Mozaik Peradaban Islam

Al-Quran dan Perempuan (3): Para Perempuan Penerjemah Al-Quran (2)

in Studi Islam

Last updated on November 2nd, 2018 12:46 pm

“Al-Quran adalah kitab manusia. Kehadirannya sebagai petunjuk dan penerang kehidupan mereka. Ekspresi bahasanya pun mengikuti gerak dinamis para penghuni bumi, yang terejawantah dalam kosa semiotika paling puncak dan menegasikan eksklusivitas pada pesan dan perintahnya. Karena setiap manusia harus menghamba pada Tuhan yang sama, maka perintah dan larangannya pun seiring sejalan tanpa mengenal jenis kelamin; laki-laki dan perempuan adalah sama di hadapan Tuhannya. Hanya ketakwaan yang memisahkan mereka.”     

—Ο—

 

Pembacaan Al-Quran dalam perspektif perempuan semakin bergulir. Terlepas dari sisi positif dan negatifnya, peranan mereka dalam kajian Al-Quran tampak benderang dan semakin diterima di alam terbuka. Mereka menginterpretasikan Al-Quran dengan sudut pandang perempuan, tanpa menafikan argumen ilmiah dari berbagai riwayat para sahabat dan hadis Nabi Muhammad saw. Sebagian mereka berjibaku dengan jiwanya yang muallaf, tapi kegelisahan intelektual memaksanya untuk bersuara. Menggali persamaan jender dalam ranah insani, untuk memuncak bersama-sama ke hadirat Ilahi.

 

Camille Adams Helminski

Camille Adams Helminski. Sumber gambar: youtube.com

 

Adalah Camille Adams Helminski, seorang muallaf perempuan Amerika yang lahir pada 16 Oktober 1951. Memperoleh gelar doktor dalam bidang bahasa Arab dari Universitas Damaskus, dan termasuk anggota dari World Union of Writers di Paris. Bersama suaminya, Kabir Edmund Helminski mendirikan Threshold Society di Aptos, California. Sebuah yayasan pendidikan yang berbasis pada ajaran tradisional Maulana Jalaluddin Rumi. Yayasan tersebut mencoba mengajarkan prinsi-prinsip tradisional Maulawi untuk diterapkan pada kehidupan kontemporer. Mereka terlibat dalam beberapa projek kreatif dalam penulisan kreatif, rekaman, dan konsultan pendidikan.

Selama hampir 25 tahun terlibat pada Threshold Society, Camille Helminski telah banyak menelorkan karya dalam bahasa Inggris, terutama berkaitan dengan sufisme, di antaranya: Maulana Jalaludin Rumi, Rumi—Daylight: A Daybook of Spiritual Guidance, Threshold Books (Putney, VT), 1990. (Karya terjemahan bersama Edmund Kabir Helminski); As’ad Ali, Happiness without Death: Desert Hymns, Threshold Books (Putney, VT), 1991. (Karya terjemahan bersama Ibrahim Al-Shihabi); Ahmet Hilmi, Awakened Dream: Raji’s Journeys with the Mirror Dede, Threshold Books (Putney, VT), 1993. (karya terjemahan bersama Refik Algan); The Light of Dawn: A Daybook of Verses from the Holy Quran, Threshold Books (Brattleboro, VT), 1998. (karya kompilasi); Jewels of Remembrance: A Daybook of Spiritual Guidance: Containing 365 Selections from the Wisdom of Rumi, Shambhala (Boston, MA), 2000. (karya kompilasi dan terjemahan); The Light of Dawn: Daily Readings from the Holy Quran, Shambhala: Boston, MA, 2000. (karya kompilasi); The Mevlevi Wird: The Prayers Recited Daily by Mevlevi Dervishes, Threshold Society (Soquel, CA), 2000.; Women of Sufism: A Hidden Treasure, Shambhala (Boston, MA), 2003. (karya kompilasi dan terjemahan)[1]

Sebagai seorang penulis, ia menaruh minat pada sufisme perempuan. Misalnya pada 2003, Helminski menerbitkan satu buku dengan judul Women of Sufism: A Hidden Treasure, sebuah karya yang menggali peran sufi perempuan dalam sejarah. Buku tersebut merupakan antologi kisah para sufi perempuan yang tak pernah muncul di permukaan dalam kesejarahan sufisme. Ada sejumlah perempuan suci yang sekaligus sebagai penyair, syaikhah, dan intelektual yang masuk dalam jajaran mulai dari anggota keluarga Nabi Muhammad seperti Fatimah hingga saat ini seperti Annemarie Schimmel dan Michael Ozelsel.  Kisah-kisah itu berasal dari berbagai belahan dunia, di mana ajaran-ajaran tasawuf hidup di sana, termasuk Asia, Afrika, Timur Tengah, dan Eropa.

