Dinasti Abbasiyah (61): Abdullah Al-Makmun (10)

in Sejarah

Last updated on June 28th, 2019 10:48 am

Al-Makmun meyakini, bahwa kebahagiaan sejati bagi masyarakatnya, adalah ketika kehidupan mereka berdiri di atas dasar pendidikan dan kebudayaan yang baik. Baginya, dana berapapun tak pernah cukup ketika dihadapkan dengan harga ilmu pengetahuan.


Gambar ilustrasi. Sumber: tah-heetch.com


Di samping sukses membangun Baghdad, Al-Makmun juga sukses menjinakkan sejumlah kekuatan oposisi di seluruh wilayah kekuasaannya. Adalah Abdullah bin Tahir, putra Tahir bin Husein yang ditugaskan untuk melakukan sejumlah ekspedisi militer ke sejumlah wilayah, mulai dari Suriah, Hijaz, Yaman dan Mesir. Dalam ekspedisi militer yang dilakukannnya, Abdullah tidak hanya berhasil memenangkan pertempuran, tapi juga berhasil merekonsialisi sejumlah kekuatan yang selama ini berserak akibat konflik.

Seiring dengan kesuksesan Abdullah bin Tahir, upeti pun berdatangan dari segala penjuru ke Baghdad. Dana tersebut sebagian besarnya dia distribusikan demi kepentingan ilmu pengetahuan. Tak ayal, pamor Kekhalifahan Abbasiyah pun makin menjulang. Kebesaran nama Al-Makmun pun tak kalah mentereng dengan pamor nama Ayahnya, Harun Al-Rasyid. Para raja dan penguasa di dunia menghormatinya. Demikian juga para ilmuwan dan ulama.

Di nilai secara politis, ilmuwan dan  ulama ini adalah pemilik otoritas sesungguhnya di tengah masyarakat. Mereka memiliki pengikut yang luas dari berbagai kalangan. Mungkin karena mereka umumnya apolitis, sehingga mampu melampaui skat ideologis ataupun agama. Dengan adanya dukungan yang luas dari para ilmuwan dan ulama, Al-Makmun makin kokoh di puncak legitimasi.

Kegemaran Al-Makmun dalam menerjemahkan karya-karya intelektual dari berbagai peradaban, secara otomatis membuatnya terbuka pada para ilmuwan dari berbagai agama dan bangsa.[1] Orang-orang Arab, tidak semua bisa berbahasa Yunani dan Romawi dengan baik. Maka ketika ada tuntutan untuk menerjemahkan karya-karya klasik dari ilmuwan Yunani, Al-Makmun tidak segan meminta para penerjemah yang beragama Kristen atau pun Yahudi. Demikian juga dengan karya-karya dari India, China dan bangsa-bangsa lain di dunia.

Maka ketika era Al-Makmun, Baghdad menjadi semarak dengan keberagaman. Semuanya dipersatukan oleh kecintaan mereka pada ilmu pengetahuan. Menurut Syed Ameer Ali, Al-Makmun memiliki keyakinan yang unik dibanding para khalifah lainnya. Dia percaya, bahwa kebahagiaan sejati bagi masyarakatnya, adalah ketika kehidupan mereka berdiri di atas dasar pendidikan dan kebudayaan yang baik.[2] Baginya, dana berapapun tak pernah lebih besar dari harga ilmu pengetahuan.

Pernikahan Al-Makmun

Pada tahun 210 H, Al-Makmun memutuskan menikah dengan wanita cantik bernama Khadijah atau lebih dikenal dengan nama Buran. Dia adalah putri Hasan bin Sahal, wazirnya yang dulu pernah terserang sakit gila. Pernikahan ini dilangsungkan pada bulan Ramadan 210 H, atau sekitar akhir tahun 825 M. Tabari mencatat, pernikahan ini menelan biaya yang luar biasa besar. Upacara pernikahan ini dilangsungkan di kediaman Hasan bin Sahal, dan dihadiri oleh semua petinggi negeri. Termasuk salah satunya Zubaidah binti Al-Manshur, ibu tiri Al-Makmun yang juga ibu kandung almarhum Al-Amin. Ibu suri tersebut datang dengan pakaian terbaiknya. Demikian juga dengan para wanita bangsawan lainnya.[3]

