Dinasti Abbasiyah (62): Abdullah Al-Makmun (11)

in Sejarah

Last updated on July 1st, 2019 06:07 am

Pada tahun 211 H, Al-Makmun mendeklarasikan secara terbuka bahwa manusia pilihan mulia setelah Rasululllah Saw adalah Ali bin Abi Thalib. Pada tahun 212 H, dia mengatakan bahwa Alquran adalah mahluk juga. Pada tahun 215 H, dia menikahkan putrinya yang bernama Ummu Fadl dengan salah satu tokoh terkemuka keluarga Ali bin Abi Thalib yang bernama Muhammad bin Ali Ridha.


Gambar ilustrasi. Sumber: pictorem.com


Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Al-Makmun dikenal dekat dengan kalangan Ahlul Bait. Dia sampai mengangkat Ali Ridha bin Musa Al-Kazhim sebagai putra mahkota menggantikan dirinya. Al-Makmun juga memerintahkan seluruh rakyat dan penjabatnya agar menggunakan simbol-simbol pendukung Ahlul Bait, yaitu warna hijau. Dan mencopot warna hitam yang merupakan simbol Bani Abbas. Tapi karena Ali Ridha wafat, maka Al-Makmun kembali mengenakan warna hitam dan menyatakan kesetiaannya pada trah Abbasiyah.

Tapi di tahun 211 H, Al-Makmun mengumumkan bahwa dia berlepas diri dari siapapun yang mengatakan bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan adalah orang baik. Dia juga menyatakan secara terbuka bahwa manusia pilihan mulia setelah Rasululllah Saw adalah Ali bin Abi Thalib.[1] Ketika itu, statement ini tidak terlalu mendapat reaksi dari banyak pihak. Karena bagaimanapun, para pendukung Bani Abbas sebagian besarnya memang adalah pendukung Ahlul Bait dan menjadikan Bani Umayyah sebagai musuh.

Selain sangat mencintai ilmu, Al-Makmun juga dikenal sebagai filosof. Sebelumnya, tidak sedikit pendapat-pendapatnya yang menuai kontroversi dan nyaris menimbulkan finah di tengah masyarakat. Pada tahun 212 H, Al-Makmun kembali membuat kontroversi. Dia mengatakan secara terbuka bahwa Alquran adalah mahluk juga; dan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dari Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Akibat statemen ini,
mereka yang tidak setuju beraksi cukup keras, sehingga sebagian masyarakat merasa gusar. Melihat situasi tersebut, Al-Makmun terpaksa menghentikan pernyataan-pernyataan kontroversialnya.[2]

Pada tahun 213 H, Al-Makmun menugaskan adiknya, Abu Ishaq (Al-Muktasim) sebagai gubernur Suriah dan Mesir. Kedua wilayah ini adalah ujung perbatasan kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Barat. Suriah, berbatasan langsung dengan Bizantium, sedang Mesir berbatasan dengan dan kesultanan Islam lainnya di Afrika utara. Abu Ishaq yang sudah kadung percaya pada kesetiaan orang-orang Turki pada waktu menaklukkan perlawanan Khawarij, menggunakan kembali jasa orang-orang Turki dalam pemerintahannya di kedua wilayah ini.[3] Di tahun yang sama, Al-Makmun menunjuk putranya yang bernama Abbas bin Al-Makmun sebagai gubernur wilayah Al-Jazirah.[4] 

Pada tahun 215 H, Al-Makmun berangkat memimpin ekspedisi militer untuk menaklukkan Bizantium. Latar belakang peristiwa yang mendorong terjadinya ekspedisi ini cukup panjang. Alkisah, pada awal pemerintahan Al-Makmun, terjadi sebuah pemberontakan di wilayah Azarbaijan yang dilakukan oleh sosok bernama Zuaraiq, gubernur Azarbaijan yang ditunjuk pada era Harun Al-Rasyid. Ketika memasuki era pemerintahan Al-Makmun, Zuraiq – yang bernama asli Ali bin Sadqah – menyatakan kemerdekaan wilayah Azarbaijan dari Dinasti Abbasiyah. Dia berhasil menggalang dukungan dari 40.000 pasukan, dan berhasil berkali-kali menghalau serangan dari tentara Abbasiyah yang dikirim Al-Makmun.[5]

