Mozaik Peradaban Islam

Perjalanan Intelektual Imam Bukhari (8): Keragaman Perawi (2)

in Tokoh

Last updated on September 11th, 2021 02:41 pm

Berbeda dengan Imam Muslim yang hanya mensyaratkan bahwa penyampai dan penerima hadis mesti hidup sezaman, Bukhari mensyaratkan bahwa mereka mesti bertemu dan mendengar langsung.

Lukisan karya Qasim Ayyed, pelukis asal Irak. Foto: Worth Point

Di dalam kitab hadis, jumlah rantai transmisi (sanad) dalam sebuah riwayat paling sedikit adalah sebanyak lima orang. Jika di dalam kitab hadis terdapat 3.000 hadis misalnya, maka ini berarti dibutuhkan penyelidikan terhadap 15.000 periwayat tentang seluk beluk posisi mereka. Apakah mereka masuk ke dalam kategori thiqat (terpercaya) atau daif (lemah)?

Penyelidikan untuk menentukan diterima atau tidaknya suatu hadis terhadap para periwayat dengan jumlah sebanyak ini tentunya bukanlah suatu hal yang mudah, terkecuali para peneliti hadis ini memiliki metode, ketelitian, dan keseriusan.

Sahih atau tidaknya suatu hadis di dalam ilmu mustalah al-Hadith ditentukan melalui lima syarat, yaitu (1) kesinambungan sanad, (2) keadilan periwayat (adil), (3) akurasi (dabit), (4) terhindar dari kejanggalan (shadh), dan (5) cacat (illat).[1]

Ibnu al-Salah, ulama asal Damaskus dari abad ke-13, dalam bukunya Kitab Ma’rifat Anwa Ilm Al-Hadith atau sering diterjemahkan menjadi Sebuah Pengantar Kepada Ilmu Hadis,[2] mengatakan bahwa definisi hadis sahih adalah, “Hadis yang bersambung sanad-nya, diriwayatkan oleh periwayat adil dan dabit dari periwayat adil dan dabit hingga akhir sanad, serta tidak ada kejanggalan atau kecacatan.”[3]

Hadis-hadis yang dengannya kelima syarat di atas sudah terpenuhi, disebut dengan sahih al-Isnad, dan sementara yang kurang akan dianggap menjadi hasan (sanadnya bersambung namun ada salah satu perawinya yang ingatannya dianggap kurang kuat) atau daif.

Pada intinya, penelitian terhadap validitas suatu sanad akan berkisar pada dua unsur, yaitu kualitas perawi dan kesinambungan sanad. Unsur pertama akan mengulas kredibilitas periwayat dari sudut pandang thiqat; dan sementara unsur kedua akan menentukan hubungan antara periwayat satu ke yang lainnya, yaitu mereka harus hidup sezaman dengan guru atau orang yang menyampaikan hadis kepadanya (mu’asharah).[4]

Sebenarnya Bukhari sendiri dan juga penulis kitab-kitab hadis lainnya tidak pernah menyebutkan secara eksplisit mengenai syarat-syarat di atas. Pesyaratan-persyaratan tersebut memang dilakukan oleh mereka, namun penjabarannya sendiri baru disampaikan oleh para ulama hadis di kemudian hari, demikian sebagaimana diungkapkan oleh Abu al-Fadlal Muhammad bin Thahir al-Maqdisi.

Di dalam Islam Sunni, ada dua kitab sahih yang disebut dengan al- Shahihain, yaitu kitab hadis yang paling tinggi derajatnya di antara kitab-kitab hadis yang lain, mereka adalah Sahih al-Bukhari yang ditulis oleh Bukhari dan Sahih Muslim yang ditulis oleh Muslim (Muslim di sini maksudnya adalah nama orang). Dalam khazanah kitab-kitab hadis, kedua kitab hadis ini memiliki kedudukan yang tertinggi.

Akan tetapi, dalam kasus Bukhari, dia menetapkan satu syarat lainnya lagi yang tidak dilakukan oleh Muslim. Bukhari dalam hal persambungan sanad memiliki syarat yang lebih ketat ketimbang Muslim, yaitu di antara orang yang menyampaikan hadis ke penerima hadis mesti bertemu (liqa). Sementara Muslim tidak demikian, dia menetapkan bahwa antara murid dan guru cukup hanya dengan hidup sezaman saja, meskipun mereka tidak saling bertemu.

Ketentuan dua hal yang dipegang oleh Bukhari ini (sezaman dan ada pertemuan) berawal dari persepsinya tentang hadis mu’an’an (seorang perawi tidak mendengar langsung dari perawi yang di atasnya) yang menjadi perbedatan di  kalangan ulama hadis menyangkut status dan kriteria-kriterianya untuk memenuhi tingkatan muttashil (bersambung sanad-nya).[5]

Mengenai hal ini, Ibnu Abdul Barr, seorang ulama Maliki dari Andalusia pada abad ke-11, menulis dalam kitabnya, bahwa Abu al-Aliyah berkata, “Kita mendengar sebuah riwayat dari Nabi saw di kota Basrah, namun kita tidak puas hingga kita berangkat ke sana dan bertemu mereka dan mendengar langsung dari lidah mereka.”

Pada faktanya memang pertemuan antara periwayat ini membuat para pengumpul hadis lebih yakin dan percaya diri dalam menyampaikan sebuah riwayat. Keseriusan semacam ini sebenarnya bukan hanya dilakukan pada era tabiin dan setelahnya, melainkan sudah dilakukan juga oleh para sahabat Nabi itu sendiri.

Di antara sahabat yang telah melakukannya adalah Jabir bin Abdullah al-Ansari, yang telah menjual untanya untuk bekal perjalanan ke negeri Syam. Dia berangkat ke sana untuk menemui Abdullah bin Unays, untuk mengklarifikasi hadis tentang hukum qisas.

Selain Jabir bin Abdullah, ada juga para sahabat lainnya yang hidup hingga tahun 60 H/660 M, yang juga melakukan hal serupa, mereka di antaranya adalah Abdullah bin Abbas dan Anas bin Malik.

Said bin al-Musayyib, seorang tabiin, ahli hadis, dan ahli fikih (wafat 105 H/723 M), mengatakan, “Kita dahulu merantau berhari-hari demi suatu hadis.”[6] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Alwi bin Husin, Periwayat Syiah dalam Kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim(Ufuk Press: Jakarta, 2019), hlm 22.

[2] “An Introduction to the Science of the Hadith: Kitab Mar’rifat Anwa’ ‘Ilm Al-Hadith”, dari laman https://www.goodreads.com/book/show/532051.An_Introduction_to_the_Science_of_the_Hadith, diakses 31 Agusutus 2021.

[3] Alwi bin Husin, Loc.Cit.

[4] Ibid.

[5] Marzuki, Kritik Terhadap Kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim (Jurnal Humanika Vol. 6 No. 1, Maret 2006), hlm 32-33.

[6] Alwi bin Husin, Op.Cit., hlm 24.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*