Mozaik Peradaban Islam

Ammar bin Yasir (21): Berebut Dukungan para Sahabat

in Tokoh

Last updated on March 21st, 2020 02:04 pm

Foto ilustrasi: Lukisan karya pelukis asal Hungaria, Arthur Ferraris (1856 – 1936).

Beberapa sahabat tidak mendukung Khalifah Ali dalam Perang Jamal dengan alasan netral. Muawiyah mengirim utusannya kepada orang-orang ini. Utusan berkata, “Sesungguhnya tuan-tuan lebih berhak menduduki jabatan khalifah ketimbang Ali.”

Untuk kesekian kalinya, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA tetap mengusahakan perdamaian dengan Muawiyah bin Abu Sufyan RA, meskipun kini Ali tahu bahwa motif sebenarnya dari Muawiyah adalah keinginannya untuk menjadi khalifah.

Nashr bin Muzahim dalam Kitab Waqatu Shiffin menuliskan sebuah surat yang dikirim oleh Ali kepada Muawiyah:

Bismillahirrahmanirrahim,

Amma badu,

Pembaiatan yang diberikan kepadaku di Madinah meliputi engkau yang berada di Syam, sebab yang membaiatku adalah juga orang-orang yang membaiat Abu Bakar, Umar, dan Utsman, hingga tak ada pilihan lagi bagi yang hadir atau pun tidak hadir untuk menolaknya.

Sesungguhnya orang-orang Muhajirin dan Anshar telah sepakat menyetujui seseorang dan memanggilnya dengan sebutan “Imam”, berarti mereka mengakuinya sebagai khalifah mereka karena Allah.

Dan sekiranya ada yang menolak disebabkan sesuatu tuduhan atau keinginan, maka mereka akan membawanya kembali kepada baiat. Jika dia tidak mau, maka mereka akan memeranginya disebabkan dia telah berbuat di luar cara yang ditempuh oleh Mukminin.

Talhah dan al-Zubair telah membaiatku, tapi kemudian mereka membatalkannya. Pembatalan itu berarti penolakkan atas pembaiatan itu. Oleh sebab itu, aku menghadapi mereka, sampai akhirnya datanglah kebenaran dan lahirlah kehendak Allah.

Karena itu berbaiatlah engkau beserta seluruh Kaum Muslimin lainnya. Sesungguhnya yang aku inginkan bagimu tiada lain hanyalah keselamatan belaka. Kecuali jika memang engkau sengaja menentang bahaya, sebab jika demikian, maka aku akan menghadapimu dan untuk itu aku hanya meminta pertolongan Allah SWT.

Engkau telah banyak berbicara mengenai masalah pembunuhan Ustman. Oleh sebab itu ikutilah apa yang dilakukan oleh Kaum Muslimin (yaitu berbaiat kepada Imam), lalu tuntutlah itu (keadilan) kepadaku, maka aku akan memutuskannya nanti sesuai dengan Kitabullah.

Andapun tuntutanmu sekarang (menyerahkan para pembunuh Utsman yang jumlahnya diperkirakan mencapai 10.000 orang pemberontak yang terlibat-pen), merupakan hal yang mustahil, tak ubahnya seperti memisahkan bayi dari air susu.

Demi agamaku, bila engkau memandang masalah ini dengan akalmu dan bukan dengan hawa nafsumu, maka engkau pasti menemukan diriku orang yang paling bebas dari darah Utsman.

Ketahuilah bahwa engkau adalah salah seorang dari para thulaqa,[1] yang tidak berhak atas kekhalifahan dan tak pantas bermusyawarah tentang hal itu.

Aku mengutus Jarir bin Abdullah kepadamu dan pengikutmu. Dia adalah seorang yang teguh keimanannya dan termasuk rombongan yang berhijrah. Melaluinya berbaiatlah kepadaku, dan tiada kekuatan apa pun selain Allah.[2]

Demikianlah isi surat Ali kepada Muawiyah. Akan tetapi Muawiyah sudah kepalang tanggung, atau dia memang sudah memperhitungkannya. Dia terus maju untuk untuk merebut kekhalifahan dari Ali, dengan memanfaatkan isu utama mengenai pembunuhan Utsman.