Di antara kisah-kisah ini, ia menemukan ucapan dan puisi seorang perempuan sufi abad ke-8 seperti Rabi’ah al-Adawiyyah dan Lady Nafisa, yang terkenal karena keilmuannya dalam bidang Al-Quran, bahkan sampai sekarang makamnya masih menjadi tujuan suci bagi para peziarah spiritual. Ada juga bagian-bagian dan kutipan-kutipan modern yang menarik, seperti Nur an-Nisa Inayat Khan tentang “Cahaya Kaum Perempuan [The Light of Womanhood],” atau Annemarie Schimmel dengan “Jiwaku adalah wanita [My Soul is a Woman].” Selain penulis, penyair, dan orang suci, Helminski juga memberi penghormatan kepada para perempuan yang menenun citra sufi melalui rumah tangga dan sajadah, seperti Ghada Amer, yang menyulam bantal dan menghiasi dinding dengan ayat-ayat Al-Quran atau hadis-hadis Nabi Muhammad saw.[2]

Menarik untuk dicermati yaitu karya terjemahan Al-Quran yang ia beri judul The Light of Dawn: Daily Readings from the Holy Quran. Karya ini bukanlah terjemahan Al-Quran secara utuh, tetapi hanya memuat 365 ayat-ayat pilihan sebagai media permenungan harian. Diterbitkan pertama kali pada tahun 2000-an oleh penerbit Shambala yang berada di kota Boston dan London.

Dalam kata pengantar atas karya tersebut, Helminski secara tegas menunjukkan keprihatinan terhadap perempuan dengan membuat beberapa penyesuaian dengan norma-norma kontemporer. Ia, misalnya, mengatakan,

Berkaitan dengan penggunaan kata ganti […], dalam beberapa kasus saya telah menggunakan kata ganti feminin daripada maskulin untuk kedua jenis manusia, dan kadang-kadang mengacu pada Tuhan. Sehingga mereka yang membaca pilihan ini mungkin akan memiliki pengingat bahwa di dalam semesta dan pemahaman tentang Quran, Tuhan itu tanpa gender atau jenis kelamin. Dalam pandangan Allah, laki-laki dan perempuan adalah sama.[3]

Dengan kata lain, meskipun teks Arab menggunakan kata benda dan kata ganti umum maskulin, Helminski menggunakan kombinasi antara “he/ she” yang secara umum ditulis dengan “he” untuk merujuk pada manusia dan Tuhan. Pilihan linguistik ini, menurutnya, memperjelas bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama menjadi tujuan teks Al-Quran.[4] Hal ini bisa dilihat dari caranya menerjemahkan QS al-Jatsiyah [45]: 15:

If anyone does a righteous deed it is to his/her own benefit. If he/she does harm it works against his/her soul. In the end you will all be brought back to your Sustainer.

Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, hal itu untuk dirinya sendiri. Dan siapa saja yang mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan. (QS al-Jatsiyah [45]: 15)

Helminski menggunakan kombinasi “he/she” untuk melunakkan nada patriarkal, sekaligus menyoroti maksud yang bersifat umum dari teks sumber. Dalam teks Arab, kata nafs merupakan bentuk muannats, yang berarti ‘jiwa’ atau ‘makhluk’. Hal ini disebutkan dalam dua kesempatan yang berbeda. Pertama, ia ditempatkan sebelum kata ganti laki-laki atau mudzakkar, hi; dalam kesempatan kedua kata ganti perempuan atau muannats, ‘ha’, ditempatkan setelah bentuk kata kerja maskulin atau laki-laki.

Ayat tersebut memang unik. Keseimbangan gender diciptakan melalui nada dan urutan kata. Melalui nada sejak bagian pertama ayat yang diakhiri dengan nada maskulin hi, sedangkan bagian kedua diakhiri dengan nada feminin ha. Demikian pula, urutan kata di bagian pertama mengandung kata benda feminin yang diikuti oleh kata ganti maskulin. Di bagian kedua, kata kerja maskulin diikuti oleh kata ganti feminin. Keseimbangan gender ini didukung dengan akhir ayat, di mana bentuk jamak digunakan untuk memasukkan atau mengindikasikan baik feminin maupun maskulin.[5]

Berkaitan dengan kata benda yang secara khusus merujuk pada laki-laki seperti ‘man’, ‘mankind’, ‘father’ dan ‘son’, Helminski rupa-rupanya memiliki pandangan yang berlainan dari mainstream, dan secara konsisten menghindari hal-hal khusus berkenaan dengan gender. Seperti tampak dalam Qs al-Balad [90]: 1-7

I call to witness this land (2) In which you are free to dwell; (3) And the bond between parent and child; (4) Truly, we have created the human being to labor and struggle; (5) Does he think that no one has power over him.”

