Ali berkata, “Tidak ada suatu pun yang aku khawatirkan, kecuali penentangan Muawiyah, seorang yang tidak termasuk golongan pertama yang masuk Islam dan bukan pula yang membenarkan risalah Muhammad pada masa-masa awalnya.”
Apa sebenarnya motivasi Muawiyah bin Abu Sufyan RA melakukan penentangan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib RA? Beberapa sejarawan kenamaan kontemporer dari Barat seperti Philips K. Hitti dan Eamon Gearon secara terang menyebut bahwa motivasi sebenarnya bukanlah tentang pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan RA, tetapi Muawiyah sendiri berkeinginan untuk menjadi Khalifah bagi umat Islam.
Bahkan sejarawan Muslim sendiri, al-Tabari misalnya di dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, menyatakan bahwa Muawiyah memang berkeinginan untuk menjadi khalifah. Dari dalam negeri Indonesia juga, Fuad Jabali misalnya dalam bukunya yang berjudul The Companions of the Prophet: A Study of Geographical Distribution and Political Alignments, juga menyatakan hal yang serupa.
Jika memang Muawiyah berkeinginan untuk menjadi khalifah, maka segalanya bisa menjadi jelas kenapa dia memilih negeri Syam sebagai basis kekuatannya. Pertama, Muawiyah berasal dari keluarga bangsawan Quraish, yakni Bani Umayyah, yang ketika mereka sebelum masuk Islam, menentang keras dakwah Nabi Muhammad SAW. Ketika terjadi peristiwa Futuh Makkah, mereka sadar bahwa sudah tidak ada jalan mundur untuk memadamkan cahaya Islam, maka tidak ada pilihan lain selain untuk masuk Islam.[1]
Setelah menjadi Muslim, Muawiyah tahu bahwa sudah tidak mungkin baginya untuk memperoleh pengaruh yang besar di pusat peradaban Muslim, yakni Makkah dan Madinah. Maka dia mengatur siasat untuk dapat menjadi gubernur di Syam, yang mana orang-orangnya baru masuk Islam dan mereka tidak mengenal dengan baik tokoh-tokoh besar pendahulu dalam Islam.[2]
Kedua, Syam dulunya adalah bagian dari wilayah kekuasan Kekaisaran Timur Romawi, Bizantium. Ia adalah pusat kosmopolitan utama dan merupakan salah satu negeri yang paling penting di dalam Kekaisaran Bizantium, lebih kaya dan lebih mendunia ketimbang wilayah mana pun di Arab. Di tempat ini berbagai infrastruktur peradaban besar sudah tersedia dan Muawiyah dapat memanfaatkannya.
Dan yang menguntungkan bagi Muawiyah, para tokoh besar Muslim yang saleh, enggan untuk tinggal di Syam karena khawatir jika mereka tinggal di kota besar semacam ini, mereka dapat tergoda oleh gemerlap kota besar yang menyesatkan. Dengan keadaan seperti ini, Muawiyah bisa lebih leluasa untuk menerapkan sistem pemerintahan yang sesuai dengan keinginannya.[3]
Sudah bukan rahasia jika Muawiyah ketika menjadi gubernur di sana, menerapkan gaya hidup yang mewah dan membangun gedung-gedung yang megah, yang mana ini dianggap bertentangan dengan gaya hidup khalifah di pusat yang menerapkan gaya hidup sederhana. Tokoh besar sahabat Nabi yang pernah menentang keras gaya hidup Muawiyah adalah Abu Dzar al-Ghifari.[4]
Ketiga, Muawiyah memang sudah sangat lama menetap di Syam, dia telah menjadi Gubernur Syam dari sejak masa Kekhalifahan Umar bin Khattab RA, walaupun sempat diberhentikan dan diangkat kembali oleh Khalifah Utsman.[5]
Di sana dia sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang. Di sana dia telah berhasil membangun kekuatan militer dan pondasi dukungan masyarakat yang kuat terhadap kepemimpinannya. Maka dengan kekuatan besar ini lah dia berani menentang Ali.[6]
Pada waktunya, kedua tokoh besar ini, yakni Ali dan Muawiyah, tidak terelakkan akan berhadapan satu sama lain. Ali telah beberapa kali melalui surat dan utusannya menawarkan perdamaian terhadap Muawiyah, namun jawabannya selalu sama, “Tidak ada perdamaian selama si pembunuh (Utsman) belum diserahkan kepada kami!”
Untuk menggambarkan situasi yang sedang berkembang pada waktu itu, mari kita simak perkataan Ali kepada para utusan Muawiyah ketika mereka datang ke Kufah:
Amma badu, Allah telah mengutus Nabi-Nya untuk menyelamatkan manusia dari kesesatan dan menghindarkan mereka dari kehancuran, serta mempersatukan kembali mereka yang terpecah belah berserakan. Kemudian beliau dipanggil oleh Allah, dan telah ditunaikkan tugas kewajibannya.
Setelah itu beliau digantikan oleh Abu Bakar. Lalu Abu Bakar digantikan oleh Umar. Mereka berdua telah melaksanakan tugas mereka dengan baik dan berlaku adil kepada sesama manusia.
Setelah itu Utsman menguasai urusan kami dan dia melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh umat, lalu orang-orang itu membunuhnya. Setelah itu mereka mendatangiku, sedangkan aku sama sekali tidak tahu menahu perihal perbuatan mereka. Mereka berkata kepadaku, “Terimalah baiat kami,” dan ketika itu aku menolak permintaan mereka.
Kemudian mereka datang kembali dan mengatakan, “Terimalah baiat kami, sebab umat tidak mau menerima (khalifah) selain engkau. Kami khawatir, jika engkau tidak mau menerimanya, masyarakat akan terpecah belah karenanya.” Oleh sebab itu aku menerima pembaiatan mereka.
Tidak ada suatu pun yang aku khawatirkan, kecuali pemisahan diri dari dua orang (maksudnya Talhah dan al-Zubair) yang tadinya telah membaiatku serta penentangan Muawiyah, seorang yang tidak termasuk golongan pertama yang masuk Islam dan bukan pula yang membenarkan risalah Muhammad pada masa-masa awalnya. Dia adalah orang yang dibebaskan, dan anak orang yang dibebaskan pula. Mereka masuk Islam dalam keadaaan benci dan karena terpaksa.
Aku mengajak kalian berpegang kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi. Dan itulah yang dapat aku sampaikan kepada kalian. Aku memohon ampun atas segala dosa-dosaku dan juga dosa-dosa kalian.[7] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 28.
[2] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 521.
[3] Eamon Gearon, Op.Cit., hlm 29-30.
[4] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (Bandung: CV Penerbit Diponegoro: 2001), hlm 87
[5] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, Op.Cit., hlm 377-378.
[6] Ibid., hlm 521.
[7] Ibid., hlm 549-550.