Mozaik Peradaban Islam

Perjalanan Intelektual Imam Bukhari (7): Keragaman Perawi (1)

in Tokoh

Last updated on August 31st, 2021 02:47 pm

Mengingat ketelitian Bukhari, maka mustahil jika dimasukkannya orang-orang Syiah sebagai perawi semata karena kebetulan, ketidaksengajaan, atau kealpaan.

Para ulama Syiah di Iran. AP Photo/Hasan Sarbakhshian

Dalam artikel seri kali ini kita akan mengulas keterbukaan Bukhari terhadap para perawi dari berbagai golongan. Kita tahu, bahwa hadis Bukhari secara luas diterima oleh para ulama Sunni sebagai kitab yang sahih. Namun jarang diketahui, ternyata dalam rantai transmisi hadisnya (isnad), Bukhari banyak memasukkan tokoh-tokoh dari kalangan Syiah.

Kita tidak akan berlarut-larut dengan pembuktian bahwa Syiah adalah bagian dari Islam dan keberadaan mereka sudah ada dari sejak masa-masa awal Islam. Tetapi paling tidak cukuplah saja kita mengutip kesimpulan dari Risalah Amman.

Risalah Amman adalah pertemuan para ulama dunia yang diprakarsai oleh Raja Abdullah II bin al-Hussein pada tahun 2005 di Amman, Yordania. Dalam pertemuan itu diundang 200 ulama terkemuka dunia dari 50 negara.

Ulama-ulama yang mewakili Indonesia ada sembilan orang, tiga di antaranya adalah Prof. Dr. M. Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah), Shaykh Al-Hajj Ahmad Hashim Muzadi (Ketua PBNU), dan Muhammad Maftuh Basyuni (Menag).[1]

Pertemuan itu diselenggarakan untuk menentukan mana saja mazhab-mazhab di dunia yang masih termasuk Islam dan apa saja amalannya. Ukuran-ukuran yang digunakan di dalamnya adalah: (1) Mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhan mereka dan Muhammad saw adalah nabi dan rasul bagi umat manusia, (2) Melaksanakan lima rukun Islam, dan (3) Meyakini enam rukun Iman.

Maka, dari pertemuan tersebut muncullah kesimpulan, ada delapan mazhab di dunia yang masih termasuk ke dalam Islam, mereka adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali (Sunni); Jafari dan Zaydi (Syiah); Ibadi; dan Thahiri. Selain itu disepakati juga, bahwa para penganut delapan mazhab ini dilarang saling mengkafirkan satu sama lain.[2]

Jika ulama kontemporer saja mengakui bahwa umat Islam itu beragam, lalu bagaimana dengan Bukhari sendiri? Di dalam Sahih al-Bukhari ternyata dapat disaksikan bahwa di dalamnya terdapat sanad dari para periwayat yang aliran teologinya beragam, dan salah satunya adalah dari orang-orang Syiah.

Mengingat ketelitian Bukhari dan juga kiprahnya dalam menetapkan standar-standar baru untuk menentukan mana hadis yang sahih dan tidak, maka mustahil jika dimasukkannya orang-orang Syiah sebagai perawi ini semata karena kebetulan, ketidaksengajaan, atau kealpaan.

Dengan orang sekelas Bukhari, dia bukannya tidak tahu tentang latar belakang para perawinya, melainkan dia memiliki ukuran tersendiri yang menurutnya orang-orang itu dapat diandalkan periwayatannya.

Keberadaan orang-orang Syiah di dalam hadis Bukhari ini juga dikonfirmasi oleh ulama dari abad ke-13, Imam al-Dhahabi (wafat 748 H/1348 M). Al-Dhahabi adalah sejarawan Islam dan ahli hadis yang semasa hidupnya tinggal di Damaskus. Secara kemazhaban dia bermazhab Sunni (Syafii) dan secara teologi dia penganut Asy’ariyah.[3]

Mengomentari Aban bin Taghlib (wafat 141 H/758 M), seorang Syiah yang riwayatnya ada di dalam kitab-kitab hadis sahih, al-Dhahabi berkata, “Banyak para tabiin dan tabi-al-Tabin dari kelompok Syiah, mereka berpegang teguh pada agama, memiliki sifat wara dan jujur. Seandainya riwayat mereka seluruhnya ditolak, maka hilanglah sebagian sunnah Nabi, dan hal ini akan menjadikan kerusakan yang nyata.”[4]

Jika al-Dhahabi masih belum cukup, maka kita memiliki Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat 751 H/1350 M) yang berkata, “….Para kolektor hadis sahih telah banyak meriwayatkan dari komunitas mereka (Syiah), mengamalkan riwayat dan dijadikan hujjah oleh umat Islam…. jika mereka bersalah pada beberapa pendapat, maka dengan kesalahannya itu tidak seharusnya dinilai bahwa semua pendapat mereka salah sehingga harus ditolak….”[5]

Penerimaan orang Syiah dalam kitab hadis Sunni bukanlah hubungan yang sepihak, kondisi ini terjadi juga bagi para periwayat Sunni yang riwayatnya dimuat dalam berbagai kitab induk Syiah. Bahkan di antara mereka ada yang tergolong sebagai Sunni yang berlebihan (nawasib), namun riwayat dari mereka telah dimuat untuk melengkapi khazanah kitab-kitab hadis Syiah.[6]

Ke depan kita akan melihat secara lebih detail bagaimana Bukhari menentukan sahih atau tidaknya suatu hadis, dan bagaimana pada akhirnya dia memasukkan orang-orang Syiah sebagai perawi dalam sahihnya. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] “The Grand List of Endorsements of the Amman Message and Its Three Points”, dari laman https://ammanmessage.com/grand-list-of-endorsements-of-the-amman-message-and-its-three-points/, diakses 27 Agustus 2021.

[2] “The Three Points of The Amman Message V.1”, dari laman https://ammanmessage.com/the-three-points-of-the-amman-message-v-1/, diakses 27 Agustus 2021.

[3] Encyclopaedia of Islam, THREE, “al-Dhahabī”, dari laman https://referenceworks.brillonline.com/entries/encyclopaedia-of-islam-3/al-dhahabi-COM_25995#d21393079e107, diakses 27 Agustus 2021.

[4] Al-Dhahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, juz 1, dalam Alwi bin Husin, Periwayat Syiah dalam Kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim(Ufuk Press: Jakarta, 2019), hlm 6-7.

[5] Alwi bin Husin, Ibid., hlm 7.

[6] Ibid., hlm 6.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*