna.

Sikap apologetik yang pas bukan hanya pembelaan diri atas berbagai serangan yang tak jarang kurang adil, tetapi juga melahirkan rasa percaya diri. Sikap identifikatif menimbulkan kesadaran historis dan kesadaran merumuskan respon dan identitas muslim kontemporer. Dan sikap afirmatif menegaskan lagi kepercayaan diri muslim kepada Islam dan menguatkan eksistensi masyarakat muslim kontemporer.

 

Ideologisasi

Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa mempelajari sejarah bukan hanya karena diserukan al-Qur’an dan bermanfaat, melainkan juga resisten karena bernuansa ideologis. Sebab, sejarah bukan hanya menelusuri dan menyuguhkan deskripsi peristiwa, tetapi juga di dalamnya terbuka kesempatan bagi para pengkaji dan pemaparnya untuk menyodorkan interpretasi berdasarkan pengetahuan dan kepentingannya.

Lantaran sejarah adalah ilmu mengenai kenyataan di masa lampau, maka tentu saja bukan hanya fakta atau deskripsi, tetapi juga penafsirannya itu sendiri harus dapat dibenarkan menurut teori kebenaran korespondensi. Namun, karena obyeknya sudah lewat dan penafsirannya acap bias keyakinan dan kepentingan, maka alih-alih menguji penafsiran sejarawan, yang lebih mudah dilakukan justru menguji kebenaran fakta-fakta yang disuguhkan sejarawan.

Betapa pun demikian, menguji kebenaran suatu penafsiran bukanlah kemustahilan. Kendati rentan bias keyakinan dan kepentingan sejarawan, tetapi dengan menggunakan teori kebenaran koherensi (paparannya saling menguatkan) dan teori kebenaran korespondensi (sesuai dengan obyek atau fakta), maka keyakinan dan kepentingan sejarawan yang tergambar dalam bentuk penafsiran sejarahnya akan terlihat dan dapat diterima atau ditolak.

Jadi, permasalahan resistensi dan ideologis dalam blantika historiografi sejarah Islam bukan sesuatu yang luar biasa. Sebab, dengan memberikan kesempatan bagi sejarawan untuk menawarkan penafsirannya, maka dengan sendirinya, setiap karya historiografi sejarah Islam memberikan ruang bagi sejarawan itu untuk mengelaborasi pengetahuan dan kepentingannya dalam karya historiografinya tersebut.

Kalau sudah begitu, biarkan saja khalayak membaca, menilai, dan menyaring sendiri setiap karya historiografi sejarah Isalm. Terpenting bagi khalayak adalah mampu membedakan dan menilai fakta yang benar dan penafsiran yang mendekati kebenaran. Selain itu, khalayak juga penting menyadari bahwa narasi sejarah – dalam historiografi – yang dibangun sejarawan bukan hanya berisi fakta, melainkan juga penafsiran yang tidak netral dari kepentingan.

Dengan kata lain, manakala penafsiran sejarah Islam dipublikasikan, maka hal itu sama dengan sejarawan mengadakan ideologisasi (penyebarluasan pandangan). Maka menjadi kian jelas pula bahwa historiografi tidak hanya berguna atau digunakan untuk menyiarkan informasi deskriptif kesejarahan, melainkan juga untuk membangun persepsi atau narasi besar (grand naration) dan karakter (character building) khalayak.

Persoalannya, apakah pandangan tersebut benar, baik, dan indah serta didukung fakta-fakta sejarah? Untuk menjawab pertanyaan ini bukan hanya membutuhkan penguasaan atas pandangan dunia yang teruji kekokohannya, melainkan juga membutuhkan penguasaan atas metode penelitian sejarah, setidak-setidaknya sejak tahap heuristik (pencarian sumber) hingga kritik internal dan eksternal.

Dengan demikian, sebagai wujud syi’ar Islam, maka kaum Muslim terutama sejarawan Muslim harus mengadakan ideologisasi sejarah Islam. Bukan pembelaan membabi buta apalagi menyebarluaskan kekeliruan, melainkan ideologisasi tersebut berlandaskan pada kebenaran sejarah di atas kepentingan sejarawan. Ideologisasi sejarah Islam mestilah diperkuat dengan fakta dan metodologi sejarah serta pemikiran yang jernih.

Dan di antara banyak topik yang penting untuk dijadikan ideologisasi, sejarah Islam klasik terutama sejarah Nabi dan para sahabatnya adalah yang terpenting. Sebab, Nabi bukan saja pembawa Risalah Islam, tetapi juga dalam dunia Islam, sejarah Nabi dan para sahabatnya, merupakan yang paling ideal. Jadi, sejarah Nabi dan para sahabatnya bukan hanya harus diselamatkan dari kekeliruan dan fitnah, tetapi juga harus diutamakan untuk diideologisasikan.

Selesai.

Sebelumnya:

Ideologisasi Sejarah Islam (1)

Catatan Kaki:

[1] Ketua Bidang Litbang KAHMI Cianjur, Sejarawan UPI Bandung, dan Penulis essay-essay tentang Keislaman di berbagai media Nasional.

[2] Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI-Press.

[3]     Azyumardi Azra. 1996. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Pos-modernisme. Jakarta: Paramadina. Hlm iv-vi.

[4]     Ibid.

[5]     Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*