Mozaik Peradaban Islam

Perjalanan Intelektual Imam Bukhari (9): Keragaman Perawi (3)

in Tokoh

Last updated on September 13th, 2021 02:51 pm

Dalam hal pertemuan antara penyampai dan penerima hadis, Bukhari menambahkan kriteria pengetat lainnya, yaitu hubungan mereka harus guru dan murid, bukan sekadar pertemuan sambil lalu.

Lukisan karya John Frederick Lewis, dilukis antara tahun 1841–1851. Foto: Public Domain

Demikianlah kita telah mengulas tentang syarat-syarat ketat untuk diterimanya seorang perawi oleh Bukhari, termasuk ditambahkannya syarat liqa (mesti bertemunya orang yang menyampaikan hadis ke penerima hadis), yang mana tidak ditemukan pada pengumpul hadis lainnya.

Namun demikian hal ini menimbulkan pertanyaan lain: bagaimana cara bertemu mereka? Apakah cukup hanya sekali dua kali?

Adalah Alwi bin Husin yang menjelaskan hal ini di dalam bukunya yang berjudul Periwayat Syi’ah dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Sahih Muslim. Dia menjelaskan, bahwa di antara semua syarat-syarat diterimanya sebuah riwayat, bisa jadi pertemuan antara penyampai dan penerima riwayat adalah syarat yang paling utama bagi Bukhari.

Bukan hanya itu, dalam pertemuan itu mesti ada hubungan seperti guru dan murid, bukan hanya pertemuan orang yang lewat sambil lalu. Artinya, periwayat hadis itu mesti bertemu dan senantiasa duduk di hadapan gurunya (mulazamatu al-Rawi li shaykhihi) dalam waktu yang cukup lama.[1]

Menurut Ibnu Hajar, Bukhari tidak cukup menjadikan hidup sezamannya para penyampai dan penerima hadis sebagai sebuah acuan (sebagaimana yang dilakukan Muslim [Muslim di sini maksudnya nama orang, seorang ahli hadis juga seperti Bukhari]), hingga si periwayat terbukti bertemu dengan gurunya walau hanya sekali.

Metode liqa ini telah dibuktikan oleh Bukhari dalam kitab ­Tarikh-nyadan telah banyak diterapkan ke dalam Shahih-nya. Hingga terkadang Bukhari meriwayatkan banyak hadis yang tidak ada hubungannya dengan bab yang sedang dibahas, dengan tujuan ingin membuktikan bahwa si periwayat mendengar langsung dari gurunya.

“…..Syarat ini nampak lebih kokoh dan sebuah keunggulan yang tidak dimiliki Imam Muslim….” demikian menurut Ibnu Hajar.[2]

Jika seorang periwayat seandainya berkata, “Hadis dari si fulan….,” maka menurut Bukhari hal ini menjadi sebuah ketidakpastian, apakah si periwayat mendengar langsung dari gurunya atau tidak.

Jika menemukan riwayat semacam ini, maka Bukhari akan menunda narasinya (untuk disebut sahih) hingga dia yakin bahwa si periwayat telah bertemu langsung dengan gurunya, di mana redaksi riwayatnya akan menunjukkan makna kepastian, seperti misalnya, “Aku mendengar si fulan berkata….”

Dengan redaksi semacam itu, maka dapat dipastikan bahwa si periwayat memang telah benar-benar mendengar langsung dari gurunya dalam suatu majelis yang dia hadiri.

Kesimpulannya adalah, Bukhari telah mensyaratkan adanya “pertemuan dan kebersamaan” antara periwayat dengan gurunya, sementara itu Muslim tidak, dia hanya mensyaratkan bahwa mereka mesti hidup sezaman, meskipun tidak ada bukti bahwa mereka pernah bertemu.[3]

Muhammad Mustafa al-Azami, profesor ilmu hadis di Universitas Riyadh, dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature menjelaskan lebih lanjut mengenai kualitas pertemuan tersebut. Di antaranya adalah, periwayat harus memenuhi tingkat kriteria tertinggi dalam hal watak kepribadian, keilmuan, dan standar akademis.

Masih menurut al-Azami, selain itu harus ada informasi positif tentang para periwayat yang membuktikan bahwa mereka saling bertemu muka, dan para murid belajar langsung dari guru-gurunya.

Tetapi dari sini muncul pula pertanyaan lainnya: apa yang menjamin jika seorang murid dapat menyerap sepenuhnya apa yang telah disampaikan oleh gurunya?

Ulama Syafii dari abad ke-6, yang juga seorang ahli hadis, yaitu Abu Bakr Muhammad bin Moussa al-Hazimi (548-584), menjelaskan, sebagaimana murid-murid di dalam suatu majelis, mereka memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Misalnya saja, ada murid yang cerdas dan ingatannya kuat, ada yang biasa-biasa saja, ada yang jarang hadir, dan seterusnya.

Dalam hal pembelajaran ilmu hadis, al-Hazimi membagi lima jenis murid:

  1. Murid yang istimewa, yaitu mereka yang memiliki tingkat akurasi sangat tinggi; hafiz (ingatannya sangat kuat); dan memiliki kebersamaan yang amat lama dengan gurunya, menemaninya ke mana pun dia pergi.
  2. Jenis murid yang kedua adalah mirip dengan yang pertama, namun mereka tidak menghabiskan waktu yang banyak dengan gurunya, sehingga bisa jadi hadis yang mereka ingat kurang akurat. Murid jenis kedua ini posisinya sedikit di bawah jenis yang pertama.
  3. Murid-murid yang menghabiskan banyak waktu dengan gurunya namun riwayat mereka banyak dikritik oleh ulama hadis lainnya.
  4. Murid-murid yang hanya memiliki sedikit pertemuan dengan gurunya dan banyak dikritik oleh ulama hadis lainnya.
  5. Mereka yang dianggap sebagai periwayat yang lemah, atau keberadaannya tidak diketahui oleh para ulama pada masa awal.

Dalam hal para periwayat yang diambil oleh Bukhari, menurut al-Azami, dalam Shahih-nya, Bukhari kebanyakan mencatat hadis yang diriwayatkan oleh murid jenis pertama, tetapi terkadang dia juga mencatat hadis dari murid jenis kedua. Sementara itu, Muslim, terkadang mencatat dari orang-orang jenis ketiga yang memiliki nama besar.[4] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Alwi bin Husin, Periwayat Syiah dalam Kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim(Ufuk Press: Jakarta, 2019), hlm 55.

[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fatḥ al-Bārī fī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, dalam Alwi bin Husin, Ibid., hlm 55-56.

[3] Alwi bin Husin, Ibid., hlm 56.

[4] Muhammad Mustafa al-Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (American Trust Publication: USA, 1977), hlm 89-91.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*