Pada masa ini, yang oleh para sejarawan disebut sebagai masa fitnah, yakni masa perang saudara di antara sesama Muslimin, pengaruh dan keberadaan para sahabat Nabi yang masih hidup menjadi begitu penting. Di luar persoalan keyakinan pihak mana yang benar, kenyataannya para sahabat Nabi memiliki pengaruh yang besar.

Masing-masing pihak kemudian mencoba untuk mengajak para sahabat untuk berdiri di sisi mereka. Sebab keterikatan para sahabat Nabi dengan kelompok-kelompok tertentu akan diikuti oleh anggota masyarakat lainnya (yang berada di bawah pengaruh mereka).

Pemimpin dari masing-masing pihak tentu saja senang jika dapat menarik begitu banyak sahabat ke sisinya. Bahkan Ali, yang merupakan tokoh yang tangguh dan cukup mandiri dalam hal posisi keagamaan, juga membutuhkan dukungan dari para sahabat ini dan merasa senang ketika mendapatkannya.[3]

Muawiyah kemudian mengutus para utusannya ke Madinah untuk menemui para sahabat yang pada Perang Jamal (peperangan antara Ali dengan Aisyah, Talhah, dan al-Zubair) memilih untuk tidak berpihak dengan alasan menolak untuk memerangi sesama Muslim. Mereka adalah Saad bin Abi Waqqash RA, Abdullah bin Umar RA, dan Muhammad bin Maslamah RA.

Para utusan Muawiyah membuka pembicaraan dengan kata-kata, “Sesungguhnya tuan-tuan lebih berhak menduduki jabatan khalifah ketimbang Ali….”

Namun jawaban mereka tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh Muawiyah. Abdullah bin Umar mengirim surat kepada Muawiyah:

Apa yang engkau harapkan dariku itu adalah sesuatu yang menjadikan dirimu seperti sekarang ini. Aku tidak menyertai Ali bukanlah karena curiga kepadanya. Demi nyawaku, aku sama sekali tidak setaraf dengan Ali bin Abi Thalib, baik dalam keimanan, hijrah, dalam kedudukannya di samping Rasulullah SAW dan perjuangannya melawan kemusyrikan.

Akan tetapi sekarang terjadi suatu hal yang belum pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, maka aku memegang sikap untuk tidak memihak. Janganlah engkau coba-coba untuk mempengaruhi kami![4]

Saad bin Abi Waqqash juga kemudian mengirim surat kepada Muawiyah:

Persoalan ini sejak semula sudah tidak aku sukai, dan akhirnya pun tidak akan pernah kusukai. Talhah dan al-Zubair pun seandainya tetap berada di rumah masing-masing akan lebih baik bagi mereka. Dan semoga Allah mengampuni Ummul Mukminin (Aisyah) atas apa yang telah terjadi.

Aku tidak akan memerangi Ali, sebab sungguh aku telah mendengar Rasulullah bersabda yang ditujukan kepadanya, “Kedudukanmu di sampingku laksana Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada lagi nabi sesudahku.”[5]

Sementara itu Muhammad bin Maslamah membalas ajakan Muawiyah dengan kata-kata:

…. Sedangkan engkau, demi nyawaku, yang engkau cari hanyalah dunia, dan yang engkau turutkan tiada lain hanya nafsu belaka. Engkau membela Utsman di saat dia telah tiada, sedangkan semasa hidupnya engkau merongrongnya.

Andaikata sikapku ini tidak sesuai dengan apa yang engkau inginkan, hal itu sedikit pun tidak mengurangi kesenanganku, dan tidak menyebabkan keraguanku. Sungguh aku lebih tahu tentang kebenaran daripada engkau.[6] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Orang-orang Quraish yang paling terakhir masuk Islam pada peristiwa Futuh Makkah di masa Rasulullah masih hidup.

[2] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, Op.Cit., hlm 557-558.

[3] Fu’ad Jabali, The Companions of the Prophet: A Study of Geographical Distribution and Political Alignments (Brill, 2003), hlm 165.

[4] Khalid Muhammad Khalid, Op.Cit., hlm 561.

[5] Ibid., hlm 561-562.

[6] Ibid., hlm 562.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*