Mozaik Peradaban Islam

Manfaat dan Keajaiban Menangis bagi Manusia (5)

in Studi Islam

“Jika benar tangisan dan air mata merupakan tanda kelemahan, lalu mengapa hal itu menjadi ekspresi wajib bagi para nabi dan orang-orang suci saat dibacakan ayat-ayat Allah atas mereka?”

Ilustrasi Foto: themuslimvibe.com

Pada saat kebiasaan masyarakat umum lebih cenderung mengkritik, memandang rendah dan mengejek orang yang menangis karena dianggap “kurangnya kekuatan” yang bersangkutan, Islam justru mengangkat orang yang mampu menangis ke status tertinggi. Kalaupun ada, salah satu tanda puncak seorang manusia adalah kemampuannya untuk menangis. Inilah sebabnya Nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya air mata adalah rahmat yang Allah tempatkan pada diri hamba-hamba-Nya”.

Menertawakan orang yang menangis, oleh karena itu, adalah mengejek salah satu berkat Tuhan. Karena itu, Imam Ali bin Abi Thalib dalam wasiat terakhirnya menjelaskan bahwa tidak adanya air mata merupakan “tanda kemalangan”. Ketika seseorang memeriksa makna kebijaksanaan ini, jelaslah bahwa kita harus bersyukur kepada Tuhan bahwa kita memilikinya di dalam diri kita untuk benar-benar meneteskan air mata. Jika kita kekurangan kapasitas ini, kita harus memeriksa kembali diri kita sendiri untuk melihat mengapa Tuhan tidak memberikan kita nikmat ini. Menangis jelas merupakan atribut positif sebagai lawan dari atribut negatif.

Dari sudut pandang spiritual dan etika, banyak yang berpendapat bahwa akar penyebab sebagian besar tindakan salah adalah karena hati yang keras, sesuatu yang banyak diajarkan oleh literatur Islam. Menderita penyakit spiritual ini membunuh belas kasih manusia sehingga dia tidak akan memiliki simpati atau kemampuan untuk mendengarkan kompas moral bawaan seseorang. Dengan kata lain, kesombongan menyebabkan hati yang keras tidak mampu meneteskan air mata.

Alquran menyatakan, “Berimanlah kamu kepadanya (Alquran) atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Alquran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi’. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (QS. 17:107-109)

Rasulullah bersabda tentang ayat ini: “Barang siapa yang diberi ilmu yang tidak membuatnya menangis, maka dia tidak diberi ilmu yang bermanfaat baginya. Siapa pun yang bisa menangis, biarkan dia menangis, dan siapa pun yang tidak bisa, isi hatinya dengan kesedihan dan berpura-puralah menangis. Sesungguhnya hati yang keras itu jauh dari Allah, tetapi kamu tidak merasakannya.”

Sabda Rasulullah ini menyoroti bahwa salah satu tanda seseorang yang memiliki hati yang lembut adalah kemampuan untuk menangis ketika mereka menerima kebijaksanaan dan kebenaran yang mencerahkan.

Ada beberapa kesempatan ketika manusia membaca sesuatu atau berbicara dengan seseorang yang menyebabkan matanya berair. Ketika ini terjadi, mengapa kita menganggap reaksi seperti itu aneh?

Alquran dan Nabi Muhammad dengan jelas memberi tahu kita bahwa menangis adalah tindakan yang baik ketika menerima pengetahuan. Ini adalah tanda kerendahan hati bahwa Anda mampu meneteskan air mata di hadapan kebenaran spiritual.

Lebih lanjut, kekerasan hati juga terlihat dalam masalah pertobatan; seseorang dalam keadaan ini tidak akan memiliki kapasitas untuk berbicara dengan Tuhan dan meneteskan air mata di hadapan-Nya karena mereka telah kehilangan kualitas cinta dan kasih sayang timbal balik. Sekali lagi, kesombongan sudah pasti tidak akan membiarkan air mata mengalir.

Dalam etika berbicara dengan Allah, para kekasih Allah telah menunjukkan bahwa menangis adalah salah satu ciri umum mereka, karena mereka merendahkan diri dan menyadari kepada siapa mereka berbicara. Sebaliknya, hati yang sombong tidak bisa melakukan ini.[1]

Tangisan dan Air Mata: Sarana Penting Meraih Cinta Hakiki

Seseorang yang benar-benar rindu untuk sampai pada cinta sejati (cinta yang tak akan luntur dan sirna), maka ia harus terbang dengan dua sayap yang dimiliki­nya (akal dan hati). Bekal makrifat yang cukup, akan segera membentangkan sayap akalnya; sedang sayap hatinya baru akan terbentang bila dirangsang oleh tangisan dan air mata.

