Mozaik Peradaban Islam

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (10): Bidayah dan Nihayah (2)

in Tokoh

Last updated on March 1st, 2019 08:58 am

Filsafat adalah suatu pandangan dunia, maka sudah seharusnya seluruh bahasannya disusun dan diurut seperti tatanan alam yang matematis dan geometris. Mendahulukan suatu bahasan yang belum saatnya dibahas akan merusak dan memutus alur pemahaman ibarat memetik buah yang belum matang.
Allamah Thabathabai (kedua dari kiri). Photo: hanat.iki.ac.ir

Beberapa keistimewaan

Haydari menyebutkan paling tidak ada lima keistimewaan Bidayah dan Nihayah yang sulit dicari tandingannya dalam pustaka filsafat Islam klasik. Pertama, konsistensi pijakannya pada metodologi deduktif-demonstratif dalam menyelidiki berbagai persoalan filsafat. Berbeda dengan Mulla Shadra dalam Al-Asfar maupun Mulla Hadi Sabzewari dalam Al-Manzhumah, Allamah tidak mencambur-baurkan antara dalil-dalil rasional-demonstratif dengan penyingkapan dan visi batin atau dalil-dalil tekstual Alquran dan Sunnah. Dalam Al-Asfar maupun Al-Manzhumah, pembaca dengan mudah akan terombang-ambing di antara tumpang-tindih dalil-dalil filsafat, irfan, dan Alquran, sedemikian rupa sehingga tidak lagi jelas apakah dalil yang diajukan itu berasal dari pembuktian rasional-demonstratif, penyingkapan batin, ataupun teks agama.

Syaikh Taqi Mishbah Yazdi membenarkan konsistensi dan reliabilitas Allamah, gurunya, dalam memisahkan aspek-aspek metodologi berpikir ini. Konsistensi dan kesetiaan memilah berbagai metodologi ini tidak saja tercermin dalam karya-karya tulisnya tetapi juga dalam ungkapan-ungkapan lisannya saat mengajar.[1] Allamah percaya bahwa tiap masalah keilmuan harus dibahas dengan metodenya yang khas, tanpa interferensi dari metode-metode lain, sehingga seseorang dapat mencapai kesimpulan utuh mengenai suatu pokok persoalan bersandarkan pada prinsip-prinsip dan metode yang diakui dalam ilmu itu sendiri.[2] Interferensi dan kontaminasi berbagai metode dalam membahas suatu pokok persoalan bukan hanya bakal merugikan nilai ilmiah dari pembahasan tetapi juga bakal menyulitkan proses berpikir yang hendak dimunculkan oleh suatu metode yang ada. Bahkan, kontaminasi dan interferensi dapat merusak spektrum kekayaan ilmiah yang tersedia, dan mendistorsi pemahaman seorang pelajar.

Kedua, sistematika pembahasan yang logis dan berurutan. Salah satu masalah utama yang ada pada sebagian terbesar karya filsafat Islam klasik ialah kegagalannya menyusun sistematika pembahasan yang logis dan sekuensial. Akibatnya, suatu tema yang seharusnya diletakkan di awal justru kerap diletakkan di akhir. Demikian pula konklusi justru acapkali dibahas sebelum penjelasan premis dan seterusnya. Sistematika pembahasan yang acak ini, menurut pandangan Allamah, hanya akan melahirkan kebingungan dan distorsi dalam memahami persoalan yang ada. Masalah klasik inilah yang menyebabkan Allamah lantas menyusun kedua buku darasnya dalam sistematika yang runut, runtut, dan silogistik sedemikian rupa sehingga pembahasan, penjelasan, dan pemahaman yang sempurna atas satu tema dan bab secara logis akan mengantarkan kita pada pembahasan, penjelasan, dan pemahaman tema lanjutannya dan demikian seterusnya.

Syaikh Jawadi Amuli, salah satu murid Allamah, menganggap bahwa Allamah berupaya menyusun sistematika pembahasan filsafat layaknya urutan pembahasan rumus-rumus matematika yang teratur dengan ketat. Dengan sistematika ini, menurut Amuli, Allamah menempatkan tiap bahasan di letaknya yang paling cocok agar dapat melengkapi bahasan sebelumnya dan mempersiapkan pikiran untuk memasuki bahasan selanjutnya dengan lancar. Selain dapat memperkuat sendi-sendi pembahasan ilmiah, sistematika ini juga menyatu dengan inti subjek filsafat, yakni rangkaian alam wujud itu sendiri, yang menurut Mulla Shadra, bagaikan gugusan angka yang teratur dan tertib—dua tidak mungkin datang sebelum satu. Dan lantaran filsafat itu adalah suatu pandangan dunia, maka sudah seharusnya seluruh bahasannya disusun dan diurut seperti tatanan alam yang matematis dan geometris. Mendahulukan suatu bahasan yang belum saatnya dibahas akan merusak dan memutus alur pemahaman ibarat memetik buah yang belum matang. Dan akibatnya, pikiran kita yang pada hakikatnya tersusun sistematis kian kesulitan mengafirmasi dan menyusuri alur argumentasi sampai puncaknya.[3] 

