Tradisi di Qum menyatakan bahwa studi tafsir Alquran dianggap kurang menantang secara intelektual, dan filsafat dipandang oleh beberapa ulama di Qum sebagai tindak subversif. Sebaliknya, Thabathabai justru menilai bahwa dua pelajaran itu lah yang paling dibutuhkan oleh masyarakat Muslim.
Terlepas dari kemajuan yang sudah dicapai oleh budaya pendidikan Islam di Qum, ketika Thabathabai tiba di Qum, beliau langsung menemukan sebuah titik kritis dari pondasi keilmuan di sana. Sebagaimana yang dia ungkap dalam autobiografinya ini:
“Saat tiba Qum, aku mulai mengevaluasi program pengajaran hawzah terhadap kebutuhan masyarakat Islam. Aku menemukan kekurangan dalam beberapa hal dan menganggapnya sebagai tugasku untuk memperbaiki situasi. Kekurangan yang paling penting dalam silabus yang ada justru terkait dengan tafsir Alquran dan ilmu-ilmu rasional (Ulumi-i aqli). Karena itu aku mulai mengajar tafsir dan filsafat. Dalam atmosfir saat itu, tafsir tidak dianggap sebagai ilmu yang membutuhkan ketelitian pemikiran dan penyelidikan. Dan untuk terlibat di dalamnya, orang-orang yang memiliki kecakapan di bidang fikih dan ushul dianggap tidak layak menggelutinya. Memang, mengajarkan tafsir dipandang sebagai tanda kurangnya pengetahuan. Aku tidak menganggap pertimbangan ini sebagai alasan yang bisa diterima Tuhan, dan aku pun terus mengajar tafsir …” [1]
Jika studi tafsir Alquran dianggap kurang menantang secara intelektual, maka filsafat dipandang oleh beberapa ulama di Qum sebagai tindak subversif. Dan karena itu mereka meminta kepada Ayatullah Burujurdi untuk membatasi kelas Thabathabai dalam studi ini. Burujurdi pun akhirnya melunak pada tekanan mereka, dan mulai mengambil sikap terhadap siswa-siswa yang diketahui mengikuti kelas Thabathabai. Salah satunya, Ayatullah Burujurdi membatalkan beasiswa sekitar seratus siswa yang kedapatan menghadiri kuliah-kuliah Thabathabai. Hal ini membuat Thabathabai menjadi serba salah. Bagaimanapun dia pernah merasakan menjadi siswa dan mengerti betul bagaimana pentingnya dana tersebut bagi kelancaran studi mereka. Tapi di sisi lain, bila dia membatalkan kelas filsafat, maka para siswa akan kehilangan salah satu mata pelajaran yang bagi Thabathabai begitu penting dan urgen untuk masa depan mereka. [2]
Setelah merenung cukup lama terkait masalah yang dihadapinya, Thabathabai memilih untuk melanjutkan kelasnya, dengan segala risikonya. Akhirnya, setelah melihat kuatnya tekad Thabathabai, Ayatullah Burujurdi pun mengirimkan surat yang menyiratkan pesan di dalamnya, yang isinya mengisahkan bahwa pada waktu masih menjadi siswa, Burujurdi pun pernah mengikuti kelas filsafat di Isfahan di bawah asuhan ulama terkenal, Mirza Jahangir Khan. Tapi ketika itu, mereka mempelajarinya sacara diam-diam. Untuk itu dia menyarakan pada Thabathabai agar menyelenggarakan kelas filsafat secara tertutup.[3]
Menanggapi hal ini, Thabathabai bukan malah tunduk. Malah dia justru menegaskan keyakinanya bahwa pengajaran filsafat adalah masalah kewajiban agama, bukan demi kepentingan pribadinya. Dia sangat meyakini bahwa masyarakat Muslim saat itu sedang menghadapi krisis intelektual yang hanya bisa ditanggulangi oleh pendidikan filsafat. Lebih jauh, Thabathabai menjelaskan:
