Mozaik Peradaban Islam

Hamzah bin Abdul Muthalib (2): Saat Nabi Berdakwah Secara Terbuka

in Tokoh

Last updated on December 3rd, 2020 01:41 pm

Mendengar perkataan Quraisy tentang keponakannya, Hamzah hanya tertawa dan menuduh mereka terlalu berlebihan. Abu Jahal lalu mengingatkan agar jangan menganggap enteng Muhammad, sesungguhnya apa yang diajarkannya adalah bahaya nyata.

Lukisan tentang Makkah, diperkirakan dari abad ke-9. Pelukis tidak diketahui.

Hamzah bin Abdul Muthalib tumbuh menjadi pria dewasa yang gagah perkasa. Dia dikenal sebagai orang yang aktif, bertubuh kuat, dan ahli memanah. Hamzah memiliki kegemaran berburu. Dengan kesigapannya dia mampu naik-turun perbukitan dan pergunungan untuk mencari hewan buruan.

Ketika matahari terbenam, dia akan pulang, kembali ke area pemukiman perkotaan untuk berkumpul bersama orang-orang Quraisy lainnya. Begitulah rutinitas keseharian yang dilakukan oleh Hamzah.[1]

Sementara itu Muhammad, pada usianya yang ke-40, diangkat menjadi Nabi oleh Allah Swt. Selama sekitar tiga tahun periode kenabian, Nabi Muhammad saw melaksanakan dakwahnya secara sembunyi-sembunyi, sehingga tidak banyak orang yang mengetahuinya, kecuali keluarga dan orang-orang di lingkungan terdekatnya.

Meski demikian, bukannya para pembesar Quraisy sama sekali tidak mengetahui hal ini, mereka tahu, hanya saja mereka tidak terlalu mengambil peduli. Mereka menganggap Muhammad hanyalah sebatas orang penyendiri yang suka membicarakan tentang Tuhan dan agama.

Mereka menganggap Muhammad hanyalah seperti orang-orang generasi terdahulu semacam Amr bin Nufail, Qus bin Saidah al-Iyyadi, atau Umayyah bin ash-Shallat – orang-orang saleh yang mengasingkan diri dari keramaian, dan meskipun memiliki pengikut jumlahnya pun tak banyak, sehingga tidak menjadi suatu ancaman.[2]

Hingga turunlah wahyu kepada Nabi Muhammad saw yang berbunyi:

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS asy-Syuara [26]: 214)

Ayat ini oleh banyak sejarawan Islam sering diartikan sebagai perintah awal untuk berdakwah secara terang-terangan. Setelah menyampaikan risalah kenabian kepada kabilahnya sendiri, Nabi Muhammad saw kemudian mendapatkan jaminan perlindungan dari Abu Thalib, pamannya.

Nabi mulai gencar melancarkan dakwahnya kepada banyak orang, sampai kemudian turunlah perintah lanjutan dari Allah swt yang berbunyi:

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS al-Hijr [15]: 94)

Nabi Muhammad semakin gencar menyerukan untuk meninggalkan berbagai khurafat dan kemusyrikan yang biasa dilakukan oleh orang-orang Makkah. Apa yang dilakukan oleh Nabi ini kemudian menyulut kemarahan para pembesar Quraisy.[3]

Pagi itu, Hamzah seperti biasa keluar dari rumahnya. Di sisi Kabah dia melihat serombongan pembesar dan bangsawan Quraisy yang sedang berkumpul. Lalu dia pun duduk bersama mereka, mendengarkan apa yang sedang mereka bahas.

Dan untuk pertama kalinya Hamzah merasa gelisah, rupanya mereka sedang membicarakan Muhammad – sahabat, saudara sepersusuan, sekaligus keponakannya itu sendiri. Dari ucapan mereka tersembur amarah, murka, kebencian, dan kedengkian terhadap Muhammad.

Jika sebelumnya mereka tidak peduli, atau pura-pura tidak peduli dan ambil pusing kepada Muhammad, kali ini mereka menampilkan wajah-wajah yang mengerikan, berang, seolah hendak menerkam. Lama Hamzah menyimak pembicaraan mereka, dan dia hanya tertawa lalu menuduh mereka terlalu berlebihan dan salah menafsirkan.

Abu Jahal yang sedang berada di sana menyangkalnya, berkata bahwa sebenarnya Hamzah lah yang paling tahu akan bahaya ajaran yang diserukan oleh Muhammad, hanya saja dia terlalu menganggapnya enteng sehingga membuat Kaum Quraisy menjadi lengah dan lalai.

Abu Jahal melanjutkan, dia berkata bahwa jika didiamkan, maka akan datang suatu masa ketika semuanya sudah terlambat dan bahaya yang ditimbulkan oleh Muhammad menjadi semakin nyata.

Demikianlah mereka terus melanjutkan pembicaraan dalam suasana hiruk pikuk, beberapa bahkan sampai menyerukan ancaman kepada Muhammad. Sementara itu Hamzah tetap di sana, terkadang dia tertawa, namun kadang juga dia menunjukkan amarah atas perkataan mereka, karena bagaimanapun Muhammad adalah saudaranya.

Dan ketika pertemuan itu usai, mereka bubar dan masing-masing mengurus urusan mereka sendiri. Kepala Hamzah pun dipenuhi oleh pikiran dan perasaan baru. Dia terus memikirkan urusan keponakannya itu dan mempertimbangkan kembali baik dan buruknya.

Hamzah tidak pernah lupa akan sosok keponakannya itu. Dia mengenal dengan baik kebesaran dan kesempurnaan Muhammad. Dia tahu sebaik-baiknya tentang kepribadian dan akhlaknya.

Jarang diketahui, meski orang-orang mengenal Hamzah sebagai sosok yang perkasa dan tangguh secara fisik, namun sesungguhnya dia juga adalah seorang pemikir yang cerdas. Dia juga dikaruniai ketajaman akal dan kemauan yang kuat.

Untuk sementara ini Hamzah hanya berusaha untuk merenungkannya saja terlebih dahulu tentang urusan agama baru Muhammad ini tanpa berbuat sesuatu yang lebih jauh. Satu yang tetap dia pegang, dia mengenal Muhammad sebagai sosok yang jujur dan dapat dipercaya. Itu saja.[4] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Syaikh Mahmud al-Mishri, Ashabur Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tim Editor Pustaka Ibnu Katsir dengan judul Sahabat-Sahabat Rasulullah: Jilid 2 (Pustaka Ibnu Katsir, 2010), hlm 274.

[2] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 103-106.

[3] Ibid., hlm 107-110.

[4] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, diterjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 194-196.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*