Abdul Muthalib (6); Lahirnya Cahaya yang Dinantikan

in Tokoh

Last updated on February 10th, 2018 08:59 am

Pada satu malam Abdul Muthalib bermimpi bertemu kembali dengan suara yang dulu pernah memerintahkannya untuk menggali Sumur Zamzam. Suara itu membisikan padanya bahwa nama cucunya berasa dari al-Ham, yang berarti Muhammad atau Ahmad.”

—Ο—

 

Setelah diyakini situasi sudah aman, masyarakat Mekkah berbondong-bondong kembali ke rumah mereka dengan suka cita. Beberapa penduduk yang penasaran tentang apa yang terjadi, pergi mengintai tempat terakhir mereka melihat pasukan Abrahah, namun yang mereka temuan hanya bangkai-bangkai yang berceceran dengan kondisi sangat menjijikan. Tahun ini begitu monumental dan diingat oleh penduduk Mekkah melebihi semua tahun yang pernah berlalui dalam hidup mereka. Baru pertama kali mereka melihat pasukan raksasa yang demikian digjaya, hingga mereka bahkan tidak berpikir untuk menghadapinya. Namun entah karena apa, pasukan sebesar itu bisa tumpas seperti tidak berdaya dengan kondisi sangat mengenaskan. Keganjilan sebesar ini, tentu memiliki makna yang jauh lebih dalam dari yang pernah mereka bayangkan.

Di tengah-tengah kegembiraan masyarakat, di salah satu malam yang sepi, Aminah binti Wahab bermimpi menyaksikan sebuah cahaya dari dirinya yang memancar dan menerangi segala penjuru, hingga ia seakan-akan bisa melihat langsung benteng-bentang Busra yang terletak jauh di Syiria.[1] Ketika itu Aminah sedang hamil tua, dan sebentar lagi akan melahirkan.  Dan pada waktu sahur dari malam Senin hari keduabelas dari bulan Rabiul Awal, Aminah melahirkan seorang anak kecil yang yatim, putra seorang pertama Mekkah, Abdillah bin Abdul Muthalib, dan seorang cucu dari Ismail bin Ibrahim bin Adam.

Menurut al-Tabari, berdasarkan kesaksian dari salah seorang yang hadir ketika Aminah melahirkan, ia mendengar Aminah mengucapkan, “apakah sesuatu yang aku lihat dalam rumah ini? yang membuat semuanya terang benderang. Dan aku melihat bintang gemintang mendekatiku, sampai aku merasa mereka semua datang kepada ku.”[2] Dan ketika selesai melahirkan, orang pertama yang Aminah ingin kabarkan tentang berita gembira ini adalah Abdul Muthalib. Aminah lalu mengutus seseorang dan segera mengajak Abdul Muthalib datang dan menggendong cucunya. Mendengar berita ini, Abdul Muthalib langsung bergegas. Dan ketika Abdul Muthalib tiba, Aminah menceritakan semua tentang mimpinya dan semua apa yang ia alami selama mengandung putranya.

Artikel terkait:

Maulid Nabi Muhammad SAW

Abdul Muthalib lalu membawa cucu kesayangannya itu bertawaf mengelilingi Ka’bah sambil memikirkan nama yang tepat untuknya. Begitu banyak nama yang muncul dibenaknya, namun ia tidak tertarik pada satupun dari nama-nama tersebut. Ia begitu bingung untuk memberikan nama yang tepat pada cucu kesayanganya ini, sampai-sampai kebingungannya berlangsung selama enam hari. Hingga pada satu malam ia bermimpi bertemu kembali dengan suara yang dulu pernah ditemuinya dan memerintahkannya untuk menggali Sumur Zamzam. Suara itu membisikan padanya bahwa nama cucunya berasal dari al-Ham, yang berarti Muhammad atau Ahmad.[3] Selain Abdul Muthalib, menurut Akbar Shah Najeebabadi, Aminah juga sudah dibisiki bahwa nama putranya adalah Ahmad.[4]

Ketika Abdul Muthalib mengumumkan nama cucunya, orang-orang Quraisy bingung. Karena memang nama ini terdengar asing di telinga masyarakat jahiliyah waktu itu. Nama-nama masyarakat jahiliyah waktu itu biasanya selalu disandingkan dengan nama berhala-berhala mereka ataupun nama-nama kakek moyang mereka. Tapi memang bukan baru kali ini sisilah emas Rasulullah SAW menggunakan nama yang tidak lazim. Nama Abdullah dan Abdul Muthalib juga adalah nama-nama yang tidak lazim sama sekali bagi masyarakat Mekkah kala itu. Bahkan kelak, ketika dua cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW lahir, beliau menamai mereka dengan nama Hasan dan Husein. Dua nama yang bahkan belum pernah dimiliki oleh siapapun sebelumnya. Dan ketika orang-orang Quraisy bertanya mengapa Abdul Muthalib menamai cucunya dengan nama Muhammad, beliau menjawab, “Aku ingin Allah SWT memujinya di langit dan manusia memujinya di bumi.”[5]

Setelah kisah tentang pemberian nama ini, tidak banyak riwayat yang mengisahkan tentang hidup Abdul Muthalib. Perhatian alam semesta sudah tertuju pada Muhammad bin Abdullah, yang tak lama setelah diberikan nama oleh Abdul Muthalib harus menjalani tradisi masyarakat Mekkah masa itu, yaitu menyerahkannya pada keluarga yang tepat untuk disusui selama beberapa tahun.

Biasanya orang-orang dari desa akan datang ke kota Mekkah dan mencari bayi untuk mereka susui. Namun khususnya untuk cucu Abdul Muthalib, kebanyakan mereka tidak menginginkannya, dikarenakan Muhammad adalah anak yatim dan miskin, meskipun mereka juga tau bahwa ia berasal dari keluarga ningrat bangsa Arab. Jika Musa As menolak wanita-wanita lain untuk menyusuinya kecuali ibunya setelah Allah SWT mencegahnya dari susuan wanita-wanita lain agar ibunya merasa bahagia dan tidak bersedih, maka Muhammad bin Abdullah—seorang anak kecil yang masih menyusu dan mulia—justru ditolak oleh wanita-wanita yang menyusui, sedangkan ia sendiri tidak pernah menolak seseorang pun.[6] (AL)

Bersambung…

Abdul Muthalib (7); Wafatnya Benteng Utama Sang Nabi

Sebelumnya:

Abdul Muthalib (5); Menghadapi Abrahah

Catatan kaki:

[1] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. 5., Translated by C. E. Bosworth, State University of New York Press, 1999, hal. 269-270

[2] Ibid, hal. 271

[3] Lihat, http://jaipk.perak.gov.my/index.php, diakses 30 Januari 2018

[4] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume One, Riyadh, Darussalam, 2000, hal. 92

[5] Ibid, hal. 93

[6] Lihat, http://jaipk.perak.gov.my/index.php, Op Cit

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*