“Aku datang dari Tabriz ke Qum dengan niat tulus untuk melakukan koreksi terhadap dasar keyakinan siswa pada kebenaran, serta untuk menghadapi keyakinan palsu para materialis dan yang sejenisnya. Ketika Ayatullah [Burujurdi] dulu belajar (filsafat) dalam kelompok kecil dengan Jahangir Khan, mereka tetap menjadi orang-orang beriman, Alhamdulillah. Keyakinan mereka adalah murni, dan mereka tidak membutuhkan publikasi tentang aktifitas pengajaran Asfar (karya Mulla Sadra). Tapi hari ini setiap siswa yang datang ke Qum datang dengan koper penuh keraguan dan masalah. Kita harus membantu para siswa ini dan mempersiapkan mereka dasar-dasar yang kokoh dalam menghadapi kaum materialis dengan mengajarkan filsafat Islam yang otentik pada mereka. Karena itu aku tidak akan meninggalkan pengajaran kitab Asfar. Namun, pada saat yang sama, karena aku menganggap Ayatullah Burujurdi sebagai pemegang otoritas syariah, masalah ini akan kutinjau dari aspek yang berbeda jika dia memerintahkanku untuk benar-benar meninggalkan pengajaran Asfar.” [4]
Dengan demikian, Thabathabai meminta tanggung jawab Ayatullah Burujurdi untuk secara tegas melarangnya mengajarkan filsafat. Nyatanya, tidak ada satupun larangan tegas yang datang kemudian – yang berarti Thabathabai diperbolehkan melanjutkan pengajaran filsafat Islam. Maka kelas filsafat pun terus berlanjut.
Yang perlu menjadi catatan di sini, meskipun muncul kesan adanya pertentangan paham antara dua ulama besar ini, bukan berarti hubungan pribadi antara keduanya menjadi buruk. Buktinya, ketika Ayatullah Burujurdi diminta untuk menyampaikan pandangan Islam tentang larangan meminum alkohol yang akan dibacakan dalam sebuah konferensi internasional tentang alkohol, Burujurdi menugaskan Thabathabai untuk menyiapkan tanggapan tersebut. Ayatullah Burujurdi juga sangat mengapresiasi dan telah membaca setiap jilid tafsir al-Mizan karya Thabathabai.[5]
Setelah selesai polemik mengenai filsafat Islam, akhirnya mata pelajaran ini bisa diajarkan secara terbuka di Qum. Allamah Thabathabai membuka kelas umum di madrasah Hujjatiyah. Banyak siswa yang terkesan dengan keahlian Thabathabai dalam menjelaskan isu-isu filsafat. Tak ayal, kelas-kelas filsafat yang diampunya banyak diminati. Meski demikian, Thabathabai tidak mengajarkan topik-topik sensitif secara terbuka, dimana hal ini diduga merupakan sebuah penghormatan Thabathabai atas beberapa keberatan yang pernah diajukan oleh Ayatullah Burujurdi.[6]
Dalam perkembangannya, Thabathabai tidak hanya mengajarkan, tapi juga melakukan inovasi dan melahirkan banyak terobosan dalam bidang filsafat selama berada di Qum. Teks-teks filosofis utama yang diajarkan Thabathabai adalah al-Shifa dari Ibn Sina dan al-Asfar dari Mulla Sadra. Secara pribadi dia sangat menghormati kedua sosok ini dan mengganggap keduanya sebagai kampiun di bidangnya. Meski begitu, dia tetap membaca karya kedua ahli ini secara kritis. Lebih dari itu, dia bahkan mampu melakukan inovasi dengan memadukan pandangan kedua kampiun itu menjadi satu kesatuan yang lebih ringan dipahami oleh para pemula.[7] Karya tersebut kemudian dikenal dengan Bidayah al-Hikmah dan Nihayah al-Hikmah, yang akan sedikit diulas dalam artikel-artikel selanjutnya. (MK)
Bersambung ke:
Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (6): Karya-karya
Sebelumnya:
Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (4): Hijrah ke Qum
Catatan Kaki:
[1] Lihat, Hamid Algar, ‘Allama Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’i: Philosopher, Exegete, And Gnostic, (2006) Journal of Islamic Studies, University of California, Berkeley, hal. 9
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid, hal. 11.