Ketiga, penggambaran bahasan secara teliti. Banyak sekali masalah yang timbul dalam filsafat sebetulnya berasal dari melesetnya konsepsi tentang subjek yang dibahas. Tidak jarang keteledoran ini berdampak pada munculnya kontroversi yang berkepanjangan dan sia-sia. Oleh karena itu, para peneliti lazimnya berupaya menentukan duduk perkara dari pokok bahasan agar jelas perbedaan di antara berbagai pendapat yang disampaikan. Kesulitan menjernihkan duduk perkara dan inti bahasan dalam filsafat banyak disebabkan oleh ketidaklugasan penjelasan para filosof, menyebarnya istilah-istilah teknis yang berbeda dengan makna harfiahnya dalam karya-karya mereka dan campur-baurnya metode filsafat, kalam, dan tasawuf satu dengan lain serta bertumpuk-tumpuknya aliran mereka. Padahal, menurut kaidahnya, konsepsi dan pemahaman yang tepat ihwal suatu masalah akan mempermudah pikiran membenarkan dan mengafirmasinya.[4]

Atas dasar itu, Allamah Thabathabai berupaya dengan hati-hati untuk menjernihkan persoalan dan menyodorkan gambaran yang dakik tentang suatu duduk perkara dan pokok bahasan. Allamah, sebagaimana dituturkan oleh Amuli, percaya bahwa banyak sekali kerumitan masalah filsafat muncul akibat kegagalan para filosof sendiri memberikan pemaparan yang akurat atas pokok soal yang ada. Jika pokok soal saja sudah tidak jernih dikonsepsikan, maka tentu pelbagai konsekuensi dan implikasi logis yang merupakan cabang-cabang dari pokok soal tersebut bakal lebih sulit lagi dimengerti.[5] Pembaca dan pelajar Nihayah, misalnya, dapat melihat sendiri bagaimana Allamah berusaha menerangkan berbagai makna “al-quwwah atau potensi” dan makna “al-i’tibari” untuk menghindarkan kekacauan terminologis yang pada akhirnya dapat melahirkan miskonsepsi atas duduk perkara yang sedang dibahas.[6]

Keempat, pembedaan yang tegas antara metode silogisme-rasional dan observasi-eksperimental dalam mengajukan argumen. Salah satu keistimewaan lain dari Bidayah dan Nihayah ialah keberhasilannya memisahkan metode rasional-silogistik dengan metode empiris-eksperimental. Allamah memberikan ruang lingkup yang tepat dan seimbang bagi penggunaan kedua metode tersebut. Dengan cara ini, Allamah membatasi fungsi dan ruang lingkup filsafat dalam kerangka deduksi dan demonstrasi rasional dan memisahkannya secara jelas dari fungsi dan ruang lingkup sains yang berpijak pada observasi empiris. Kedua metode ini dapat saling mengisi tetapi tidak boleh saling mencampuri. Karena itu, seorang filosof, betapapun keras dia berupaya menggunakan akalnya, tidak akan pernah bisa menganalisis kandungan kimiawi dari suatu logam tertentu secara tepat. Untuk melakukan analisis kandungan kimiawi dari suatu logam, filosof itu harus menggunakan observasi empiris yang mungkin membutuhkan pada metode dan peralatan khusus yang tidak tersedia dalam lingkup filsafat.[7]

Kelima, sebagai konsekuensi pemisahan metode rasional dari metode empiris-eksperimental tersebut, maka daftar isi Bidayah dan Nihayah dapat dibilang bebas dari muatan diskusi ath-thabi’iyyat (fisika). Bahkan, dalam pasal 24 marhalah 12, Allamah menyatakan bahwa pendapat lama yang diakui bahwa falak dan planet tidak berubah adalah pendapat yang keliru.[8] Pembersihan, atau lebih tepatnya pembebasan, filsafat dari persoalan fisika merupakan langkah jitu yang dapat menghindarkannya dari urusan yang bukan urusannya dan memerdekakan filosof dari tanggungjawab yang tak layak atau tak perlu dipikulnya.[9]

Demikialah gambaran ihwal Bidayah dan Nihayah yang menjadi mahakarya monumental dari Alamah. Melalui sekilas gambaran ini, kita dapat menjamah signifikansi dan relevansi kedua karya tersebut dalam pengajaran filsafat Islam di masa kini dan masa depan. Dan bila kedua karya itu kita tambahkan pada karya filsafat Allamah yang lain, yakni Ushule Falsafe wa Mazhab-e Realism—sebuah karya filsafat dengan pembobotan yang intensif terhadap epistemologi Islam—maka kita secara sederhana telah mampu memperkenalkan filsafat Islam yang berusia seribu tahun lebih ke medan pergumulan intelektual modern dengan rasa bangga. (MK)

Bersambung ke:

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (11): Dialog dengan Henry Corbin (1)

Sebelumnya:

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (9): Bidayah dan Nihayah (1)

Catatan Kaki:


[1] Lihat, Al-Thahrani, M.H. Mehr Taban. Thabathabi University Press. Hal. 399. Dikutip kembali dalam Haydari, Kamal. Ibid, hal 76.

[2] Lihat, Kamal Haydari. Op.Cit., hal. 87.

[3] Lihat, Ibid, hal. 89-90.

[4] Lihat, Ibid, hal. 93-94.

[5] Lihat, Ibid, hal. 94.

[6] Lihat, Ath-Thabatahabi. Nihayah Al-Hikmah. Muassasah Al-Nasyr Al-Islami. 1422. H. Hal. 275-276 (Marhalah 9, Pasal 14) dan 314-317 (Marhalah 11, Pasal 10).

[7] Lihat, Haydari, Kamal, Op Cit, hal. 96.

[8] Lihat, Ath-Thabatahabi, Op Cit, Hal. 392-393 (Marhalah 12, Pasal 24).

[9] Lihat, Ibid, hal. 98.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*