Buran, Sang Ratu Abbasiyah yang baru itu, mendapat hadiah melimpah. Menurut Tabari, neneknya Buran menganugerahi wanita tersebut dengan seribu mutiara yang disebar di hadapan Buran dan Al-Makmun. Tapi ketika mutiara yang berserak itu dikumpulkan kembali ternyata jumlahnya kurang 10 butir. Al-Makmun memerintahkan bawahannya agar menghitung dengan pasti jumlah mutiara tersebut. Ternyata memang ada hilang 10 butir. Al-Makmun memerintahkan agar yang menyembunyikannya mengembalikan saat itu juga. Orang yang menyembunyikan itupun berseru, “wahai Amirul Mukminin, bukankah mutiara itu disebar begitu saja agar kami bisa mengambilnya?” Tapi Al-Makmun memaksa orang tersebut mengembalikannya, dan berjanji akan menggantikan dengan jumlah yang setara. Orang itu pun akhirnya itupun mengembalikan 10 mutiara tersebut, dan dia diampuni.[4]

Menurut Imam Al-Suyuthi, khusus untuk acara pernikahan putrinya, ayah Buran memberi cuti selama 17 hari kepada beberapa komandannya dan mengalihkan tugas mereka untuk mengurus pernikahan anaknya. Dia menulis nama-nama tanah miliknya di atas beberapa carik kertas lalu kertas-kertas itu dia sebarkan di antara para komandan dan pemuka-pemuka Bani Abbas. Siapa yang mendapatkan kertas bertulis tanah tertentu, Buran akan memberikan tanah itu kepadanya. Dia juga menaburkan batu-batu permata di depan Al-Makmun saat malam pengantin.[5]

Dikatakan oleh Tabari, bahwa pada acara pernikahan ini, Al-Makmun menawarkan pada Buran untuk meminta permohonan apa saja padanya. Awalnya Buran menolak memohon. Tapi setelah didesak oleh para keluarganya, maka dia meminta dua hal. Pertama, dia meminta agar Al-Makmun mengampuni Ibrahim bin Al-Mahdi yang sempat mengaku sebagai khalifah ketika Al-Makmun memerintah dari Merv. Ketika Al-Makmun datang ke Baghdad, Ibrahim diketahui melarikan diri dan menghilang. Kini, Buran memohon ampunan atas Ibrahim, dan permohonan itupun dikalbulkan. Ibrahim pun kembali ke Baghdad, dan menghadap khalifah dengan perasaan tenang.[6]

Kedua, Buran meminta agar diizinkan setiap tahun menemani Zubaidah bin Al-Manshur untuk berangkat haji. Sebagaimana dikisahkan dalam sejarah, perjalanan haji Zubaidah memberikan dampak monumental bagi umat Islam. Dialah yang membangun jalan raya yang menghubungkan Irak sampak ke Makkah. Jalan raya ini, kemudian dikenal dengan nama Darb Zubaidah.[7] Permohonan Buran ini pun dikabulkan oleh Al-Makmun. Zubaidah menyambut baik keinginan Buran. Dia pun menghadiahi menantunya dengan pakaian terbaik yang diwariskan dari Dinasti Umayyah.[8]

Dari dua permintaan Buran, bisa  terbaca jelas, bahwa wanita ini ingin mendukung upaya rekonsiliasi yang sedang diupayakan oleh Al-Makmun. Pada masa selanjutnya, Buran menjadi ratu yang cukup terkenal dalam sejarah Islam. Mengikuti semangat progresif suaminya, Buran ikut menyumbang sejumlah prestasi. Di antaranya, dia tercatat sebagai perempuan pertama yang mendirikan rumah sakit di Baghdad. Di samping itu, dia juga mendirikan pusat studi keperempuanan yang berfungsi sebagai pusat pemberdayaan kaum perempuan.[9] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:



[1] Lihat, Jejak Khalifah Al Ma’mun untuk Pengetahuan dan Peradaban Islam, https://islami.co/jejak-khalifah-al-mamun-untuk-pengetahuan-dan-peradaban-islam/, diakses 20 Juni 2019

[2] Lihat, Syeed Ameer Ali, A Short History Of The Saracens,(London: MacMillian And Co., Limited ST. Martin’s Street, 1916), hal. 274

[3] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal. 153

[4] Ibid, hal. 154

[5] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 327-328

[6] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, Op Cit, hal. 156

[7] Uraian lebih jauh mengenai Zubaidah dan jalan raya yang dibangunnya, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/beberapa-muslimah-hebat-dari-abad-pertengahan/

[8] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, Op Cit

[9] Lihat, Syeed Ameer Ali, Op Cit, hal. 271

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*