Mozaik Peradaban Islam

Kaum Quraisy (9)

in Studi Islam

Last updated on May 10th, 2019 12:42 pm

Ketika itu, sistem pengelolaan Kota Makkah berada di tangan sebuah oligarki yang terdiri dari anggota terkemuka anak keturunan Qushay bin Kilab. Dengan banyaknya perubahan yang terjadi baik di dalam maupun di luar Kota Makkah, Abdul Muthalib merekonstruksi sistem pemerintahan tersebut agar kompatibel dengan kebutuhan zamannya.

Gambar ilustrasi. Sumber:
atv.com.tr

Selain sumur Zamzam, hal lain yang membuat nilai strategis dan ekonomi Kota Makkah meningkat signifikan, karena pada era yang sama Persia dan Bizantium Romawi sedang sengit melakukan peperangan. Kedua kekuatan tersebut sudah berhasil merentangkan sayap kekuasaannya hingga sedemikian rupa. Romawi yang berada di utara sudah berhasil menguasai Eropa, Laut Mediterania, sebagian Afrika, Asia Kecil, hingga ke sekitar wilayah Jazirah Arabia. Sedang Persia, sudah juga menguasai hampir seluruh wilayah selatan. Termasuk di antaranya India, Asia Tengah, Persia, Yaman, hingga ke Mesir dan Afrika.[1]

Situasi persaingan yang demikian sengit di antara dua kekuatan adidaya dunia itu, tidak memungkinkan salah satunya menjadi penguasa tunggal yang memonopoli sistem perdagangan dunia. Kondisi inilah yang kemudian membuat Makkah – yang secara geo-strategis berada di tengah – menjadi satu-satunya monopolis dalam jalur lalu lintas perdagangan yang datang dari Utara ke Selatan, ataupun sebaliknya.[2] Maka dalam waktu singkat, orang-orang Quraisy menjadi konglomerat berkelas dunia. Dan Makkah menjadi megapolitan, yang merupakan tempat berkumpulnya semua kapitalis global.

Abdul Muthalib agaknya memahami situasi yang sedang berkembang ini. Dia segera merekonstruksi sistem pemerintahan di Mekkah agar kompatibel untuk kebutuhan zamannya. Ketika itu, pemerintahan kota Mekkah berada di tangan sebuah oligarki yang terdiri dari anggota terkemuka anak keturunan Qushay bin Kilab. Setiap keluarga merasa berhak atas pengelolaan kota. Untuk itu, Abdul Muthalib membentuk badan pemerintahan yang diisi oleh 10 orang perwakilan yang disebut Sharif. Kesepuluh orang itu akan menduduki tempat tertinggi dalam negara dan memegang sebuah jabatan yang akan mereka warisi secara turun temurun.  Kesepuluh jabatan itu antara lain:[3]

  1. Hijaba, pemangku Kabah, jabatan keagamaan yang amat penting. Jabatan ini diberikan kepada keluarga Abd Al-Dar, dan ketika penduduk Makkah masuk Islam, jabatan itu dipegang oleh Utsman bin Thalha.
  • Sikaya, atau pengawas sumur suci Zamzam dan semua mata air yang diperuntukkan bagi jamaah haji. Jabatan ini dipegang oleh keluarga Hasyim. Ketika Makkah ditaklukkan, jabatan ini dipegang oleh Abbas, paman Muhammad SAW.
  • Diyat, kekuasaan kehakiman di bidang perdata maupun pidana. Posisi ini dipegang oleh keluarga Taym bin Murra Dan. Ketika masa Islam, jabatan ini dipegang oleh Abdullah bin Kuhafa, yang dipanggil Abu Bakr.
  • Sifarah, atau kedutaan. Orang yang memegang jabatan ini adalah duta besar yang memiliki kekuasaan penuh dari masyarakat Makkah untuk mewakili mereka dalam melakukan musyawarah, perundingan dan perjanjian dengan suku-suku lain di sekitar Makkah dan duta-duta besar dari semua bangsa di dunia. Pemegang kedudukan ini juga adalah orang yang akan menyelesaikan semua urusan bila terjadi sengketa atau masalah dengan orang asing yang datang ke Makkah. Menjelang datangnya Islam, jabatan ini dipegang oleh Umar Bin Khattab.
  • Liwa, atau penjaga panji-panji peperangan. Kepala panji-panji itu secara otomatis menjabat sebagai panglima perang angkatan bersenjata Makkah. Posisi ini dipegang oleh keluarga Umayyah, dan sosok yang menjadi pemanggu jabatan ini Abu Sufyan bin Harb. Kelak dengan jabatannya ini, Abu Sufyan memobilisasi kaum kafir Makkah untuk melawan dakwah Nabi Muhammad Saw.
  • Rifada, yang bertugas memungut pajak untuk diberikan kepada fakir miskin. Jabatan ini sudah ada sejak zaman Qushay bin Kilab. Uang hasil pajak ini selain digunakan untuk merawat kaum duafah di Kota Makkah, juga digunakan untuk melayani kebutuhan para peziarah dari luar Makkah. Jabatan ini dipegang oleh Abdul Muthalib. Setelah itu, jabatan ini meralih ke Abu Thalib, dan setelah Islam menaklukkan Makkah, dipegang oleh Harist bin Amr.
  • Nadwa, ketua badan legislatif. Pemegang jabatan ini merupakan penasehat utama Negara. Berdasarkan nasehat darinyalah semua keputusan publik ditetapkan. Pada masa Islam, jabatan ini dipegang oleh Asad, dari keluarga Abdul Uzza bin Qushay.
  • Khaimmah, atau pengurus Rumah Majelis (Darun Nadwah). Kedudukan ini memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk memanggil semua anggota majelis tinggi untuk bermusyawarah, termasuk juga memanggil pasukan militer. Menjelang datangnya Islam, jabatan ini dipegang oleh Khalid bin Walid dari keluarga Yakhzum bin Marra.
  • Khazina, atau pengurus keuangan negara. Jabatan ini dipegang oleh Harist bin Kais dari keluarga Hasan bin Ka’ab. 
  • Azlam, yang tugasnya mengurus panah dewa. Ini semacam jabatan spiritual tertinggi di kota ini. Pemangku jabatan ini adalah orang yang dipercaya mengerti kehendak-kehendak para dewa. Panah-panah yang dimaksud adalah untuk mengundi satu keputusan, yang hasilnya akan dianggap sebagai keputusan dewa dewi. Jabatan ini dipegang oleh Safwan, saudara Abu Sufyan.

Tapi menurut Syed Ameer Ali, meski jabatan-jabatan ini sudah didistribusikan kepada setiap klan, kewibawaan Abdul Muthalib tidak terusik sedikitpun, dengan putra-putranya banyak dan gagah perkasa, pengaruhnya nyaris tak tertandingi sebagai satu-satunya pemimpin di kota ini. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’l-muluk), VOLUME VI, Muhammad at Mecca, translated and annotated by W. Montgomery Watt, (New York: University of Edinburgh, State University of New York Press, 1988), hal. xxix

[2] Ibid

[3] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Yogyakarta, Navila, 2008, Hal. 8-9 i

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*