Mozaik Peradaban Islam

Hamzah bin Abdul Muthalib (1): Pemimpin para Syuhada

in Tokoh

Last updated on December 2nd, 2020 02:46 pm

Rasulullah saw bersabda, “Hamzah adalah sayyid (pemimpin) para syuhada di hari Kiamat.”

Foto ilustrasi: aliartisit90/Deviant Art

Abdul Muthalib bin Hasyim, salah seorang tokoh besar di Makkah, pada suatu masa merasa bahwa putra kesayangannya, Abdullah, sudah waktunya untuk memasuki usia pernikahan. Banyak riwayat yang menceritakan bahwa banyak gadis di kota Makkah yang sangat ingin dipersunting oleh Abdullah.

Namun Abdullah bukanlah pemuda biasa, dan tidak pula berasal dari keluarga biasa, dia adalah cucu dari pemimpin Makkah, Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushay. Abdul Muthalib memiliki kualifikasi yang sangat ketat terkait pendamping putra kesayangannya ini.

Abdul Muthalib hanya akan menikahkan Abdullah dengan gadis terbaik dengan nasab terbaik pula. Sosok tersebut ada pada diri Aminah binti Wahab, yang berasal dari Bani Zurah. Aminah adalah putri dari pemimpin Bani Zurah yang bernama Wahab bin Abdul Manaf bin Zuhrah bin Kilab.[1]

Abdul Muthalib kemudian mendatangi rumah Wahab bin Abdul Manaf, untuk mengawinkan Abdullah dengan Aminah yang terkenal akan kesucian dan kesederhanaannya. Dalam majelis itu juga Abdul Muthalib sendiri mengawini Dalah (atau dalam riwayat lain namanya Halah), sepupu Aminah.

Dari hasil dua perkawinan yang bersamaan tersebut, dari pasangan Abdul Muthalib dan Dalah lahirlah seorang bayi yang bernama Hamzah bin Abdul Muthalib. Sementara dari pasangan Abdullah dan Aminah lahirlah bayi mulia, Muhammad bin Abdullah.[2][3]

Kedua anak tersebut kemudian dalam masa pertumbuhannya disusui oleh wanita yang sama, dia adalah Tsuwaibah. Dalam sebuah riwayat dari Barrah binti Abi Tajrah, Ibnu Sa’d dalam Kitab al-Tabaqat al-Kabir menyampaikan:

“Wanita pertama yang menyusui Rasulullah saw adalah Tsuwaibah (yang merawatnya) dengan susu putranya yang dipanggil Masruh, beberapa hari sebelum kedatangan Halimah. Dia telah menyusui Hamzah bin Abdul Muthalib sebelumnya dan Abu Salamah bin Abdul Asad al-Makhzumi setelah Nabi.”[4]

Jika mengacu kepada riwayat di atas, karena Hamzah disusui lebih awal oleh Tsuwaibah, meski dalam riwayat lain banyak digambarkan bahwa Nabi dan Hamzah dibesarkan bersama dan mereka merupakan teman sepermainan semasa kanak-kanak, tapi kemungkinan usia Hamzah sedikit lebih tua dibanding Nabi.

Riwayat lainnya yang menyatakan bahwa Hamzah adalah saudara sepersusuan Nabi disampaikan oleh Abu Mulaikah yang berkata:

“Hamzah bin Abdul Muthalib adalah saudara sepersusuan Rasulullah saw. Seorang wanita Arab telah menyusui keduanya. Hamzah sedang disusui oleh (seorang wanita) dari suku Bani Sa`d bin Bakr dan ibu (susuan) Hamzah telah menyusui Rasulullah suatu hari ketika beliau bersama (diurus) ibu (susuan)-nya, Halimah.”[5]

Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa Hamzah adalah paman sekaligus juga saudara sepersusuan Nabi. Bahkan dalam riwayat lain suatu waktu Rasulullah pernah ditanya mengapa beliau tidak menikahi putri Hamzah yang terkenal akan kecantikannya, beliau lalu menjawab, “Sesungguhnya dia adalah putri dari saudara sepersusuanku, dan tidak tahukah engkau bahwa Allah telah menetapkan perkawinan (seperti ini) haram karena kekerabatan?”[6]

Demikianlah, pada periode selanjutnya dalam pertumbuhan mereka, kedua anak yang usianya berdekatan ini dibesarkan bersama dalam lingkungan kota Makkah. Mereka bermain bersama dan menjadi sahabat karib, serta menempuh jalan kehidupan selangkah demi langkah secara bersama-sama pula.

Hanya saja, ketika usia mereka semakin bertambah besar, mereka menempuh jalannya masing-masing. Hamzah mulai bersaing dengan teman-temannya untuk mendapatkan kelayakan hidup dan merintis jalan untuk memperoleh kedudukan di kalangan pembesar-pembesar kota Makkah dan pemimpin-pemimpin Quraisy.

Sementara itu, Muhammad tetap bertahan di lingkungan cahaya ruhani yang mulai menerangi jalannya menuju ilahi. Muhammad juga tetap mengikuti bisikan hatinya untuk menjauhi kebisingan hidup dan merenung. Beliau sedang mempersiapkan dirinya untuk menyambut dan menerima kebenaran.[7]

Meski kedua anak muda itu telah mengambil arah yang berlainan, tetapi tidak sedetik pun hilang dari ingatan Hamzah tentang kemuliaan sahabat, keponakan, dan saudara sepersusuannya itu. Hamzah masih tetap ingat bahwa Muhammad adalah orang yang bersifat lembut dan berakhlak mulia.

Bahkan lebih dari itu semua, dia mengenal Muhammad sebagai orang yang jujur dan terpercaya, yang mana karena sifatnya ini orang-orang di sekitarnya menjadi mencintai, menghormati, dan memuliakannya.

Berbekal dari ingatannya yang tidak pernah lepas ini, maka suatu waktu nanti Hamzah akan memiliki gelar yang melekat padanya hingga akhir zaman, yaitu sebagai Asad Alllah (Singa Allah) dan Sayyidusy Syuhada (Pemimpin para Syuhada [orang-orang yang wafat di jalan Allah]).

Rasulullah saw bersabda, “Hamzah adalah sayyid (pemimpin) para syuhada di hari Kiamat.”[8] (PH)

Bersambung ke:

Catatan kaki:


[1] Shah Najeebabadi, The History Of Islam: Volume One, (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm 92.

[2] Ja’far Subhani, Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm 95.

[3] Lihat Ibnu Sa’d, Kitab al-Tabaqat al-Kabir: Volume I Parts I, diterjemahkan oleh Haroen Soebratie, dapat diakses di https://archive.org/details/TabaqatIbnSaadVol12English.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, diterjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 196.

[8] Syaikh Mahmud al-Mishri, Ashabur Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tim Editor Pustaka Ibnu Katsir dengan judul Sahabat-Sahabat Rasulullah: Jilid 2 (Pustaka Ibnu Katsir, 2010), hlm 273-274.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*