Mozaik Peradaban Islam

Abu Thalib dan Salah Persepsi (4)

in Sejarah

Last updated on May 31st, 2018 03:22 pm

Sabarlah, hai Abu Ya‘la, dalam membela agama Ahmad
jadilah pembela agama ini dengan kesabaran
Lindungi sang pembawa kebenaran dari sisi Tuhan
dengan ketulusan dan tekad bulat, dan jangan menutup diri (kafir)

—Ο—

 

Dari sejumlah pembuktian yang sudah dipaparkan sebelumnya, kita bisa melihat bahwa pengkafiran Abu Thalib bukan lahir dari sentiment mahzab dalam Islam, tapi lebih merupakan cermin yang memantulkan hakikat orang yang mengkafirkan. Ketika kita menyaksikan orang-orang tertentu mengkafirkan pembela Baginda Nabi dan menyanjung musuh-musuh beliau, kita sejatinya telah melihat hakikat jiwa orang-orang tersebut.

Sebuah kaidah dalam filsafat menyatakan bahwa hakikat kita sama dengan apa yang kita kehendaki dan apa yang kita pikirkan. Kalau kita menghendaki rumah, maka hakikat kita pada saat itu berubah menjadi batu bata, pasir, semen dan material rumah lain. Secara fisik kita tidak berubah tetapi derajat dan hakikat kita telah merosot ke level hakikat yang kita pikirkan itu. Sebaliknya, kalau kita menghendaki kebenaran, maka hakikat jiwa kita akan dipenuhi dengan gairah dan energi kebenaran itu sendiri.

Lalu, mengapa pengkafiran Abu Thalib ini berlangsung? Ini masalahnya memang pilihan moral. Jika Anda bertanya kepada orang yang awam polos, maukah kau mengutuk dan mengkafirkan paman dari guru agamamu? Maka jawabannya setidaknya dia akan ragu-ragu dan enggan. Tapi jika Anda bertanya kepada orang yang keras kepala yang berhati keji penuh dengki, maka jawabannya tegas ya. Jika dia tidak suka dengan Anda, maka dengan mudah dia akan memutuskan untuk mengutuk dan mengkafirkan Anda. Begitulah pilihannya.

Dari sinilah kita dapat dengan mudah melihat betapa mudahnya mereka mengkafirkan ayah, ibu dan paman Nabi Muhammad. Begitu tega dan tanpa perasaannya aksi pengkafiran itu mereka lakukan. Dan yang lebih konyolnya, untuk menjustifikasi kekonyolan itu, sebagian dari mereka mengungkapkan sebuah hikmah palsu terkait dengan pemberian hidayah Allah yang arbitrer, sesuka-suka Allah. Poinnya, meski kedua orangtua Nabi dan pamannya telah bersusah payah menjaga dan memelihara Nabi dari segenap gangguan, tetap saja Allah tidak suka pada mereka. Akibatnya, mereka semua kafir dan masuk neraka.

Hasil akhir dari cara pandang seperti ini sebenarnya apa? Ya, hasil akhirnya adalah moralitas fatalis yang absurd dan nihilis. Bagaimana tidak? Jika kita percaya bahwa kedua orangtua dan paman Nabi saja masuk neraka, apakah layak kita percaya sesuatu yang baik ihwal nasib kita di akhirat kelak? Apakah kepercayaan tentang keadilan Ilahi itu masih dimungkinkan? Apakah harapan akan ampunan dan belas kasih-Nya masih tersisa ketika kedua orangtua dan paman Nabi saja gagal meraihnya?

Akhirnya, kalau kita bertanya kepada Abu Thalib bagaimana dia ingin ditulis dalam sejarah Islam, maka saya yakin dia akan senang bila dijadikan sebagai cemin bagi kita untuk berkaca dan melihat hakikat jiwa kita masing-masing. Kenangan kita tentang Abu Thalib tidak akan membawa kemulian baginya, melainkan lebih sebagai hiasan bagi diri kita. Mengenal dan mengagumi orang-orang besar semacam Abu Thalib bukan kultus individu, tetapi lebih sebagai luapan kecintaan pada nilai-nilai yang dia bawa dan dia peragakan.

Abu Thalib yang saat ini sudah merasakan semua nikmat yang dijanjikan Allah buat yang menolong utusan-Nya agaknya senang kalau kita sering-sering bertanya kepada diri sendiri: Siapa yang saat ini aku pilih untuk mengisi hatiku? Untuk tujuan apa aku bersusah-susah hidup dan menanggung beban derita? Adakah semua kesusahan dan penderitaan itu akan membawaku kepada kebahagiaan atau malah menjerumuskanku ke dalam lembah kesengsaraan? Apakah aku yakin bahwa kecintaan dan kebencianku telah kuarahkan secara adil dan tulus? Apakah aku sudah mencintai orang-orang yang layak, yang selalu rindu kepada puncak-puncak kesempurnaan dan kesucian? Apakah aku telah cukup menebar harapan akan kebenaran dan keadilan di hati orang-orang yang aku cintai?

Dan terakhir, rasanya Abu Thalib akan senang bila kita mengikuti anjuran beliau dalam syair berikut ini:

Sabarlah, hai Abu Ya‘la, dalam membela agama Ahmad
jadilah pembela agama ini dengan kesabaran
Lindungi sang pembawa kebenaran dari sisi Tuhan
dengan ketulusan dan tekad bulat, dan jangan menutup diri (kafir)
Bahagialah aku saat kau katakan, “Kau adalah seorang Mukmin”
maka kukuhlah dalam membela Rasul Allah, di jalan Allah
Serulah Quraisy dengan apa yang kau peroleh
dan terang-terangan katakanlah, “Ahmad bukan penyihir!”

[Tamat]

Sebelumnya:

Abu Thalib dan Salah Persepsi (3)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*