Rasulullah berkata, “Wahai Khalid! Janganlah melecehkan Ammar, karena Allah tidak menyukai siapa pun yang tidak menyukai Ammar dan Allah mengutuk siapa pun yang mengutuk Ammar.”
Demikianlah, Ammar bin Yasir terus mengiringi perjalanan agama Islam sampai akhirnya dia ikut hijrah ke Madinah. Umat Islam tinggal di sana bersama Nabi mereka, dan secepatnya masyarakat Islam terbentuk dan menyempurnakan barisannya.
Maka di tengah-tengah masyarakat Islam yang beriman ini Ammar pun mendapat kedudukan yang tinggi. Rasullah SAW amat menyayanginya, dan beliau sering membanggakan keimanan dan ketakwaan Ammar kepada para sahabat lainnya.
Rasulullah bersabda, “Diri Ammar dipenuhi keimanan sampai ke tulang punggungnya.”[1]
Bahkan ketika terjadi perselisihan pendapat antara Ammar dan Khalid bin Walid, Rasulullah pun menunjukkan pembelaannya terhadap Ammar. Riwayat selengkapnya dituturkan oleh Abdullah bin Abbas:
Suatu waktu Rasulullah menugaskan Khalid bin Walid bin al-Mughirah al-Makhzumi dalam ekspedisi. Turut bersamanya adalah Ammar bin Yasir. Ekspedisi berjalan dan pada puncaknya mereka mulai mendekati (daerah) orang-orang yang hendak mereka sergap pada dini hari. Mereka mendirikan kemah di sana pada larut malam.
Namun, seseorang memperingatkan orang-orang itu (tentang kedatangan para sahabat) dan mereka semua melarikan diri ke tempat yang aman. Salah satu di antara mereka yang telah masuk Islam tetap tinggal di sana bersama keluarganya. Dia mememerintahkan keluarganya untuk mengemas barang-barang mereka dan kemudian menyuruh mereka menunggu sampai dia kembali.
Dia kemudian pergi menemui Ammar dan berkata, “Wahai Abu Yaqdhan (panggilan Ammar bin Yasir)! Keluargaku dan aku telah masuk Islam. Akankah hal ini menolongku jika aku tetap tinggal (di kota), karena semua orang-orangku telah melarikan diri ketika mereka mendengar tentang kedatangan kalian?”
Ammar berkata kepadanya, “Kalian boleh tetap tinggal, karena kalian aman (dijamin keselamatannya).”
Pria itu dan keluarganya kemudian kembali. Ketika Khalid meluncurkan serangan keesokan paginya, dia menemukan bahwa semua orang telah melarikan diri. Dia kemudian menangkap pria itu dan keluarganya.
Ammar berkata, “Engkau tidak dapat berbuat apa pun kepada orang yang telah masuk Islam.”
Khalid berkata, “Apa urusanmu dengan hal ini? Saat aku seorang Amir, bagaimana engkau bisa memberikan seseorang pengampunan tanpa izinku?”
Ammar menjawab, “Sesungguhnya aku dapat memberikan pengampunan tanpa izinmu meskipun engkau adalah seorang Amir. Orang ini telah beriman, dan jika dia mau, (sebenarnya) dia bisa melarikan diri dengan yang lainnya. Karena dia telah beriman, aku memerintahkannya untuk tetap tinggal.”
Kedua sahabat itu terus berdebat sampai mereka mulai mengumpat antara satu sama lain.
Ketika mereka kembali ke Madinah, mereka berdua menghadap Rasulullah dan Ammar memberi tahu beliau tentang pria itu dan apa yang telah dia lakukan. Rasulullah kemudian merestui pengampunan yang diberikan Ammar, tetapi pada saat yang sama, juga melarang kepada yang lainnya untuk memberikan pengampunan kepada orang lain tanpa izin dari seorang Amir.
Kedua sahabat ini kemudian mulai berdebat lagi di hadapan Rasulullah. Terhadap hal ini, Khalid menyatakan, “Wahai Rasulullah! Budak (Ibunda Ammar adalah seorang budak, dan dalam beberapa riwayat, Ammar juga dikatakan pernah menjadi budak) ini menghinaku di hadapanmu! Aku bersumpah demi Allah, bahwa seandainya engkau tidak berada di sini, dia tidak akan pernah menggunakan istilah-istilah seperti itu kepadaku.”
Rasulullah berkata, “Wahai Khalid! Janganlah melecehkan Ammar, karena Allah tidak menyukai siapa pun yang tidak menyukai Ammar dan Allah mengutuk siapa pun yang mengutuk Ammar.”
Ammar kemudian berdiri dan pergi. Khalid mengikutinya, menarik dan memegang pakaiannya dan terus berusaha untuk meminta maaf kepada Ammar sampai Ammar menerima permintaan maafnya.
Riwayat lain menyatakan bahwa pada saat itulah Allah menurunkan ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS an-Nisa [4]: 59)[2]
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, diterjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 252.
[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Asakir, sebagaimana dikutip dalam Ali bin Abdul Malik al-Hindi, Kanzul Ummal (Vol 1, hlm 242), dikutip kembali oleh Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.2), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 102-103.
Great content! Super high-quality! Keep it up! 🙂