Mozaik Peradaban Islam

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (2): Riwayat Pendidikan  (1)

in Tokoh

Last updated on February 11th, 2019 10:00 am

Selama empat tahun Thabathabai gagal memahami pelajaran dari gurunya dan gagal dalam ujian. Gurunya berkata dengan keras, “Berhentilah menghabiskan waktuku dan waktumu!

Allamah Thabathabai. Photo: ikmalonline

Masa kecil Thabathabai dilewatinya dengan menjadi seorang yatim-piatu sejak usia 9 tahun. Ayah beliau wafat ketika Thabathabai masih berusia 5 tahun. Menyusul empat tahun kemudian ibunya, yang meninggal ketika melahirkan adiknya, Sayyid Muhammad Hasan. Adalah paman dari pihak ayahnya, Sayyid Muhammad Ali Qadi, yang menjadi pemegang hak asuh atas kedua anak yatim ini. Dialah yang membimbing keduanya menempuh pendidikan dasar mereka.[1]

Sebagaimana para pemikir Islam lainnya, pendidikan masa kecil Thabathabai berlangsung secara tradisional. Dengan kata lain, dia harus bersentuhan dengan ilmu-ilmu dasar yang merupakan pengantar bagi pendidikan lebih lanjut. Di tanah kelahirannya, Tabriz, dia telah mempelajari Alquran dan berbagai kitab klasik mengenai kesusasteraan dan sejarah, seperti, Gulistan dan Bustun karya Sa’di, Nesab dan Akhlaq, Anvar-e Sohayli, Tarikh-e Mo’jam, dan Irsyad Al-Qur’an, al-Hisab, dan beberapa karya ulama lainnya, seperti Amir-e Nezam. Secara umum, perjalanan pendidikan Thabathabai tidak bisa dilepaskan dari tiga lokasi yang menjadi pusaran untuk menimba ilmu. Ketiga tempat tersebut ialah kota kelahirannya, Tabriz, hauzah di Najaf dan terakhir hauzah di Qum.

Tanah kelahiran Thabathabai menjadi “sekolah” pertama baginya untuk mengenyam pendidikan dasar. Walinya, yang diamanahi oleh ayahnya untuk mengurus segala keperluannya, mendatangkan guru privat ke rumah. Proses belajar sistem privat ini dijalani Thabathabai selama enam tahun dari 1922 sampai 1928. Di kota ini pula, dia berkenalan dengan ilmu pengetahuan langsung dari keluarganya yang terkenal sebagai keluarga ulama, dan, secara tidak langsung, dia belajar dari lingkungannya yang merupakan komunitas yang akrab dengan berbagai pengetahuan.

Ada satu pengalaman menarik dalam proses belajar Allamah Thabathabai di Tabriz. Pengalaman ini mengandung pelajaran penting bagi siapapun yang sedang meminati ilmu pengetahuan dan menempuh jenjang pendidikan. Meskipun dikenal sebagai salah satu pemikir besar Islam abad ini, tapi Allamah Thabathabai pernah mengalami kegagalan memahami pelajaran dari gurunya dan tidak mampu menangkap apa yang dibacanya secara sempurna. Keadaan ini berlangsung selama empat tahun, hingga akhirnya dia gagal dalam ujian. Gurunya pun berkata keras padanya, “Berhentilah menghabiskan waktuku dan waktumu!”[2]

Malu dengan apa yang dikatakan oleh gurunya, Thabathabai pergi meninggalkan Tabriz untuk sementara. Dia bertekad menekuni amalan yang di kemudian hari ternyata membuatnya mampu dengan mudah menelan semua mata pelajaran sesulit apapun itu. Kisah itu lalu dia tuturkan sendiri dalam otobiografinya:

Di masa itu, aku menghindari pergaulan dengan siapapun yang tidak menekuni ilmu. Aku mulai membiasakan diri dengan mengurangi makan, tidur, dan kebutuhan-kebutuhan hidup lain hingga batas minimum, dan mengabdikan sisa waktu dan semua sumber daya untuk pendidikanku. Saat musim semi dan musim panas, sering kali aku menghabiskan malam-malam dengan belajar sampai fajar, dan selalu menyiapkan lebih dahulu semua yang kubutuhkan untuk mata pelajaran hari esok pada malam sebelumnya. Jika aku menemui masalah tertentu, aku akan berusaha keras menyelesaikan kesulitan itu, apapun usaha yang harus kulakukan. Sedemikian sehingga saat pelajaran di kelas dimulai, semua yang disampaikan oleh guru sudah jelas semua bagiku. Aku pun tidak pernah mengajukan pertanyaan atau mengoreksi kesalahan apapun di hadapan guru.”[3]

Menariknya, tulis Hamid Algar, pada periode ini Thabathabai tidak hanya memantapkan kemampuan berpikirnya, tapi juga melakukan olah fisik secara maksimal. Di balik profilnya yang tenang dan teduh, ternyata dia menguasai sejumlah ketangkasan seperti menunggang kuda, berenang, mendaki gunung, berburu, dan kemampuan menembak. Kuat dugaan, dia menjaga berbagai ketangkasan ini dalam kurun waktu cukup lama, setidaknya hingga dia berhasil mewariskan semua keterampilan itu pada putranya, Abd al-Baqi.[4]

Di Tabriz, Allamah Thabathabai mengkaji berbagai buku klasik yang berisi tentang agama dan bahasa Arab sambil mempelajari ilmu-ilmu dasar yang diberikan oleh para gurunya. Selain itu, dia juga mulai mempelajari beberapa bidang ilmu seperti gramatika, sintaksis, retorika, fiqh, ushul fiqh, logika dan filsafat serta, apa yang disebut olehnya sendiri sebagai “ilmu ruhani”. Proses belajar keseluruhan bidang ilmu itu ditekuninya dalam waktu selama tujuh tahun sejak tahun 1928. Pada tahun 1935 dia telah menuntaskannya. Di tahun itu pula Thabathabai melanjutkan pelajarannya secara formal di hawzah Najaf, Irak. (MK)

Bersambung ke:

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (3): Riwayat Pendidikan (2)

Sebelumnya:

Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (1)

Catatan Kaki:

[1] Lihat, Hamid Algar, (2006), Allama Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’i: Philosopher, Exegete, And Gnostic, Journal of Islamic Studies, University of California, Berkeley, hal. 2

[2] Lihat, Ibid

[3] Lihat, Ibid. hal. 3

[4] Lihat, Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*