(1) Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah); (2) dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekah ini; (3) dan demi bapak dan anaknya; (4) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah; (5) Apakah manusia itu menyangka bahwa sekali-kali tiada seorangpun yang berkuasa atasnya?

Istilah-istilah kunci dalam surat ini adalah ‘walid’ dan ‘insan.’ Secara gramatikal, kata walid merefer pada term maskulin, yang berarti seorang ayah (father). Akan tetapi dapat pula digunakan secara generik untuk merujuk pada kedua orang tua. Karena itulah, dalam dua term ini Helminski tidak terjebak pada interpretasi patriarkal. Maka dari itu, ia lebih memilih menggunakan terjemahan parent ketimbang father untuk menerjemahkan kata Arab walid. Demikian pula, pada term insan di ayat ke-4, sebagian penerjemah memberikan anotasi kata ini dengan Adam sebagai representasi manusia pertama. Namun, lagi-lagi kita dicantumklan kata ‘Adam’ akan menegaskan interpretasi patriarkal dalam penciptaan, yang menjelaskan secara gambalang bahwa manusia pertama adalah laki-laki. Hal ini akan melahirkan keyakinan yang mendasari makna tersebut bahwa wanita berasal dari laki-laki, dan karena itu flebih rendah dan tidak setara. Ia tidak lebih dari makhluk subordinat dari kaum laki-laki.

Dalam menerjemahkan teks sakral ini, Helminski telah berusaha menghindari penafian perempuan dengan menggunakan term inklusif. Daripada menggunakan ‘father’ dan ‘son,’ Helminski menciptakan ekspresi yang sama dengan memakai ‘parent’ dan ‘child.’ Dalam menerjemahkan kata ‘insan’ ia menggunakan ekspresi inklusif ‘manusia.’ Pilihan linguistiknya menunjukkan pemahamannya tentang masalah bahasa yang berpusat pada laki-laki dalam teks-teks suci, dan menunjukkan upaya untuk menyesuaikan bahasa teks asli dengan norma-norma masyarakat Barat di mana ia tinggal. Selain itu, tampaknya ia pun menyadari perdebatan seputar penggunaan bahasa patriarkal, terutama bahwa sebagian besar teknik yang ia gunakan memiliki kesamaan dengan para penerjemah feminis dan pendukung bahasa inklusif dalam terjemahan Alkitab.[6]

Pada akhirnya, problem kebahasaan memang tidak pernah menemukan muaranya, terutama berkaitan dengan Kitab Suci Al-Quran yang menujukan pesan-pesannya kepada setiap manusia tanpa memandang jenis kelamin. Terjemah Al-Quran dari bahasa apa pun merupakan bagian dari tafsiran Kitab Suci yang paling pendek. Ia mewakili audiens histori yang berlainan antara satu kawasan dengan kawasan lainnya. Semangat penerjemah dalam mengekspresikan alih bahasa tidaklah berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi lingkungan sosial di mana penerjemah tinggal. Sehingga tidak ada hasil karya yang bebas nilai (value free) tanpa pengaruh yang mengitarinya.

Representasi laki-laki di satu sisi juga menunjuk pada perempuan dalam kesamaan insaniahnya. Sebagian menerima dengan kesadaran teologis, tanpa bermaksud merubah aspek redaksionalnya. Sebagian lagi, ingin memberikan pemahaman gamblang pada lingkungan sosialnya bahwa perempuan juga memiliki kewajiban dan pesan yang setara dengan kaum laki-laki di mata Tuhannya. Semua memiliki tujuan yang sama, menuju ketakwaan dan ketaatan pada Tuhan Yang Maha Esa; Allah SWT. (KI)

Bersambung…

Al-Quran dan Perempuan (4): Para Perempuan Penerjemah Al-Quran (3)

Sebelumnya:

Al-Quran dan Perempuan (2): Para Perempuan Penerjemah Al-Quran (1)

Catatan kaki:

[1] https://www.encyclopedia.com/arts/educational-magazines/helminski-camille-adams-1951

[2] Rim Hassen, English Translations of the Quran by Women: Different or Derived? (UK: Departement English and Comparative Literary Studies, University of Warwick, 2012), hlm. 81

[3] Rim Hassen, “English Translation of The Quran by Women: The challenges of “Gender Balance” in and Through Language” dalam Jurnal MonTI. Monografías de Traducción e Interpretación, No. 3, 2011, hlm. 224

[4] Ibid.,

[5] Ibid,  hlm. 225

[6] Ibid., hlm. 226

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*