Mozaik Peradaban Islam

Perjalanan Intelektual Imam Bukhari (10): Keragaman Perawi (4)

in Tokoh

Last updated on September 14th, 2021 02:35 pm

Seorang murid Bukhari mempertanyakan mazhab Syiah yang dianut oleh Abu Ghassan, salah satu guru Bukhari. Bukhari malah menjawab, bahwa guru-guru dia lainnya yang berasal dari Kufah juga bermazhab Syiah.

Lukisan karya Bruno Befreetv. Foto: Public Domain

Kita akan kembali ke pembahasan tentang keragaman mazhab para periwayat yang riwayatnya dicatat ke dalam Sahih Bukhari. Di antara hal yang mesti dicermati, di masa Bukhari hidup, umat Islam terbagi ke dalam banyak mazhab, dan Bukhari bukannya tidak paham akan hal tersebut.

Ibnu Hajar di dalam Hadyu al-Sari mengungkapkan, bahwa terdapat 69 nama periwayat di dalam Sahih Bukhari yang mazhabnya di luar Sunni. Di antara mazhab-mazhab yang mereka anut adalah Syiah, Qadariyah, Nasibah, Khawarij, Murjiah, dan Rafidah. Hal ini juga dibenarkan oleh al-Suyuti di dalam Tadrib al-Rawi.[1]

Sebelum berlanjut, kita akan sedikit mengulas tentang Alwi bin Husin, penulis buku Periwayat Syi’ah dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Sahih Muslim. Buku yang ditulis oleh Alwi tersebut, awalnya adalah sebuah disertasi yang diajukan sebagai syarat kelulusan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidyatullah, Jakarta, pada 2019.

Alwi menjelaskan, bahwa disertasi tersebut bertujuan untuk menunjukkan, bahwa syarat diterima atau tidaknya sebuah hadis bukanlah berasal dari keyakinan yang dianut oleh para periwayatnya, melainkan dari syarat-syarat yang pernah kita bahas dalam artikel sebelumnya, yaitu: adil, jujur, dan akurat.

Dalam hal ini, Alwi membatasi penelitiannya untuk menemukan para periwayat dalam Sahih Bukhari dan Muslim yang berasal dari kalangan Syiah saja, tidak dari mazhab-mazhab lainnya, barangkali agar topik disertasinya tidak melebar terlalu jauh sehingga dia hanya mengambil salah satu aliran saja.

Alhasil, di hadapan para penguji, Alwi lulus dengan predikat Cum Laude, dan dia pun mendapat piagam sebagai sarjana S3 terbaik di UIN Syarif Hidyatullah pada tahun tersebut. Artinya, apa yang ditulis oleh Alwi diakui sebagai karya akademis yang isinya secara keilmuan sangat dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam seri artikel ini, kita juga akan mengikuti alur yang dibuat oleh Alwi, namun lebih mempersempit lagi temanya, yaitu para periwayat Syiah dalam Sahih Bukhari. Untuk pembahasan tentang Sahih Muslim, mungkin akan dibahas pada seri artikel yang lain.[2]

Berdasarkan penelitian Alwi, dia mengambil kesimpulan, bahwa di dalam Sahih Bukhari telah ditemukan sebanyak 56 orang yang bermazhab Syiah dengan berbagai tingkatannya, mulai dari Syiah yang moderat sampai yang kuat.[3]

Kesimpulan yang diambil oleh Alwi diambil berdasarkan riwayat-riwayat dan catatan sejarah yang dia temukan. Di antaranya kita akan mengambil beberapa contoh sebagaimana disampaikan di bawah ini.

Adalah Malik bin Ismail bin Ziyad al-Kufi al-Nahdi (wafat 219 H/834 M), atau memiliki nama julukan Abu Ghassan. Riwayat-riwayat dari Abu Ghassan telah dimuat dalam Sahih Bukhari. Al-Dhahabi dalam Siyar a`lam al-nubala menuliskan perbincangan Bukhari dengan al-Husayn al-Ghazi:

Al-Ghazi menceritakan, “Aku bertanya kepada al-Bukhari tentang Abu Ghassan.”

Bukhari balik bertanya, “Dari sisi apa engkau bertanya tentangnya?”

Aku (al-Ghazi) berkata, “Masalah kesyiahannya.”

Lalu Bukhari menjawab, “Dia bermazhabkan penduduk kotanya. Jika kalian lihat, Ubaidillah bin Musa al-Absi, Abu Nuaim al-Fadl bin Dukayn, serta sekelompok (jamaah) dari guru kami yang berasal dari kota Kufah, niscaya kalian tidak akan mempertanyakan kepada kami tentang Abu Ghassan.”

Adapun mengenai kualifikasi kepribadian Abu Ghassan, ulama-ulama lainnya memberikan penilaian, misalnya Yahya bin Main yang berkata, “Di Kufah, tidak ada yang lebih thiqah (terpercaya)dari Abu Ghassan.”

Lalu ada Yaqub bin Shaibah yang berkata, “Thiqah, kitabnya sahih dan termasuk orang yang tekun beribadah.”

Lalu ada Ibnu Numair yang berkata, “Abu Ghassan adalah seorang pakar hadis, dia imam al-Muhaddithin (pemimpin dalam ilmu hadis).”

Al-Dhahabi sendiri menyimpulkan, bahwa hadis-hadis Abu Ghassan berada di dalam setiap usul dan dia menduduki tingkat terendah dalam kesyiahannya (adna al-Tashayyu).

Lalu ada Ibnu Sa’ad yang berkata, “…..Abu Ghassan thiqah, shaduq (terhindar dari kejanggalan), bermazhab Syiah, shadid al- Tashayyu (kuat kesyiahannya).”

Lalu bagaimana dengan kedua guru Bukhari lainnya (Ubaidillah bin Musa al-Absi dan Abu Nuaim al-Fadl bin Dukayn) yang disinggung oleh Bukhari di atas?

Ibnu Mundhah menceritakan tentang Ubaidillah bin Musa:

Dia terkenal dengan kerafidahannya, tidak membiarkan seseorang yang bernama Muawiyah masuk ke rumahnya. Dia pernah bertemu seseorang yang bernama Muawiyah bin Salih al-Ash’ari, lalu dia berkata, “Siapa namamu?”

Dijawab, “Muawiyah.”

Lalu dia berkata, “Demi Allah aku tidak akan berbicara denganmu, dan aku tidak akan berbicara pada satu kaum di mana engkau berada di antara mereka.”

Lalu mengenai Abu Nuaim al-Fadl, al-Dhahabi dalam Mizaan-ul-I’tidaal menulis, “Penganut Syiah yang tidak berlebihan dan tidak mencaci.”

Sementara itu Ibnu al-Athir menulis, “Dia (Abu Nuaim al-Fadl) guru Imam Bukhari dan Muslim….shiiyyan.”

Lalu ada Abu Nuaim yang berkomentar, “Cinta kepada Ali ra adalah ibadah, dan sebaik-baiknya ibadah adalah yang disembunyikan.”[4]

Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan, tidak mungkin Bukhari dan ulama-ulama hadis lainnya tidak mengetahui kesyiahan para perawi yang disebutkan di atas, yang bahkan mereka telah menjadi guru bagi Bukhari. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Alwi bin Husin, Periwayat Syiah dalam Kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim(Ufuk Press: Jakarta, 2019), hlm 75.

[2] Lihat pengantar Alwi bin Husin dalam Ibid., hlm v-vi.

[3] Ibid., hlm 349.

[4] Ibid., hlm 76-77.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*