Tangisan dan air mata telah ter­bukti mampu men­cipt­akan perubahan pada jiwa dan roh manusia; tangisan dan air mata jualah yang akan mengan­tar manusia dari fase pengetahuan dan makrifat menuju fase syuhud dan penyaksian. Jika seseorang telah mampu menyak­sikan makrifatnya, berarti ia telah sampai pada cinta sejati; dan pada gilirannya cinta sejati itu akan mengantar manusia pada gerbang al-fana’ fillah, sebagai maqam yang paling tinggi dari perjalanan hamba menuju Tuhan­nya.

Hanya bermodalkan ilmu, seorang salik tidak akan mencapai apa-apa, karenanya ia harus melibatkan hati ke dalam makrifatnya; sedang tangisan dan air mata adalah tanda keterlibatan hati dan kalbu. Tidak mungkin seseorang mengaku telah menyaksikan kebesaran, kea­gungan, dan kemuliaan Allah, namun hatinya tidak bergetar dan matanya tidak meneteskan air mata.[2]

Bukan­kah kita telah membaca firman Allah yang menggambar­kan sikap dan ekspresi para nabi, saat diba­cakan atas mereka ayat-ayat Allah, dalam surah Maryam ayat 58, yang artinya:

Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Isra’il, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan ber­sujud dan menangis. (QS. Maryam: 58)

Ayat di atas adalah dalil yang tak terbantah. Pertanyaannya kemudian adalah: “Jika benar tangisan dan air mata merupakan tanda kelemahan, lalu mengapa hal itu menjadi ekspresi wajib bagi para nabi dan orang-orang suci saat dibacakan ayat-ayat Allah atas mereka?”

Jika mendengar ayat-ayat Allah saja dapat membuat mereka menyungkur dan menangis, maka menyaksikan ayat-ayat-Nya akan membuat mereka semakin tunduk dan menangis tiada henti.

Tangisan dan Air Mata: Tanda dan Media Cinta

Allamah Nashir Makarim Syirazi, salah seorang pemikir, ilmuwan, dan ahli fikih masa kini, dalam meng­analisis akal dan cinta, menyatakan:

“Senantiasa lidah (ucapan dan kata-kata) merupakan media ekspresi akal dan nalar manusia; sedang media ekspresi cinta adalah mata. Saat air mata berlinang dari perasaan (suka-cita atau duka cita) yang mendalam, maka di sana pasti ada cinta; sedang pada saat lidah dengan kepiawaiannya yang memukau, menata rapi sederetan argumentasi rasional, maka akal pasti hadir di sana.

Sebagaimana halnya rangkaian dalil-dalil rasional yang kokoh dapat menjelaskan hubungan erat antara si pembicara dan keyakinan yang diperjuangkannya, maka tangisan dan air mata juga dapat menjadi sebuah psywar (ekspresi kebencian) dalam menentang musuh-musuh keyakinan tersebut.”

Dalam pernyataannya, beliau menjadikan tangisan dan air mata sebagai tanda dan media cinta; jika cinta itu memang ada, maka derita ma’syuq akan terekspresi lewat tetesan-tetesan air mata.

Lebih daripada itu, tangisan dan air mata tidak sekadar menjadi tanda dan media cinta semata, ia juga dapat menjadi faktor terwujudnya cinta.

Tangisan dan air mata merupakan jenis sebab, yang keberadaannya selalu mengiringi akibatnya (cinta), namun seringkali keberadaannya sebagai sebab bagi cinta, kurang diperhatikan dan hanya dianggap sebagai tanda atau bukti saja.

Di sini penulis tidak ingin menyatakan bahwa tangisan dan air mata merupakan satu-satunya sebab bagi keber­adaan cinta. Meskipun ia mempunyai andil yang cukup besar bagi terwujudnya cinta; karenanya, di samping faktor makrifat, tangisan dan air mata juga harus ada demi tercapainya tujuan (cinta hakiki).

Memang benar, kelembutan hati dan perubahan luar biasa pada kondisi psikologis manusia yang diciptakan oleh tangisan dan air mata, akan memegang peranan yang amat penting dalam tumbuhnya cinta yang “penuh” dan ‘isyq yang sempurna; baik kepada Ma’syuq hakiki (Allah) maupun para kekasih-Nya. (EH)

Bersambung…

Catatan kaki:


[1] “The Philosophy of Crying in Islamic Thought”, dari laman https://themuslimvibe.com/faith-islam/in-practice/the-philosophy-of-crying-in-islamic-thought, diakses pada 24 November 2021

[2] Mukjizat Air Mata (Penerbit Misbah, 2004)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*