Di waktu yang hampir bersamaan dengan lahirnya pemberongakan Zuraiq, lahir sebuah agama baru muncul di Azarbaijan. Agama baru ini dikenal intoleran. Mereka melakukan pembunuhan dan penganiayaan terhadap kaum Muslimin, Kristen, dan Yahudi di wilayah tersebut. Pada tahun 211 H, muncul pemimpin baru dari agama ini yang bernama Babak Khurmi. Dia berhasil meraih dukungan luas dari masyarakat, khususnya bekas penganut agama Zoroaster. Babak membentuk aliansi strategis dengan Zuraiq. Mereka berhasil mengusir gubernur Azarbaijan dan mendirikan kekuatan di sana.[6]

Lambat laun, kekuatan Babak dan  Zuraiq kian bertambah. Satu persatu ekspedisi militer yang dikirim Al-Makmun bisa dipatahkan. Hingga akhirnya, Al-Makmun mengirim sosok bernama Muhammad bin Humaid Tusi. Dia berhasil menggalang kekuatan suku-suku Arab di selatan Azarbaijan dan mengalahkan pasukan Zuraiq. Setelah itu dia mengambil alih pemerintahan di Azarbaijan, dan melanjutkan untuk menaklukkan kekuatan Babak. Merasa tidak memiliki kekuatan yang memadai untuk menghadapi Muhammad bin Humaid, Babak memutuskan untuk pergi ke gunung dan berlindung di sebuah benteng di sana. Di Benteng itu, Babak berhasil membangun kekuatan yang tak terkalahkan. Bahkan Muhammad bin Humaid yang menyerang benteng tersebut, akhirnya terbunuh.[7]

Meksi sudah berhasil membunuh Muhammad bin Humaid, tapi kekuatan Babak tidak bisa melangkah lebih jauh untuk meluaskan areal kekuasaannya. Akhirnya, dia mememutuskan untuk membangun aliansi strategis dengan Bizantium untuk menyerang wilayah Abbasiyah. Bizantium ketika itu sedang dipimpin oleh Kaisar Theophilus, putra dari Kaisar Michael yang wafat pada tahun 209 H.  Theophilus menyetujui aliansi strategis dengan sekte yang dipimpin Babak. Dan mereka pun mulai melakukan serangan ke wilayah Abbasiyah. Skema aliansi yang mereka bangun ini, mendapat perhatian khusus dari Al-Makmun. Untuk alasan inilah akhirnya Al-Makmun memutuskan memimpin sendiri ekspedisi militer ke Bizantium.[8]

Menurut catatan Tabari, salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam perjalanan Al-Makmun, adalah pertemuannya dengan Muhammad bin Ali bin Musa bin Jakfar bin Muhammad bin Ali bin Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib di daerah Takrit, salah satu kota di tepi Sungai Tigris di sebelah utara Samara.[9]

Muhammad adalah putra dari Imam Ali Ridha, calon putra mahkota yang sangat dikagumi Al-Makmun. Seperti ayahnya, Muhammad bin Ali Ridha juga adalah seorang ulama yang memiliki ketinggian ilmu. Hal ini membuat Al-Makmun takzim padanya. Dikisahkan oleh Tabari, bahwa dalam pertemuan tersebut, Al-Makmun memberikan banyak hadiah kepada Muhammad bin Ali Ridha dan memohon kepadanya untuk bersedia menikahi putrinya yang bernama Ummul Fadl. Muhammad pun akhirnya mengabulkan permintaan Al-Makmun, dan pernikahan pun dilangsungkan.[10] Setelah melangsungkan pernikahan putrinya, Al-Makmun berserta pasukannya melanjutkan perjalan ke Bizantium. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 327-328

[2] Ibid

[3] Uraian terkait penggunaan jasa budak Turki oleh Abu Ishaq, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-57-abdullah-al-makmun-6/

[4] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal. 173

[5] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 426

[6] Ibid, hal, 427

[7] Ibid, hal. 428

[8] Lihat, Syeed Ameer Ali, A Short History Of The Saracens,(London: MacMillian And Co., Limited ST. Martin’s Street, 1916), hal. 272

[9] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, Op Cit, hal. 184

[10] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*