“Sebelum menunjukkan ketidakpatuhan, Iblis adalah salah satu malaikat. Namanya adalah ‘Azazil. Dia adalah salah satu penghuni di bumi. Dia adalah salah satu malaikat yang paling bersemangat dan berpengetahuan. Itu membawanya ke kesombongan. Dia berasal dari suku yang disebut jin.” (H.R Bukhari, dalam Ta’rikh, II, 1, 170)
–O–
Para ulama di masa-masa awal Islam, yakni para sahabat dan pengikut memiliki pandangan yang berbeda mengenai kenapa Iblis dianggap sombong dan akhirnya diusir oleh Allah SWT. Dalam artikel sebelumnya telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang dishahihkan oleh al-Dahhak, bahwasanya Iblis telah menyerang sebagian jin yang tidak mentaati Allah dan menyebabkan kerusakan di muka bumi. Setelah mengusir mereka, Iblis menjadi bangga kepada dirinya sendiri dan menganggap dirinya lebih baik daripada siapapun.
Pernyataan kedua dari Ibnu Abbas adalah bahwa Iblis adalah penguasa dan pemerintah surga bagian bawah serta menguasai semua tempat di antara surga bawah dan bumi. Selain itu, dia juga penjaga surga dan sosok yang tekun dalam menyembah Allah SWT, tetapi kemudian dia menjadi bangga dengan dirinya sendiri, dan karena itu dia berpikir bahwa dirinya lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Sehingga dia menjadi bersikap berlebihan terhadap Tuhannya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan beberapa sahabat Nabi lainnya:
“Ketika Allah SWT selesai dengan penciptaan apa pun yang Dia kehendaki, Dia duduk tegak di atas tahta. Dia menjadikan Iblis penguasa atas surga bagian bawah. Iblis berasal dari suku malaikat yang disebut jin. Mereka disebut jin karena mereka adalah penjaga surga (al-jannah). Selain menjadi penguasa (dari surga yang lebih rendah), Iblis adalah seorang penjaga (surga). Kemudian kesombongan mempengaruhi dia, dan dia berkata: ‘Allah memberikan itu kepadaku hanya karena beberapa kualitas yang khas (kualitas yang hanya dimiliki Iblis).’”
Amr bin Hammad sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad bin Abu Khaythamah, seorang sejarawan Islam (wafat pada usia 94 tahun pada 279 H/872 M), terkait hadist di atas memberikan komentarnya:
“Karena beberapa kualitas khasku (Iblis) membuatku lebih baik dari para malaikat. Ketika kesombongan itu mempengaruhinya, Allah tahu akan hal itu. Dia berkata kepada para malaikat: ‘Aku menempatkan di bumi seorang khalifah.’”
Komentar Amr bin Hammad di atas juga merupakan penafsiran dari al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 30 yang berbunyi:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’”
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
Sebelum menunjukkan ketidakpatuhan, Iblis adalah salah satu malaikat. Namanya adalah ‘Azazil. Dia adalah salah satu penghuni di bumi. Dia adalah salah satu malaikat yang paling bersemangat dan berpengetahuan. Itu membawanya ke kesombongan. Dia berasal dari suku yang disebut jin. (H.R Bukhari, dalam Ta’rikh, II, 1, 170)
Dalam riwayat lainnya, Ibnu Abbas berkata, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Humayd:
“Namun, dia berkata: (Iblis) adalah seorang malaikat bernama ‘Azazil. Dia adalah salah satu penghuni dan pembudidaya di bumi. Para penghuni di bumi di antara para malaikat dulu disebut jin.”
Menurut Sa’id bin al-Musayyab:
“Iblis adalah kepala para malaikat surga bagian bawah.”
Pendapat Sa’id bin al-Musayyab merupakan Tafsir al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 34 yang berbunyi:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”
Pernyataan ketiga yang disampaikan oleh Ibnu Abbas adalah bahwa dia sering berkata:
“Alasan untuk (apa yang terjadi) adalah bahwa Iblis adalah makhluk terakhir yang diciptakan oleh Allah. Dia memerintahkan mereka untuk melakukan sesuatu, tetapi mereka menolak untuk patuh kepada-Nya.” (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan:
Seluruh artikel ini merupakan penceritaan ulang dari buku Al-Ṭabari, Taʾrīkh al-Rusūl wa al-Mulūk: Volume 1, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Franz Rosenthal (State University of New York Press: New York, 1989), hlm 249-257.